Jumat, Oktober 30, 2009

Sitor Situmorang

Sitor Situmorang

'Kepala Suku' Sastrawan ‘45


Pria Batak kelahiran Harianboho, Samosir, Sumatera Utara 2 Oktober 1924 ini sudah menjadi seorang Pemimpin Redaksi harian Suara Nasional terbitan Sibolga, pada saat usianya masih sangat belia 19 tahun, di tahun 1943. Padahal, sebelumnya ia sama sekali belum pernah bersentuhan dengan profesi jurnalistik.

Sastrawan Angkatan ’45, ini kemudian bergabung dengan Kantor Berita Nasional Antara, di Pematang Siantar. Dan sejak tahun 1947, atas permintaan resmi dari Menteri Penerangan Muhammad Natsir, Sitor menjadi koresponden Waspada, sebuah harian lokal terbitan kota Medan, Sumatera Utara. Ia ditugaskan menempati pos di Yogyakarta.

Jika di kemudian hari persepsi tentang diri Sitor Situmorang identik sebagai sastrawan Angkatan ’45 yang kritis, bahkan menjadi susah memilah-milah apakah ia seorang sastrawan, wartawan, atau politisi, agaknya bermula dari kisah sukses besarnya sebagai wartawan saat berlangsung Konferensi Federal di Bandung, tahun 1947.



Hadir bermodalkan tuksedo pinjaman dari Rosihan Anwar, saat itu nama wartawan muda berusia 23 tahun, Sitor, sangat begitu fenomenal bahkan menjadi buah bibir hingga ke tingkat dunia. Ia berhasil melakukan wawancara dengan Sultan Hamid, tokoh negara federal bentukan Negeri Belanda yang sekaligus menjadi ajudan Ratu Belanda.



Sultan Hamid adalah orang yang diplot menjadi tokoh federal, tentu dengan maksud untuk memecah-belah keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) menjadi terdiri berbagai negara boneka dalam wadah negara federal.

Kisah suksesnya bukan sekedar karena berhasil menembus nara sumber Sultan Hamid. Materi wawancara itu sendirilah yang memang lebih menarik. Sebab, kepada Sultan Hamid Sitor berkesempatan menanyakan, ’bagaimana pendapatnya tentang negara Indonesia’, dan uniknya dia jawab dengan, ’oh terang Republik itu ada, dan tidak bisa dianggap tidak ada’.



Esok harinya isi wawancara itu menjadi headline dan semua kantor berita asing mengutipnya. Peristiwa ini terjadi justru sebelum konferensi resmi dimulai, sehingga sudah ada gong awal yang memantapkan eksistensi NKRI.


Ultah 80
Menjelang usia genap 80 tahun Sitor mempersiapkan perayaan ulang tahun dengan matang. Ia merayakannya di Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta, antara lain dengan memamerkan puluhan kumpulan puisi dan berbagai dokumentasi tentang kontribusinya dalam peta perjalanan sastra dan politik di Tanah Air.



Bahkan, beberapa hari sebelumnya, 27 September 2004 ia memperkenalkan karya-karya puisinya yang belum pernah dikenal orang. Apakah itu barupa puisi karya terbaru, atau puisi lama namun sama sekali belum pernah dikenal orang. Maklum, siklus kepenyairan Sitor Situmorang, yang menikah untuk yang kedua kalinya dengan seorang diplomat berkewarnegaraan Belanda Barbara Brouwer, yang memberinya satu orang anak, Leonard, sudah berbilang setengah abad lebih. Dari istri pertama almarhum Tiominar, dia mempunyai enam orang anak, yakni Retni, Ratna, Gulon, Iman, Logo, dan Rianti.

Semenjak tahun 1950-an karya-karya sastranya sudah mengalir ringan begitu saja. Sitor pada tahun 1950-an itu pulang dari Eropa sebagai wartawan, lalu memutuskan berhenti dan bergiat sebagai sastrawan. Kumpulan puisi pertamanya terbit tahun 1953, diterbitkan oleh Poestaka Rakjat pimpinan Sutan Takdir Alisjahbana (STA).



Dia begitu hafal setiap karya puisinya. Malah, beberapa orang sahabat sesama sastrawan, seperti almarhum Arifin C. Noor, W.S. Rendra, maupun sastrawan asal Madura Zawawi, menyapanya dengan melafalkan petikan puisi karya Sitor sebagai sapaan salam. Dari lafal petikan itu pula Sitor kenal siapa nama dan identitas orang yang menyapanya.

Beragam karya sastra Sitor yang sudah diterbitkan, antara lain Surat Kertas Hijau (1953), Dalam Sajak (1955), Wajah Tak Bernama (1955), Drama Jalan Mutiara (1954), cerpen Pertempuran dan Salju di Paris (1956), dan terjemahan karya dari John Wyndham, E Du Perron RS Maenocol, M Nijhoff. Karya sastra lain, yang sudah diterbitkan, antara lain puisi Zaman Baru (1962), cerpen Pangeran (1963), dan esai Sastra Revolusioner (1965).

Esai Sastra Revolusioner inilah yang mengakibatkan Sitor Situmorang harus mendekam di penjara Gang Tengah Salemba (1967-1975), Jakarta tanpa melalui proses peradilan. Ia dimasukkan begitu saja ke dalam tahanan dengan tuduhan terlibat pemberontakan. Selain karena isi esai Sastra Revolusioner sarat dengan kritik-kritik tajam, posisi mantan anggota MPRS ini ketika itu sebagai Ketua Umum Lembaga Kebudayaan Nasional (LKN) periode 1959-1965, sebuah lembaga kebudayaan di bawah naungan PNI, membuat rezim merasa berkepentingan untuk “menghentikan” kreativitas Sitor.



Karenanya ia dengan ringan menyebutkan, “Mungkin karena saya anti-Soeharto saja,” sebagai alasan kenapa ia harus mendekam di penjara Salemba selama delapan tahun berturut-turut. Hingga keluar tahanan Sitor tak pernah tahu apa kesalahannya.

Kepada Sitor tak diizinkan masuk tahanan membawa pulpen atau kertas. Namun, walau berada dalam penjara Sitor tetap berkarya. “Tidak ada orang yang bisa melarang saya untuk menulis,” ucapnya tentang keteguhan hatinya untuk tetap berkarya dalam kondisi dan situasi tertekan seberat apapun, termasuk ketika terkungkung oleh tembok-tembok beton penjara.



Ia berhasil merilis dua karya sastra, yang berhasil ia gubah selama dalam tahanan, yakni Dinding Waktu (1976) dan Peta Perjalanan (1977). Kedua karya itu diluncurkan masih dalam status Sitor tidak bebas murni 100 persen sebab ketika kemudian dibebaskan, Sitor lagi-lagi harus menjalani tahanan rumah selama dua tahun.

Sitor akhirnya memilih menetap di luar negeri, terutama Kota Paris yang disebutnya sudah sebagai desa keduanya setelah Harianboho. Harianboho, yang terletak persis di bibir-mulut pinggiran Tanau Toba nan indah, itu punya arti spesifik dalam diri Sitor. Paris yang megah boleh menjadi desa kedua. Namun Harianboho tetaplah satu-satunya kampung halaman bagi Sitor.

Sejak tahun 1981 Sitor diangkat menjadi dosen di Universitas Leiden, Belanda. Sepuluh tahun kemudian pensiun pada tahun 1991. Selama dalam pengembaraan ia tetap produktif berkarya. Maklum, menulis baginya sudah seperti berolahraga. Jika tak menulis dirasakannya badan gemetaran.



“Kalau tidak menulis badan saya malah gemetaran. Bagi saya menulis adalah olahraga”, ujar pria Batak yang walau lama mengembara di luar negeri namun masih saja selalu kental dengan logat Bataknya. Kekentalan logat ini membuat banyak orang kecele, menilai Sitor sebagai seorang yang berkesan galak dan saklijk, tak ada kompromi.

Padahal ia adalah seorang lelaki tua periang yang jarang mengeluh perihal kemampuan fisiknya yang sudah menua. Pada usai 80 tahun ia masih dengan mudah melewati lantai berundak yang terdapat di kamar tidurnya tanpa bantuan tongkat sedikitpun.



Ia malah menyebut dirinya sudah seharusnya tampil sebagai “Kepala Suku”, jika saja konsep dan sistem tata nilai lama adat Batak itu diberlakukan kembali. Kalaupun istilah dan sebutan kepala suku adat Batak sudah lama dihapus, namun, dalam dunia sastra khususnya Angkatan ’45 Sitor Situmorang tak pelak lagi adalah “Kepala Suku” Sastrawan Angkatan ’45. Bukan hanya karena ia sastrawan Angkatan ’45 yang masih hidup, namun hasil karyanya ikut menunjukkan siapa jati diri dia yang sesungguhnya.


Selama melanglang buana di berbagai negara, antara lain di Pakistan, Perancis, dan Belanda ia menghasilkan beragam karya-karya pengembaraan. Antara lain berupa cerpen Danau Toba (1981), Angin Danau (1982), cerita anak-anak Gajah, Harimau, dan Ikan (1981), Guru Simailang dan Mogliani Utusan Raja Rom (1993), Toba Na Sae (1993).



Kemudian, karya sastra esai yang mengetengahkan tinjauan sejarah dan antropologi, berjudul Bloem op een rots dan Oude Tijger (1990) yang sudah diterjemahkan dan dibukukan dalam bahasa Belanda, To Love, To Wonder (1996) diterjemahkan dalam bahasa Inggris, Paris Ia Nuit (2001) diterjemahkan dalam enam bahasa yakni Bahasa Perancis, Cina, Italia, Jerman, Jepang, dan Rusia.


Sejak tahun 2001 Sitor Situmorang kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi, Indonesia mengikuti istrinya Barbara Brouwer yang kebetulan mendapat tugas di Jakarta. Walau dua pertiga dari usianya dihabiskannya di negeri orang, para sahabat, kolega, teman sejawat, seniman, sastrawan, dan budayawan lain tidak pernah menganggap Sitor sebagai “anak yang hilang”.



Mereka, seperti Adjip Rosidi, Onghokham, Fuad Hasan, Djenar Maesa Ayu, Ramadhan KH, Richard Oh, Rieke Diah Pitaloka, Sitok Srengenge, HS. Dillon, Teguh Ostenrijk, Srihadi Soedarsono, dan Antonio Soriente, tetap menyambut hangat kepulangan Sitor Situmorang. Mereka, menganggap tak beda seperti menemukan teman yang sudah lama tak berjumpa.

Sitor memang mempunyai pergaulan yang sangat luas di mancanegara seperti di Belanda, Jerman, Italia, dan Inggris seluas pengenalan masyarakat Indonesia terhadapnya. Padahal, jika ditelisik jauh ke belakang belajar menulis bagi Sitor berlangsung secara otodidak saja selepas bersekolah AMS di Jakarta. Pilihannya menjadi penulis pun berawal dari keterlibatan dirinya sebagai wartawan Waspada sebuah harian lokal terbitan Kota Medan, Sumatera Utara.

Sebagai wartawan tahun 1950-an ia pulang dari Eropa, kemudian berhenti dan memutuskan diri menjadi penyair. Itulah awal kekreativitasan Sitor Situmorang sebagai sastrawan secara intens. Sebelumnya, tahun 1943 untuk pertama kali ia memang sudah menuliskan sebuah puisi, berjudul Kaliurang dimuat di majalah Siasat pimpinan “Sang Paus Sastra Indonesia” HB Jassin. Sedangkan, kumpulan puisi pertama Sitor Situmorang baru terbit tahun 1953, persis setelah sepulangnya dari Eropa. Ketika itu ia secara kebetulan bertemu dengan Sutan Takdir Alisjahbana (STA), yang waktu itu memiliki penerbit Pustaka Rakjat, lalu menerbitkan kumpulan puisi Sitor.


Sitor adalah salah seorang sastrawan Indonesia yang secara sadar mengatakan diri turut berpolitik. Ketika Waspada menugaskannya menempati pos di Yogyakarta, membuatnya berkesempatan berkenalan dengan “Bapak-bapak Republik”, ini istilah Sitor Situmorang sendiri untuk menyebutkan orang-orang yang dimaksudkannya seperti Bung Karno, Bung Hatta, serta para pimpinan Partai Nasional Indonesia (PNI), telah memperkaya daya juang kreativitas sastranya dengan warna baru politik. Sitor bahkan pernah diangkat menjadi anggota MPRS. ►ht, Sumber: Kompas 26 September 2004

Bibiliografi:

 Surat Kertas Hijau, 1953
 Dalam Sajak, 1955
 Wajah Tak Bernama, 1955
 Drama Jalan Mutiara, 1954
 Cerpen Pertempuran dan Salju di Paris, 1956
 Terjemahan, karya John Wyndham, E Du Perron RS Maenocol,M Nijhoff.
 Zaman Baru, 1962
 Cerpen Pangeran, 1963
 Esai, Sastra Revolusioner, 1965 (tulisan ini yang menyebabkannya masuk penjara)

Karya selama di tahanan:
 Dinding Waktu, 1976
 Peta Perjalanan, 1977

Karya selama dalam pengembaraan:
 Cerpen Danau Toba, 1981
 Angin Danau, 1982
 Cerita anak-anak Gajah, Harimau dan Ikan, 1981
 Guru Simailang dan Mogliani Utusan Raja Rom, 1993
 Toba Na Sae, 1993 (esai yang mengetengahkan tinjauan sejarah dan antropologi)
 Bloem op een rots dan Oude Tijger, 1990 (diterjemahkan dan dibukukan dalam bahasa Belanda)
 To Love, To Wonder, 1996 (diterjemahkan dalam bahasa Inggris)
 Paris Ia Nuit, 2001 (diterjemahkan dalam Bahasa Perancis, Cina, Italia, Jerman, Jepang, dan Rusia)





taken from:
*** TokohIndonesia DotCom (Ensiklopedi Tokoh Indonesia)

Selasa, Oktober 27, 2009

Pramoedya Ananta Toer

Pramoedya Ananta Toer meninggal dunia Minggu 30 April 2006 sekitar pukul 08.30 WIB di rumahnya Jl Multikarya II No.26, Utan Kayu, Jakarta Timur. Sang Pujangga kelahiran Blora 6 Februari 1925 yang dipanggil Pram dan terkenal dengan karya Tetralogi Bumi Manusia, itu dimakamkan di TPU Karet Bivak pukul 15.00, Minggu 30/4. Lagu Darah Juang mengiringi prosesi pemakamannya yang dinyanyikan oleh para pengagum dan pelayat.

Sebelumnya, dia dirawat di ICU RS St Carolus Jakarta. Kemudian sejak Sabtu sekitar pukul 19.00 WIB dia meminta pulang dan dokter mengizinkan. Sastrawan yang oleh dunia internasional, sebagaimana ditulis Los Angeles Time, sering dijuluki Albert Camus Indonesia itu termasuk dalam 100 pengarang dunia yang karyanya harus dibaca sejajar dengan John Steinbejk, Graham Greene dan Bertolt Berecht.

Profil Pram juga pernah ditulis di New Yorker, The New York Time dan banyak publikasi dunia lainnya. Karya-karyanya juga sudah diterjemahkan dalam lebih dari 36 bahasa asing termasuk bahasa Yunani, Tagalok dan Mahalayam.



****


Dihargai Dunia Dipenjara Negeri Sendiri


Ia bagaikan potret seorang nabi, yang dihargai oleh bangsa lain tetapi dibenci di negerinya sendiri. Pramoedya Ananta Toer, seorang pengarang yang pantas menjadi calon pemenang Nobel. Ia telah menghasilkan belasan buku baik kumpulan cerpen maupun novel. Kenyang dengan berbagai pengalaman berupa perampasan hak dan kebebasan. Ia banyak menghabiskan hidupnya di balik terali penjara, baik pada zaman revolusi kemerdekaan, zaman pemerintahan Soekarno, maupun era pemerintahan Soeharto.

Di zaman revolusi kemerdekaan ia dipenjara di Bukit Duri Jakarta (1947-1949), dijebloskan lagi ke penjara di zaman pemerintahan Soekarno karena buku Hoakiau di Indonesia, yang menentang peraturan yang mendiskriminasi keturunan Tionghoa.

Setelah pecah G30S-PKI, Pramoedya yang anggota Lembaga Kebudayaan Rakyat - onderbouw Partai Komunis Indonesia - ditangkap dan dibuang ke Pulau Buru sampai tahun 1979. Siksaan dan kekerasan adalah bagian hari-harinya di tahanan dan terpaksa kehilangan sebagian pendengarannya, karena kepalanya dihajar popor bedil.

Setelah bebas pun, Pramoedya dijadikan tahanan rumah dan masih menjalani wajib lapor setiap minggu di instansi militer. Meskipun ia sudah ‘bebas’, hak-hak sipilnya terus dibrangus, dan buku-bukunya banyak yang dilarang beredar terutama di era Soeharto. Pemerintah telah mengambil tahun-tahun terbaik dalam hidupnya, pendengarannya, papernya, rumahnya dan tulisan-tulisannya.

Ia dilahirkan di Blora, Jawa Tengah, 6 Februari 1925 oleh seorang ibu yang memberikan pengaruh kuat dalam pertumbuhannya sebagai individu. Pramoedya mengatakan bahwa semua yang tertulis dalam bukunya teinspirasi oleh ibunya. Karakter kuat seorang perempuan dalam karangan fiksinya didasarkan pada ibunya, “seorang pribadi yang tak ternilai, api yang menyala begitu terang tanpa meninggalkan abu sedikitpun’. Ketika Pramoedya melihat kembali ke masa lalu, ia melihat “revolusi Indonesia diwujudkan dalam bentuk tubuh perempuan – ibunya. Meskipun karakter ibunya kuat, fisik ibunya menjadi lemah karena TBC dan meninggal pada umur 34 tahun, waktu itu Pramoedya masih berumur 17 tahun.

Setelah ibunya meninggal, Pramoedya dan adiknya meninggalkan rumah keluarga lalu menetap di Jakarta. Pramoedya masuk ke Radio Vakschool, di sini ia dilatih menjadi operator radio yang ia ikuti hingga selesai, namun ketika Jepang datang menduduki, ia tidak pernah menerima sertifikat kelulusannya. Pramoedya bersekolah hingga kelas 2 di Taman Dewasa, sambil bekerja di Kantor Berita Jepang Domei. Ia belajar mengetik lalu bekerja sebagai stenografer, lalu jurnalis.

Ketika tentara Indonesia berperang melawan koloni Belanda, tahun 1945 ia bergabung dengan para nasionalis, bekerja di sebuah radio dan membuat sebuah majalah berbahasa Indonesia sebelum ia akhirnya ditangkap dan ditahan oleh Belanda tahun 1947. Ia menulis novel pertamanya, Perburuan (1950), selama dua tahun di penjara Belanda (1947-1949).

Setelah Indonesia merdeka, tahun 1949, Pramoedya menghasilkan beberapa novel dan cerita singkat yang membangun reputasinya. Novel Keluarga Gerilya (1950) menceritakan sejarah tentang konsekuensi tragis dari menduanya simpati politik dalam keluarga Jawa selama revolusi melawan pemerintahan Belanda.


Cerita-cerita singkat yang dikumpulkan dalam Subuh (1950) dan Pertjikan Revolusi (1950) ditulis semasa revolusi, sementara Tjerita dari Blora (1952) menggambarkan kehidupan daerah Jawa ketika Belanda masih memerintah. Sketsa dalam Tjerita dari Djakarta (1957) menelaah ketegangan dan ketidakadilan yang Pramoedya rasakan dalam masyarakat Indonesia setelah merdeka. Dalam karya-karya awalnya ini, Pramoedya mengembangkan gaya prosa yang kaya akan bahasa Jawa sehari-hari dan gambar-gambar dari budaya Jawa Klasik.

Di awal tahun 50-an, ia bekerja sebagai editor di Departemen Literatur Modern Balai Pustaka. Di akhir tahun 1950, Pramoedya bersimpati kepada PKI, dan setelah tahun 1958 ia ditentang karena tulisan-tulisan dan kritik kulturalnya yang berpandangan kiri. Tahun 1962, ia dekat dengan Lembaga Kebudayaan Rakyat yang disponsori oleh PKI yang kemudian dicap sebagai organisasi “onderbow” atau “mantel” PKI.



Di Lekra ia menjadi anggota pleno lalu diangkat menjadi wakil ketua Lembaga Sastra, dan menjadi salah seorang pendiri Akademi Multatuli, semua disponsori oleh LEKRA. Pramoedya mengaku bangga mendapat kehormatan seperti itu, meskipun sekiranya Lekra memang benar merupakan organisasi mantel PKI.

Kemudian terjadi peristiwa rasial anti-Tionghoa semasa Indonesia telah merdeka, formal oleh negara, dalam bentuk PP 10 -1960. Buku Hoakiau di Indonesia yang diluncurkan sekarang ini, pertama diterbitkan oleh Bintang Press, 1960, merupakan reaksi atas PP 10 tersebut. Peraturan Pemerintah nomor 10 ini kemudian berbuntut panjang dengan terjadinya tindakan rasial di Jawa Barat pada 1963, yang dilakukan oleh militer Angkatan Darat. Karena buku ini pula ia dijebloskan lagi ke penjara di zaman pemerintahan Soekarno.

Setelah keluar dari penjara karena soal Hoakiau itu, Profesor Tjan Tjun Sin memintanya “mengajar” di Fakultas Sastra Universitas Res Publica milik Baperki, yang sekarang diubah namanya menjadi Universitas Trisaksi yang kini bukan lagi milik Baperki. Ajakan ini sempat membuatnya merasa tidak enak karena SMP saja ia tidak lulus dan belum punya pengalaman dalam mengajar. Meskipun begitu, Pramoedya mengaku menggunakan caranya sendiri. Setiap mahasiswa ia wajibkan mempelajari satu tahun koran, sejak awal abad ini. Setiap tahun ada sekitar 28 mahasiswa yang ia beri tugas itu, sehingga Perpustakaan Nasional menjadi penuh dengan mahasiswanya.



Dari para mahasiswa-mahasiswi yang sebagian terbesar WNI keturunan Tionghoa, ia menerima sejumlah informasi tentang perlakuan pihak militer terhadap keluarga mereka yang tinggal di Jawa Barat. Ternyata rasialisme formal ini ditempa oleh beberapa orang dari kalangan elit OrBa untuk meranjau hubungan antara RI dengan RRC, yang jelas, sadar atau tidak, menjadi sempalan perang-dingin yang menguntungkan pihak Barat.

Di tahun 1965-an, Suharto memimpin setelah mengambil alih pemerintahan yang didukung oleh Amerika yang tidak suka Sukarno bersekutu dengan Cina. Mengikuti cara Amerika, Suharto mulai membersihkan komunis dan semua orang yang berafiliasi dengan komunis. Suharto memerintahkan hukuman massal, tekanan masal dan memulai Rezim Orde Baru yang dikuasai oleh militer. Akibatnya, ia ikut dipenjara setelah kudeta yang dilakukan komunis tahun 1965.

Meskipun Pramoedya tidak pernah menjadi anggota PKI, ia dipenjara selama 15 tahun karena beberapa alasan: pertama, karena dukungannya kepada Sukarno, kedua, karena kritikannya terhadap pemerintahan Soekarno, khususnya ketika tahun 1959 dikeluarkan dekrit yang menyatakan tidak diperbolehkannya pedagang Cina untuk melakukan bisnis di beberapa daerah. Ketiga, karena artikelnya yang dikumpulkan menjadi sebuah buku berjudul HoaKiau di Indonesia. Dalam buku ini, ia mengkritik cara tentara dalam menangani masalah yang berkaitan dengan etnis Tionghoa. Pemerintah membuat skenario ‘asimilasi budaya’ dengan menghapus budaya Cina. Sekolah-sekolah Cina ditutup, buku-buku Cina dibredel, dan perayaan tahun Baru Cina dilarang.

Pada masa awal di penjara, ia diijinkan untuk mengunjungi keluarga dan diberikan hak-hak tertentu sebagai tahanan. Di masa ini, ia dan teman penjaranya diberikan berbagai pekerjaan yang berat. Hasil tulisan-tulisannya diambil darinya, dimusnahkan atau hilang. Tanpa pena dan kertas, ia mengarang berbagai cerita kepada teman penjaranya di malam hari untuk mendorong semangat juang mereka.

Pada tahun 1972, saat di penjara, Pramoedya ”terpaksa” diperbolehkan oleh rezim Soeharto untuk tetap menulis di penjara. Setelah akhirnya memperoleh pena dan kertas, Pramoedya bisa menulis kembali apalagi ada tahanan lain yang menggantikan pekerjaannya. Selama dalam penjara (1965-1979) ia menulis 4 rangkaian novel sejarah yang kemudian semakin mengukuhkan reputasinya.



Dua di antaranya adalah Bumi Manusia (1980) dan Anak Semua Bangsa (1980), mendapat perhatian dan kritikan setelah diterbitkan, dan pemerintah membredelnya, dua volume lainnya dari tetralogi ini, Jejak Langkah dan Rumah Kaca terpaksa dipublikasikan di luar negeri.



Karya ini menggambarkan secara komprehensif tentang masyarakat Jawa ketika Belanda masih memerintah di awal abad 20. Sebagai perbandingan dengan karya awalnya, karya terakhirnya ini ditulis dengan gaya bahasa naratif yang sederhana. Sementara itu, enam buku lainnya disita oleh pemerintah dan hilang untuk selamanya.

Beberapa tahun setelah dibebaskan tahun 1969, Pramoedya dijadikan tahanan rumah dan harus melapor setiap minggu kepada militer. Pemerintah telah mengambil tahun-tahun terbaik dalam hidupnya, pendengarannya, papernya, rumahnya dan tulisan-tulisannya.

Sebenarnya semenjak tahun 1960-an, minatnya yang besar pada sejarah membuatnya suka mengumpulkan berbagai artikel atau tulisan dari berbagai koran yang kemudian diklipping-nya.



Kini belasan bukunya sudah diterjemahkan lebih dari 30 puluh bahasa termasuk Belanda, Jerman, Jepang, Rusia dan Inggris. Karena prestasinya inilah ia dianggap sebagai orang yang paling berpengaruh di Asia (selain Iwan Fals dari Indonesia) versi majalah Time dan telah memperoleh berrbagai penghargaan seperti PEN Freedom-to-Write Award, Wertheim Award dari Belanda, serta Ramon Magsaysay Award (dinilai dengan brilyan menonjolkan kebangkitan dan pengalaman moderen rakyat Indonesia).

Novel-novel sejarah yang dibuat oleh Pramoedya mengungkap sejarah yang tidak tercatat dalam buku-buku sejarah, yang kebanyakan jauh dari kenyataan. Seperti Nelson Mandela, ia menolak untuk memaafkan pemerintah yang telah mengambil banyak hal dalam kehidupannya. Ia khawatir bila ia mudah memaafkan, sejarah akan segera dilupakan. Ia menekankan pentingnya mengetahui sejarah seseorang sehingga orang lain tidak mengulangi kesalahan yang sama di tahun-tahun yang akan datang.

Pramoedya juga menyukai karya sastrawan lain seperti Leo Tolstoy, Anton Chekov, atau John Steinbeck. Kekagumannya pada gaya bercerita Steinbeck yang detail juga mempengaruhinya dalam menulis. Namun, Pramoedya tidak suka dengan karya Ernest Hemingway, yang dianggapnya tidak manusiawi.

Selain membuat novel, ternyata Pramoedya, pengagum peraih Nobel, Gunter Grass ini, pernah juga menyusun syair-syair puisi. ”Tapi saya sudah mulai bosan dengan perasaan,” kata anak Kepala Sekolah Instituut Boedi Oetomo, Blora. Karena itu, dia hanya membuat novel yang rasional, dan sama sekali tak menyukai sastra yang bergaya irasional.

Kini, Pram di usianya yang ke 78 tahun mengaku sudah makin kepayahan. Mencangkul yang dulu bisa dia lakukan enam hingga delapan jam hanya bisa dua jam saja. Bahkan pernah, selama dua tahun, Pram sama sekali tidak bisa mengangkat benda apa pun. Itu mulai dia sadari saat hujan datang, ketika dia masih mencangkul di kebun. Dia hanya ingin bersunyi-sunyi di kediamannya, beternak dan berkebun sembari mengenang masa lalunya di Blora, di daerah bagian kelompok masyarakat Samin yang dikenal antiperaturan kolonialis.

Dia bahkan sudah tidak menulis novel lagi dan hanya sekali-sekali menulis essai. Dalam hidupnya di tengah-tengah sebuah bangsa yang terdiri dari berbagai suku, agama, dan kelas, Pramoedya masih meneruskan perjuangannya menuntut tidak hanya kebebasan menulis tetapi juga kebebasan membaca. Sekarang buku-bukunya tidak lagi dibredel, dan dapat dilihat di rak-rak buku setiap toko buku dan perpustakaan di seluruh Indonesia.



Tahun 2002, bersama musisi Iwan Fals dan Pramoedia Ananta Toer juga dinobatkan majalah Time Asia sebagai "Asian Heroes". ►e-ti/Atur Lorielcide Paniroy, dari berbagai sumber.


Nama:
Pramoedya Ananta Toer
Lahir:
Blora, Jawa Tengah, 6 Februari 1925
Meninggal:
Jakarta, 30 April 2006
Isteri:
Maemunah Thamrin

Pendidikan:
SD Institut Boedi Oetomo (IBO), Blora
Radio Vakschool 3 selama 6 bulan, Surabaya
Kelas Stenografi, Chuo Sangi-In, satu tahun, Jakarta
Kelas dan Seminar Perekonomian dan Sosiologi oleh Drs. Mohammad Hatta, Maruto Nitimihardjo
Taman Dewasa: Sekolah ini ditutup oleh Jepang, 1942-1943
Sekolah Tinggi Islam: Kelas Filosofi dan Sosiologi, Jakarta

Pekerjaan:
Juru ketik di Kantor Berita Domei, Jakarta, 1942-1944
Instruktur kelas stenografi di Domei
Editor Japanese-Chinese War Chronicle di Domei
Reporter dan Editor untuk Majalah Sadar, Jakarta, 1947
Editor di Departemen Literatur Modern Balai Pustaka, Jakarta, 1951-1952
Editor rubrik budaya di Surat Kabar Lentera, Bintang Timur, Jakarta, 1962-1965
Fakultas Sastra Universitas Res Publica (sekarang Trisakti), Jakarta, 1962-1965
Akademi Jurnalistik Dr. Abdul Rivai, 1964-1965

Prestasi dan Penghargaan
1951: First prize from Balai Pustaka for Perburuan (The Fugitive)
1953: Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional for Cerita dari Blora (Tales from Blora)
1964: Yamin Foundation Award for Cerita dari Jakarta (Tales form Jakarta) - declined by writer
1978: Adopted member of the Netherland Center - During Buru exile
1982: Honorary Life Member of the International P.E.N. Australia Center, Australia
1982: Honorary member of the P.E.N. Center, Sweden
1987: Honorary member of the P.E.N. American Center, USA
1988: Freedom to Write Award from P.E.N. America
1989: Deutschsweizeriches P.E.N member, Zentrum, Switzerland
1989: The Fund for Free Expression Award, New York, USA
1992: International P.E.N English Center Award, Great Britain
1995: Stichting Wertheim Award, Netherland
1995: Ramon Magsaysay Award, Philliphine
1995: Nobel Prize for Literature nomination (Pramoedya has been nominated constantly since 1981.)
1999: Honorary Doctoral Degree from University of Michigan, Ann Arbor
2000: Chevalier de l'Ordre des Arts et des Lettres Republic of France.
2000: Fukuoka Asian Culture Grand Prize, Fukuoka, Japan.

Buku:
Fiksi:
Krandji-Bekasi Djatuh, 1947
Perburuan, 1950
Keluarga Gerilya, 1950
Subuh, 1950
Pertjikan Revolusi, 1950
Mereka Jang Dilumpuhkan (Bag 1 dan 2), 1951
Bukan Pasar Malam, 1951
Di Tepi Kali Bekasi, 1951
Dia Yang Menyerah, 1951
Tjerita Dari Blora, 1952
Gulat di Djakarta, 1953
Midah Si Manis Bergigi Emas, 1954
Korupsi, 1954
Tjerita Tjalon Arang, 1957
Suatu Peristiwa di Banten Selatan, 1958
Tjerita Dari Djakarta, 1957
Bumi Manusia - HM, 1980
Anak Semua Bangsa - HM,1980
Tempo Doeloe, (ed.) - HM, 1982
Jejak Langkah - HM, 1985
Gadis Pantai - HM,1987
Hikayat Siti Mariah, (ed.) - HM,1987
Rumah Kaca - HM, 1988
Arus Balik - HM, 1995
Arok Dedes - HM, 1999
Mangir - KPG, 1999
Larasati: Sebuah Roman Revolusi - HM, 2000
Perawan Remaja dalam Cengkeraman Militer - KPG, 2001
Cerita Dari Digul - KPG, 2001

Non-Fiksi:
Hoakiau di Indonesia, 1960
Panggil Aku Kartini Saja I & II, 1962
Sang Pemula – HM, 1985, biografi Tirto Adhi Soerjo
Memoar Oei Tjoe Tat, (ed.) - HM, 1995
Nyanyi Sunyi Seorang Bisu I, Lentera, 1995
Nyanyi Sunyi Seorang Bisu II, Lentera, 1997
Kronik Revolusi Indonesia, Bag 1,2,3. 1 & 2: KPG, 1999 - 3: KPG, 2001

Karya Terjemahan ke Bahasa Indonesia
Lode Zielens, Bunda, Mengapa Kami Hidup? (Moeder, waarom leven wij?), 1947
Frits van Raalte, 1946
J.Veth, 1943
John Steinbeck, Tikus dan Manusia (Of Mice and Men), 1950
Leo Tolstoi, Kembali pada Tjinta dan Kasihmu (Return to Your Love and Affection), 1951
Leo Tolstoi, Perdjalanan Ziarah jang Aneh (Strange Pilgrimage), 1954
Mikhail Sholokhov, Kisah Seorang Pradjurit Sovjet (The Fate of a Man), 1956
Maxim Gorki, Ibunda (Mother), 1958
Ho Ching-chih & Ting Yi, Dewi Uban (The White-haired Girl), 1958
Alexander Kuprin, Asmara dari Russia (Love from Russia), 1959
Boris Polewoi, Kisah Manusia Sejati (A Story about a Real Man)
Blaise Pascal, Buah Renungan (Pensees)
Kristoferus
Albert Schweitzer

Cerita Pendek
Karena korek api. Minggoe Merdeka, 6.1, (1947): 6.
Kemana?? Pantja Raja, 5.2, (47): 141-2.
Si Pandir. Pantja Raja, 11-12.2, (47): 405-7.
Kawanku sesel. Mimbar Indonesia, 40.3, (49): 17-19.
Kemelut. Mimbar Indonesia, 14.3, (49): 17-8, 22.
Lemari antik. Mimbar Indonesia, 43-44.3, (49): 18-9.
Masa. Mimbar Indonesia, 39.3, (49): 17-20.
Anak haram. Daya, 5-6.2, (50): 98-101.
Antara laut dan keringat. Siasat, 164, 165.4, (50): 8; 6.
Blora. Indonesia, 1.2, (50): 53-64.
Bukan pasar malam. Indonesia, 6.1, (50): 23-55.
Cahaya telah padam. Siasat, 179-180.4, (50): 18-9.
Demam. Mimbar Indonesia, 32.4, (50): 26-29.
Dia yang menyerah. Poedjangga Baroe, 11-12.11, (50): 245-286.
Fajar merah. Gema Suasana, 1.3, (50): 81-96.
Hadiah kawin. Spektra, 42.1; 1.2, 3.2, (50): 27-31; 27-30; 27-30.
Hidup yang tak diharapkan. Siasat, 188 sd 193.4, (50): passim.
Inem. Mimbar Indonesia, 15.4, (50): 19-20.
Jongos + babu. Mimbar Indonesia, 2, 3.4, (50): 17-8; 17-8.
Keluarga yang ajaib. Gema Suasana, 5.3, (50): 440-8.
Kenang-kenangan pada kawan. Mimbar Indonesia, 9.4, (50): 20-1.
Lemari buku. Mimbar Indonesia, 48.4, (50): 20-1.
Mencari anak hilang. Daya, 2.2, (50): 42-4, 48.
Pelarian yang tak dicari. Mutiara, 16.2, (50): 10-1, 14-9.
Sebuah surat. Spektra, 14.2, (50): 25-30.
Berita dari Kebayoran. Mimbar Indonesia, 11.5, (51): 20-1, 26.
Idulfitri mendapat ilham. Indonesia, 6.2, (51): 17-29.
Kemudian lahirlah dia. Mimbar Indonesia, 8, 9.5, (51): 20-2; 20-2.
Yang sudah hilang. Zenith, 2.1, (51): 112-128.
Kampungku. Mimbar Indonesia, 30.6, (52): 20-1, 24, 26.
Sepku. Waktu, 5.6, (52): 7-8.
Kapal gersang. Zenith, 9.3, (53): 550-6.
Keguguran calon dramawan. Zenith, 11.3, (53): 659-71.
Tentang emansipasi buaya. Zenith, 12.3, (53): 722-30.
Kalil, si opas kantor. Kisah, 3.2, (54): 85-90.
Korupsi. Indonesia, 4.5, (54): 165-245.
Perjalanan. Mimbar Indonesia, 13.8, (54): 20-3.
Suatu pojok di suatu dunia. Prosa, 1.1, (55): 5-7.
Arya Damar. Star Weekly, 551.11, (56): 18-9.
Biangkeladi. Roman, 6.3, (56): 16-8.
Darah Pajajaran. Star Weekly, 546.11, (56): 26-7.
Djaka Tarub. Star Weekly, 562.11, (56): 15-6.
Gambir. Aneka, 3,4,5.7, (56): 12-3; 12-3, 20; 12-3, 19.
Jalan yang amat panjang. Kisah, 7-8.4, (56): 13-5.
Kecapi. Kisah, 2.4, (56): 4-5.
Kesempatan yang kesekian. Zaman baru, 5, (56): 13-8.
Ki Ageng Pengging. Star Weekly, 570.11, (56): 26-7.
Lembaga. Roman, 5.3, (56): 7-8.
Makhluk di belakang rumah. Kontjo, 5.2, (56): 20-1, 33.
Mbah Ronggo dan setan-setannya. Star Weekly, 541.11, (56): 26-8.
Nyonya dokter hewan Suharko. Roman, 9.3, (56): 4-6.
Pelukis Purbangkara. Star Weekly, 549.11, (56): 26-7.
Raden Patah dan Raden Husen. Star Weekly, 555, 556.11, (56): 38-41; 25-7.
Sekali di bulan purnama. Roman, 7.3, (56): 12-4.
Suatu kerajaan yang runtuh karena rajukan permaisuri. Star Weekly, 544.11, (56): 26-7, 35.
Sunyi-senyap di siang hidup. Indonesia, 6.7, (56): 255-268.
Tanpa kemudian. Roman, 3.3, (56): 6-7, 11.
"Djakarta," Almanak Seni 1957, Djakarta: Badan Musjawarat Kebudajaan Nasional, 1956.
Kasimun yang seorang. Roman, 8.4, (57): 8-10.
Keluarga Mbah Lono Jangkung. Roman, 12.4, (57): 22-6, 42.
Shamrock Hotel 315. Roman, 10.4, (57): 5-6.
Yang cantik dan yang sakit. Pantjawarna, 120.9, (57): 16-7.
Dia yang tidak muncul. Star Weekly, 659.13, (58): 7-9.
Yang pesta dan yang tewas. Zaman Baru, 21-22, (58): 6.
Paman Martil. Jang Tak Terpadamkan (kumpulan tjerita pendek) menjambut ulang tahun ke-45 PKI. Pg. 5-27

Puisi
Antara kita. Siasat, 103.2, (49): 9.
Anak tumpah darah. Indonesia, 12.2, (51): 20.
Kutukan diri. Indonesia, 12.2, (51): 19-20.

Alamat Rumah Keluarga:
= Jalan Multi Karya II Nomor 26, Utan Kayu, Jakarta Timur

= Bojonggede, Bogor


http://www.tokohindonesia.com/ensiklopedi/p/pramoedya-ananta-toer/index.shtml

Minggu, Oktober 25, 2009

Umbu Landu Paranggi

MELODIA

Oleh :
Umbu Landu Paranggi


cintalah yang membuat diriku betah untuk sesekali bertahan
karena sajakpun sanggup merangkum duka gelisah kehidupan
baiknya mengenal suara sendiri dalam
mengarungi suara-suara luar sana
sewaktu-waktu mesti berjaga dan pergi, membawa langkah ke mana saja

karena kesetianlah maka jinak mata dan hati mengembara
dalam kamar berkisah, taruhan jerih memberi arti kehadirannya
membukakan diri, bergumul dan menyeri hari-hari tergesa berlalu
meniup seluruh usia, mengitar jarak dalam gempuran waktu

takkan jemu-jemu nafas bergelut resini, dengan sunyi dan rindu menyanyi
dalam kerja berlumur suka duka, hikmah rahasia melipur damai
begitu berarti kertas-kertas di bawahbantal, pananggalan penuh coretan
selalu sepenanggungan, mengadu padaku dalam deras bujukan
rasa-rasanya padalah dengan dunia sendiri manis, bahagia sederhana
di rumah kecil papa, tapi gairah bergelora hidup kehidupan dan berjiwa
kadang seperti terpencil, tapi gairah bersahaja harapan impian
yang teguh mengolah nasib dengan urat biru di dahi dan kedua tangan


Antologi Puisi Penyair Yogya,1977
Adhy Asmara (editor).






SABANA

Oleh :
Umbu Landu Paranggi


memburu fajar
yang mengusir bayang-bayangku
mengahdang senja
yang memanggil petualang

sabana sunyi
di sini hidupku
sebuah gitar tua
seorang lelaki berkuda

sabana tandus
mainkan laguku
harum nafas bunda
seorang gembala berpacu

lapar dan dahaga
kemarau yang kurindu
dibakar matahari
hela jiwaku risau
kerna kumau lebih cinta
hujan aku ke gigir cakrawala


Antologi Puisi Penyair Yogya,1977





SOLITUDE

Oleh :
Umbu Landu Paranggi


dalam tangan sunyi
jam dinding masih bermimpi
di luar siang menguap jadi malam
tiba-tiba musim mengeristal rindu dendam

dalam detik-detik, dalam genggaman usia
mengombak suaramu jauh bergema
menggilkan jemari, hati pada kenangan
bayang-bayang mengusut jejakmu, mendera kikinian

seberkas cahaya dari menara waktu
menembus tapisan untung malang nasibku
di laut tiba-tiba angin, lalu gerimis berderai
dalam gaung kumandang bait demi bait puisi



Antologi Puisi Penyair Yogya,1977




Umbu Landu Paranggi

Lahir Agustus 1944 di Sumba.

Menamatkan SMA di Yogya dan kuliah di fakultas Sosial Politik UGM Yogya.

Kuliah di fakultas Hukum Universitas Janabadra.

Ia dikenal sebagai Empu Penyair Persada Study Klub Yogya dan motor yang menjadi pendorong penulis muda Yogya antara 1970-1980-an.

Banyak menuslis esei dan puisi. Kini menetap di Bali.

Selasa, Oktober 20, 2009

Sajak-sajak Sitor Situmorang

JAKARTA 17 AGUSTUS 45 DINIHARI

Oleh :
Sitor Situmorang

Sederhana dan murni
Impian remaja
Hikmah kehidupan
berNusa
berBangsa
berBahasa
Kewajaran napas
dan degub jantung
Keserasian beralam
dan bertujuan
Lama didambakan
menjadi kenyataan
wajar, bebas
seperti embun
seperti sinar matahari
menerangi bumi
di hari pagi
Kemanusiaan
Indonesia Merdeka
17 Agustus 1945


Bunga di Atas Batu
Jakarta : Gramedia, 1989

Sajak-sajak Perjuangan dan Nyanyian Tanah Air





PENDARATAN MALAM

Oleh :
Sitor Situmorang



Tentara tak berbekal mendarat
Di malam disuburkan lapar
(Bila fajar bawa berita
kayu apung istirahat mereka)
Tentara tak berbekal mendarat
Di malam disuburkan lapar




Buangan di atas Batu
Jakarta, Gramedia, 1989

Sajak-sajak Perjuangan dan Nyanyian Tanah Air

Kamis, Oktober 15, 2009

INDONESIAKU

Oleh :
Hamid Djabar

Jalan berliku-liku
tanah airku
penuh rambu-rambu
Indonesiaku

Sehelai karcis di genggaman, hari senja dan kulihat
engkau terpampang dalam headline & tajuk rencana
koran-koran ibukota. Engkau tersenyum dan sakit gigi.
Engkau malu-malu bagai kucing (entah mengeong entah
mengerang entah marah entah sayang) yang terpendam
dalam deretan kata-kata nusantara yang lalu lalang keluar
masuk dalam kedirianku. Engkau tegak dan tumbang
sepanjang hari : bengkalaian sajak-sajak para penyair yang
sempat terbit, dicetak dengaan rasa sesal serta malu yang
purba. Dan Magrib pun menggema dan bel berdering
nyaring dan aku terdesak ke tepi nian; namun masih
sempat membayangkan engkau, kasih, meskipun dengan
terbata-bata

jalan berliku-liku jalan berliku-liku
tanah airku tanah airku
penuh rambu-rambu penuh rambu-rambu
Indonesiaku Indonesiaku

Sebuah tas di pangkuan, terbentang malam dan
kurasakan engakua tunggang-langgang berpacu,
bus tua yang tua-tua keladi (dipermak ditimbun
dikali berkali-kali) menangis dan bernyanyi
seperti deretan mimpi-mimpi. Engkau yang duduk
terantuk-antuk dalam pasaran duniayang berdiri
memaki-maki sepanjang jalanan gelombang berliku-liku
yang membadaikan tikaman hujan rambu-rambu
hingga aku terpelanting jauh ke belakang, namun masih
sempat membayangkan jarak yang telah & akan dilalui
(suka tak suka mandi berenang dalam telaga luka
nanahmu o tanah airku), meskipun dengan terbata-bata


jalan berliku-liku
tanah airku
penuh rambu-rambu
Indonesiaku


Sekujur tubuh di perjalanan, malam yang akan berdentang-
dentang dan kaulihat aku pontang-panting memburumu
dari tikungan ke tikungan.
(Barangkali berjuta pohon telah tumbang dalam
pacuanmu. Barangkali berjuta mulut telah mengeringkan
tanahmu o Indonesiaku. Barangkali berjuta ke mulut
telah menguap-udarakan segala airmu pengap o
Indonesiaku. O siapakah yang telah tercerabut,
sayangku : engkau tanah airku atau aku anak negerimu ?)
Tetapi aku sungguh merasa malu ketika kudengar
engkau menyanyikan rasa tak berdaya anak negerimu
diancam ledakan-ledakan berangan akan purnama
sepanjang malam. Dan Engkau punmenangis ketika
malu kita jadi malu semua : tertera dalam peta kita,
luka-luka dan nyeri terbata-bata.

Jalan berliku-liku
tanah airku
penuh rambu-rambu
Indonesiaku


Sebibir duka tersangkut di bibir ngarai, anak negerimu
terjaga dan berhamburan ke jalanan. Bulan sepotong di
atas luka o awan mengelilinginya bagai nusantara

“Sebagai supir, saya tak begitu mahir”, kata seorang
yang mengaku supir.
“Sebagai penumpang, kita tak begitu lapang”, terdengar
seseorang mendengus.
“Husss!”, tulis kamus.
“Kita membutuhkan lapang !”. teriak orang-orang. “Kita
memerlukan kebebasan “, dengus rambu-rambu dan
tiang-tiang. “Tetapi perjalanan harus dilanjutkan”, tulis
travel biro dalam iklan.
Orang-orang membeli karcis dan kursi
Orang-orang duduk menari hi-hi
Orang-orang menari sambil memaki-maki.
Orang-orang memaki sampai bosan.
Orasng-orang bosan dan bosan
Bus-bus jalan.

“Itu Pulau Sumatera,” kata seseorang menunjuk awan di
tepi-tepi bulan
“Bukan, itu Pulau Kalimantan,”bantah seseorang sambil
makan udang
“Salah, yang tepat adalah Pulau Jawa,” kata kondektur
sambil minum bajigur.

Jalan berliku-liku jalan berliku-liku
tanah airku tanah airku
penuh rambu-rambu penuh rambu-rambu
Indonesiaku Indonesiaku

Sepanjang jalanan sepanjang tikungan sepanjang tanjakan
Sepanjang turunan rambu-rambu bermunculan. Seribu
tanda seru memendam berjuta tanda tanya. Seribu tanda
panah mencucukan luka Indonesiaku. Seribu tanda
sekolah memperbodoh kearifan nenek moyangku. Seribu
tanda-jembatan menganga ngarai wawasan si Badai di Badu.

Seribu tanda-sendok-garpu adalah lapar dan lapar yang
senyum-senyum di luar menu.
Seribu tanda gelombang melambung hempaskan juang
anak negerimu.
Seribu tanda-tanda dijajakan berjejal-jejal di mulutmu.
Seribu tanda-tanda seribu jalanan seribu tikungan
seribu tanjakan seribu turunan liku-liku o lukaa
tanah airku dalam wajahmu Indonesiaku.

Jalan berliku-liku jalan berliku-liku
tanah airku tanah-airku
penuh rambu-rambu penuh rambu-rambu
Indonesiaku Indonesiaku

STOP


(1978)

Sajak-sajak Perjuangan dan Nyanyian Tanah Air