Selasa, Juni 23, 2009

Sajak-sajak Chairil Anwar


AKU
Kalau sampai waktuku
'Ku mau tak seorang kan merayu
Tidak juga kau
Tak perlu sedu sedan itu
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang
Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang
Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri
Dan aku akan lebih tidak perduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi
Maret 1943

Aku by Chairil Anwar

If my time should come
I'd like no one to entice me.
Not even you.
No need for those sobs and cries.

I am but a wild animal
Cut from its kind.

Though bullets should pierce my skin
I shall still strike and march forth.
Wounds and poison shall I take aflee. Aflee
'Til the pain and pang should disappear.

And I should care even less.

I want to live
for another thousand years




PENERIMAAN
Kalau kau mau kuterima kau kembali
Dengan sepenuh hati
Aku masih tetap sendiri
Kutahu kau bukan yang dulu lagi
Bak kembang sari sudah terbagi
Jangan tunduk! Tentang aku dengan berani
Kalau kau mau kuterima kembali
Untukku sendiri tapi
Sedang dengan cermin aku enggan berbagi.
Maret 1943




HAMPA
kepada sri
Sepi di luar. Sepi menekan mendesak.
Lurus kaku pohonan. Tak bergerak
Sampai ke puncak. Sepi memagut,
Tak satu kuasa melepas-renggut
Segala menanti. Menanti. Menanti.
Sepi.
Tambah ini menanti jadi mencekik
Memberat-mencekung punda
Sampai binasa segala. Belum apa-apa
Udara bertuba. Setan bertempik
Ini sepi terus ada. Dan menanti.






DOA
kepada pemeluk teguh
Tuhanku
Dalam termangu
Aku masih menyebut namamu
Biar susah sungguh
mengingat Kau penuh seluruh
cayaMu panas suci
tinggal kerdip lilin di kelam sunyi
Tuhanku
aku hilang bentuk
remuk
Tuhanku
aku mengembara di negeri asing
Tuhanku
di pintuMu aku mengetuk
aku tidak bisa berpaling
13 November 1943
SAJAK PUTIH
Bersandar pada tari warna pelangi
Kau depanku bertudung sutra senja
Di hitam matamu kembang mawar dan melati
Harum rambutmu mengalun bergelut senda
Sepi menyanyi, malam dalam mendoa tiba
Meriak muka air kolam jiwa
Dan dalam dadaku memerdu lagu
Menarik menari seluruh aku
Hidup dari hidupku, pintu terbuka
Selama matamu bagiku menengadah
Selama kau darah mengalir dari luka
Antara kita Mati datang tidak membelah...





SENJA DI PELABUHAN KECIL
buat: Sri Ajati
Ini kali tidak ada yang mencari cinta
di antara gudang, rumah tua, pada cerita
tiang serta temali. Kapal, perahu tiada berlaut
menghembus diri dalam mempercaya mau berpaut
Gerimis mempercepat kelam. Ada juga kelepak elang
menyinggung muram, desir hari lari berenang
menemu bujuk pangkal akanan. Tidak bergerak
dan kini tanah dan air tidur hilang ombak.
Tiada lagi. Aku sendiri. Berjalan
menyisir semenanjung, masih pengap harap
sekali tiba di ujung dan sekalian selamat jalan
dari pantai keempat, sedu penghabisan bisa terdekap
1946


CINTAKU JAUH DI PULAU
Cintaku jauh di pulau,
gadis manis, sekarang iseng sendiri
Perahu melancar, bulan memancar,
di leher kukalungkan ole-ole buat si pacar.
angin membantu, laut terang, tapi terasa
aku tidak 'kan sampai padanya.
Di air yang tenang, di angin mendayu,
di perasaan penghabisan segala melaju
Ajal bertakhta, sambil berkata:
"Tujukan perahu ke pangkuanku saja,"
Amboi! Jalan sudah bertahun ku tempuh!
Perahu yang bersama 'kan merapuh!
Mengapa Ajal memanggil dulu
Sebelum sempat berpeluk dengan cintaku?!
Manisku jauh di pulau,
kalau 'ku mati, dia mati iseng sendiri.
1946


MALAM DI PEGUNUNGAN
Aku berpikir: Bulan inikah yang membikin dingin,
Jadi pucat rumah dan kaku pohonan?
Sekali ini aku terlalu sangat dapat jawab kepingin:
Eh, ada bocah cilik main kejaran dengan bayangan!
1947

YANG TERAMPAS DAN YANG PUTUS
kelam dan angin lalu mempesiang diriku,
menggigir juga ruang di mana dia yang kuingin,
malam tambah merasuk, rimba jadi semati tugu
di Karet, di Karet (daerahku y.a.d) sampai juga deru dingin
aku berbenah dalam kamar, dalam diriku jika kau datang
dan aku bisa lagi lepaskan kisah baru padamu;
tapi kini hanya tangan yang bergerak lantang
tubuhku diam dan sendiri, cerita dan peristiwa berlalu beku
1949

DERAI DERAI CEMARA
cemara menderai sampai jauh
terasa hari akan jadi malam
ada beberapa dahan di tingkap merapuh
dipukul angin yang terpendam
aku sekarang orangnya bisa tahan
sudah berapa waktu bukan kanak lagi
tapi dulu memang ada suatu bahan
yang bukan dasar perhitungan kini
hidup hanya menunda kekalahan
tambah terasing dari cinta sekolah rendah
dan tahu, ada yang tetap tidak terucapkan
sebelum pada akhirnya kita menyerah
1949

Sajak-sajak GM

TENTANG SEORANG YANG TERBUNUH DI SEKITAR HARI PEMILIHAN UMUM

Oleh :

Goenawan Mohamad

“Tuhan, berikanlah suara-Mu, kepadaku”

Seperti jadi senyap salak anjing ketika ronda menemukan mayatnya

di tepi pematang. Telungkup. Seperti mencari harum dan hangat padi.

Tapi bau sing itu dan dingin pipinya jadi aneh, di bawah bulan.

Dan kemudian mereka pun berdatangan - senter, suluh dan

kunang-kunang - tapi tak seorang pun mengenalnya. Ia bukan orang sini, hansip itu berkata.

“Berikan suara-Mu”

Di bawah petromaks kelurahan mereka menemukan liang luka yang lebih.

Bayang-bayang bergoyang sibuk dan beranda meninggalkan bisik.

Orang ini tak berkartu. Ia tak bernama. Ia tak berpartai. Ia tak

bertandagambar. Ia tak ada yang menagisi, karena kita tak bisa menangisi. Apa gerangan agamanya ?

“Juru peta yang Agung, dimanakah tanah airku ?”

Lusa kemudian mereka membacanya di koran kota, di halaman

pertama. Ada seorang menangis entah mengapa. Ada seorang

yang tak menangis entah mengapa. Ada seorang anak yang letih

dan membikin topi dari koran pagi itu, yang diterbangkan angin

kemudian. Lihatlah. Di udara berpasang layang-layang, semua

bertopang pada cuaca. Lalu burung-burung sore hinggap di kawat,

sementara bangau-bangau menuju ujung senja, melintasi lapangan

yang gundul dan warna yang panjang, seperti asap yang sirna.

“Tuhan, berikan suara-Mu, kepadaku”

Horison, September 1971, Thn VI.

Sajak-sajak Perjuangan dan Nyanyian Tanah Air

PADA ALBUM MIGUEL DE COVAROBIAS

Oleh :

Goenawan Mohammad

Kuinginkan tubuhmu

dari zaman

yang tak punya tanda,

kecuali warna sepia.

Pundakmu

yang bebas ,

akan kurampas

dari sia-sia.

Akan kuletakan sintalmu

pada tubir meja:

telanjang

yang meminta

kekar kemaluan purba,

dan zat hutan

yang jauh, dengan surya

yang datang sederhana.

Akan kubiarkan waktu

mencambukmu,

lepas. Tak ada yang tersisa

dalam pigura

juga api yang tertinggal

pada klimaks ketiga,

juga para dewa, juga kau

yang akan runduk

Kematian pun akan masuk kembali

kembali, kembali...

Mari.

Kuinginkan tubuhmu

dari zaman

yang tak punya tanda

kecuali

warna sepia

1996

dikutip dari: Misalkan Kita Di Sarajevo, Kalam, 1998

TIGRIS

Oleh :

Goenawan Mohammad

Sungai demam

Karang lekang

Pasir pecah

pelan-pelan

Gurun mengerang: Babilon!

Defile berjalan

Lalu Tuhan memberi mereka bumi

Tuhan memberi mereka nabi

Antara sejarah

dan sawah

hama

dan Hammurabi

Setelah itu, kita tak akan di sini

Kau dengarkah angin ngakak malam-malam

ketika bulan seperti

susu yang tertikam

ketika mereka memperkosa

Mesopotomia?

Seorang anak berlari, dan seperti dulu

ia pun mencari-cari

kemah di antara pohon-pohon tufah

Jangan menangis.

Belas adalah

Iblis karena Tuhan telah menitahkan airmata

jadi magma, bara yang diterbangkan bersama

belibis, burung-burung sungai yang akan

melempar pasukan revolusi

dengan besi dan api

"Ababil! Ababil!" mereka akan berteriak.

Bumi perang sabil.

Karena itulah, mullah, jubah ini

selalu kita cuci dalam darah di tebing

Tigris yang kalah

Dari Najaf ada gurun. Kita sebrangi

dengan geram dan racun. Dan tiba di Kerbala

akan kita temui pembunuhan

yang lebih purba.

(Ibuku. Seandainya kau tahu kami adalah anak-anakmu)

1986

dikutip dari: Asmaradana, Grasindo, 1992

DI MALIOBORO

--kepada seseorang yang mengingatkan saya akan Iramani, yang dibunuh di tahun 1965

Oleh :

Goenawan Mohammad

Saya menemukanmu, tersenyum, acuh tak acuh

di sisi Benteng Vriedenburg

Siapa namamu, kataku, dan kau bilang:

Kenapa kau tanyakan itu.

Malam mulai diabaikan waktu.

Di luar, trotoar tertinggal.

Deret gedung bergadang

dan lampu tugur sepanjang malam

seperti jaga untuk seorang baginda

yang sebentar lagi akan mati.

Mataram, katamu, Mataram...

Ingatan-ingatan pun bepercikan

--sekilas terang kemudian hilang-- seakan pijar

di kedai tukang las.

Saya coba pertautkan kembali

potongan-potongan waktu

yang terputus dari landas.

Tapi tak ada yang akan bisa diterangkan, rasanya

Di atas bintang-bintang mabuk

oleh belerang,

kepundan seperti sebuah radang,

dan bulan dihirup hilang

kembali oleh Merapi

Trauma, kau bilang

(mungkin juga, "trakhoma?")

membutakan kita

Dan esok los-los pasar

akan menyebarkan lagi warna permainan kanak

dari kayu: boneka-boneka pengantin

merah-kuning dan rumah-rumah harapan

dalam lilin.

Siapa namamu, tanyaku.

Aku tak punya ingatan untuk itu, sahutmu.

1997

Sajak-sajak WS Rendra

AKU TULIS PAMPLET INI

Oleh :

W.S. Rendra

Aku tulis pamplet ini

karena lembaga pendapat umum

ditutupi jaring labah-labah

Orang-orang bicara dalam kasak-kusuk,

dan ungkapan diri ditekan

menjadi peng - iya - an

Apa yang terpegang hari ini

bisa luput besok pagi

Ketidakpastian merajalela.

Di luar kekuasaan kehidupan menjadi teka-teki

menjadi marabahaya

menjadi isi kebon binatang

Apabila kritik hanya boleh lewat saluran resmi,

maka hidup akan menjadi sayur tanpa garam

Lembaga pendapat umum tidak mengandung pertanyaan.

Tidak mengandung perdebatan

Dan akhirnya menjadi monopoli kekuasaan

Aku tulis pamplet ini

karena pamplet bukan tabu bagi penyair

Aku inginkan merpati pos.

Aku ingin memainkan bendera-bendera semaphore di tanganku

Aku ingin membuat isyarat asap kaum Indian.

Aku tidak melihat alasan

kenapa harus diam tertekan dan termangu.

Aku ingin secara wajar kita bertukar kabar.

Duduk berdebat menyatakan setuju dan tidak setuju.

Kenapa ketakutan menjadi tabir pikiran ?

Kekhawatiran telah mencemarkan kehidupan.

Ketegangan telah mengganti pergaulan pikiran yang merdeka.

Matahari menyinari airmata yang berderai menjadi api.

Rembulan memberi mimpi pada dendam.

Gelombang angin menyingkapkan keluh kesah

yang teronggok bagai sampah

Kegamangan. Kecurigaan.

Ketakutan.

Kelesuan.

Aku tulis pamplet ini

karena kawan dan lawan adalah saudara

Di dalam alam masih ada cahaya.

Matahari yang tenggelam diganti rembulan.

Lalu besok pagi pasti terbit kembali.

Dan di dalam air lumpur kehidupan,

aku melihat bagai terkaca :

ternyata kita, toh, manusia !

Pejambon Jakarta 27 April 1978

Potret Pembangunan dalam Puisi

DOA SEORANG SERDADU SEBELUM BERPERANG

Oleh :

W.S. Rendra

Tuhanku,

WajahMu membayang di kota terbakar

dan firmanMu terguris di atas ribuan

kuburan yang dangkal

Anak menangis kehilangan bapa

Tanah sepi kehilangan lelakinya

Bukannya benih yang disebar di bumi subur ini

tapi bangkai dan wajah mati yang sia-sia

Apabila malam turun nanti

sempurnalah sudah warna dosa

dan mesiu kembali lagi bicara

Waktu itu, Tuhanku,

perkenankan aku membunuh

perkenankan aku menusukkan sangkurku

Malam dan wajahku

adalah satu warna

Dosa dan nafasku

adalah satu udara.

Tak ada lagi pilihan

kecuali menyadari

-biarpun bersama penyesalan-

Apa yang bisa diucapkan

oleh bibirku yang terjajah ?

Sementara kulihat kedua lengaMu yang capai

mendekap bumi yang mengkhianatiMu

Tuhanku

Erat-erat kugenggam senapanku

Perkenankan aku membunuh

Perkenankan aku menusukkan sangkurku

Mimbar Indonesia

Th. XIV, No. 25

18 Juni 1960

GERILYA

Oleh :

W.S. Rendra

Tubuh biru

tatapan mata biru

lelaki berguling di jalan

Angin tergantung

terkecap pahitnya tembakau

bendungan keluh dan bencana

Tubuh biru

tatapan mata biru

lelaki berguling dijalan

Dengan tujuh lubang pelor

diketuk gerbang langit

dan menyala mentari muda

melepas kesumatnya

Gadis berjalan di subuh merah

dengan sayur-mayur di punggung

melihatnya pertama

Ia beri jeritan manis

dan duka daun wortel

Tubuh biru

tatapan mata biru

lelaki berguling dijalan

Orang-orang kampung mengenalnya

anak janda berambut ombak

ditimba air bergantang-gantang

disiram atas tubuhnya

Tubuh biru

tatapan mata biru

lelaki berguling dijalan

Lewat gardu Belanda dengan berani

berlindung warna malam

sendiri masuk kota

ingin ikut ngubur ibunya

Siasat

Th IX, No. 42

1955

GUGUR

Oleh :

W.S. Rendra

Ia merangkak

di atas bumi yang dicintainya

Tiada kuasa lagi menegak

Telah ia lepaskan dengan gemilang

pelor terakhir dari bedilnya

Ke dada musuh yang merebut kotanya

Ia merangkak

di atas bumi yang dicintainya

Ia sudah tua

luka-luka di badannya

Bagai harimau tua

susah payah maut menjeratnya

Matanya bagai saga

menatap musuh pergi dari kotanya

Sesudah pertempuran yang gemilang itu

lima pemuda mengangkatnya

di antaranya anaknya

Ia menolak

dan tetap merangkak

menuju kota kesayangannya

Ia merangkak

di atas bumi yang dicintainya

Belumlagi selusin tindak

mautpun menghadangnya.

Ketika anaknya memegang tangannya

ia berkata :

" Yang berasal dari tanah

kembali rebah pada tanah.

Dan aku pun berasal dari tanah

tanah Ambarawa yang kucinta

Kita bukanlah anak jadah

Kerna kita punya bumi kecintaan.

Bumi yang menyusui kita

dengan mata airnya.

Bumi kita adalah tempat pautan yang sah.

Bumi kita adalah kehormatan.

Bumi kita adalah juwa dari jiwa.

Ia adalah bumi nenek moyang.

Ia adalah bumi waris yang sekarang.

Ia adalah bumi waris yang akan datang."

Hari pun berangkat malam

Bumi berpeluh dan terbakar

Kerna api menyala di kota Ambarawa

Orang tua itu kembali berkata :

"Lihatlah, hari telah fajar !

Wahai bumi yang indah,

kita akan berpelukan buat selama-lamanya !

Nanti sekali waktu

seorang cucuku

akan menacapkan bajak

di bumi tempatku berkubur

kemudian akan ditanamnya benih

dan tumbuh dengan subur

Maka ia pun berkata :

-Alangkah gemburnya tanah di sini!"

Hari pun lengkap malam

ketika menutup matanya

HAI, KAMU !

Oleh :

W.S. Rendra

Luka-luka di dalam lembaga,

intaian keangkuhan kekerdilan jiwa,

noda di dalam pergaulan antar manusia,

duduk di dalam kemacetan angan-angan.

Aku berontak dengan memandang cakrawala.

Jari-jari waktu menggamitku.

Aku menyimak kepada arus kali.

Lagu margasatwa agak mereda.

Indahnya ketenangan turun ke hatiku.

Lepas sudah himpitan-himpitan yang mengekangku.

Jakarta, 29 Pebruari 1978

Potret Pembangunan dalam Puisi

AGU SEORANG GERILYA

(Untuk puteraku Isaias Sadewa)

Oleh :

W.S. Rendra

Engkau melayang jauh, kekasihku.

Engkau mandi cahaya matahari.

Aku di sini memandangmu,

menyandang senapan, berbendera pusaka.

Di antara pohon-pohon pisang di kampung kita yang berdebu,

engkau berkudung selendang katun di kepalamu.

Engkau menjadi suatu keindahan,

sementara dari jauh

resimen tank penindas terdengar menderu.

Malam bermandi cahaya matahari,

kehijauan menyelimuti medan perang yang membara.

Di dalam hujan tembakan mortir, kekasihku,

engkau menjadi pelangi yang agung dan syahdu

Peluruku habis

dan darah muncrat dari dadaku.

Maka di saat seperti itu

kamu menyanyikan lagu-lagu perjuangan

bersama kakek-kakekku yang telah gugur

di dalam berjuang membela rakyat jelata

Jakarta, 2 september 1977

Potret Pembangunan dalam Puisi

LAGU SERDADU

Oleh :

W.S. Rendra

Kami masuk serdadu dan dapat senapang

ibu kami nangis tapi elang toh harus terbang

Yoho, darah kami campur arak!

Yoho, mimpi kami patung-patung dari perak

Nenek cerita pulau-pulau kita indah sekali

Wahai, tanah yang baik untuk mati

Dan kalau ku telentang dengan pelor timah

cukilah ia bagi puteraku di rumah

Siasat

No. 630, th. 13

Nopember 1959

NOTA BENE : AKU KANGEN

Oleh :

W.S. Rendra

Lunglai - ganas karena bahagia dan sedih,

indah dan gigih cinta kita di dunia yang fana.

Nyawamu dan nyawaku dijodohkan langit,

dan anak kita akan lahir di cakrawala.

Ada pun mata kita akan terus bertatapan hingga berabad-abad lamanya.

Juwitaku yang cakap meskipun tanpa dandanan

untukmu hidupku terbuka.

Warna-warna kehidupan berpendar-pendar menakjubkan

Isyarat-isyarat getaran ajaib menggerakkan penaku.

Tanpa sekejap pun luput dari kenangan padamu

aku bergerak menulis pamplet, mempertahankan kehidupan.

Jakarta, Kotabumi, 24 Maret 1978

Potret Pembangunan dalam Puisi

ORANG-ORANG MISKIN

Oleh :

W.S. Rendra

Orang-orang miskin di jalan,

yang tinggal di dalam selokan,

yang kalah di dalam pergulatan,

yang diledek oleh impian,

janganlah mereka ditinggalkan.

Angin membawa bau baju mereka.

Rambut mereka melekat di bulan purnama.

Wanita-wanita bunting berbaris di cakrawala,

mengandung buah jalan raya.

Orang-orang miskin. Orang-orang berdosa.

Bayi gelap dalam batin. Rumput dan lumut jalan raya.

Tak bisa kamu abaikan.

Bila kamu remehkan mereka,

di jalan kamu akan diburu bayangan.

Tidurmu akan penuh igauan,

dan bahasa anak-anakmu sukar kamu terka.

Jangan kamu bilang negara ini kaya

karena orang-orang berkembang di kota dan di desa.

Jangan kamu bilang dirimu kaya

bila tetanggamu memakan bangkai kucingnya.

Lambang negara ini mestinya trompah dan blacu.

Dan perlu diusulkan

agar ketemu presiden tak perlu berdasi seperti Belanda.

Dan tentara di jalan jangan bebas memukul mahasiswa.

Orang-orang miskin di jalan

masuk ke dalam tidur malammu.

Perempuan-perempuan bunga raya

menyuapi putra-putramu.

Tangan-tangan kotor dari jalanan

meraba-raba kaca jendelamu.

Mereka tak bisa kamu biarkan.

Jumlah mereka tak bisa kamu mistik menjadi nol.

Mereka akan menjadi pertanyaan

yang mencegat ideologimu.

Gigi mereka yang kuning

akan meringis di muka agamamu.

Kuman-kuman sipilis dan tbc dari gang-gang gelap

akan hinggap di gorden presidenan

dan buku programma gedung kesenian.

Orang-orang miskin berbaris sepanjang sejarah,

bagai udara panas yang selalu ada,

bagai gerimis yang selalu membayang.

Orang-orang miskin mengangkat pisau-pisau

tertuju ke dada kita,

atau ke dada mereka sendiri.

O, kenangkanlah :

orang-orang miskin

juga berasal dari kemah Ibrahim

Yogya, 4 Pebruari 1978

Potret Pembangunan dalam Puisi

PAMPLET CINTA

Oleh :

W.S. Rendra

Ma, nyamperin matahari dari satu sisi.

Memandang wajahmu dari segenap jurusan.

Aku menyaksikan zaman berjalan kalangkabutan.

Aku melihat waktu melaju melanda masyarakatku.

Aku merindukan wajahmu,

dan aku melihat wajah-wajah berdarah para mahasiswa.

Kampus telah diserbu mobil berlapis baja.

Kata-kata telah dilawan dengan senjata.

Aku muak dengan gaya keamanan semacam ini.

Kenapa keamanan justru menciptakan ketakutan dan ketegangan

Sumber keamanan seharusnya hukum dan akal sehat.

Keamanan yang berdasarkan senjata dan kekuasaan adalah penindasan

Suatu malam aku mandi di lautan.

Sepi menjdai kaca.

Bunga-bunga yang ajaib bermekaran di langit.

Aku inginkan kamu, tapi kamu tidak ada.

Sepi menjadi kaca.

Apa yang bisa dilakukan oleh penyair

bila setiap kata telah dilawan dengan kekuasaan ?

Udara penuh rasa curiga.

Tegur sapa tanpa jaminan.

Air lautan berkilat-kilat.

Suara lautan adalah suara kesepian.

Dan lalu muncul wajahmu.

Kamu menjadi makna

Makna menjadi harapan.

……. Sebenarnya apakah harapan ?

Harapan adalah karena aku akan membelai rambutmu.

Harapan adalah karena aku akan tetap menulis sajak.

Harapan adalah karena aku akan melakukan sesuatu.

Aku tertawa, Ma !

Angin menyapu rambutku.

Aku terkenang kepada apa yang telah terjadi.

Sepuluh tahun aku berjalan tanpa tidur.

Pantatku karatan aku seret dari warung ke warung.

Perutku sobek di jalan raya yang lengang…….

Tidak. Aku tidak sedih dan kesepian.

Aku menulis sajak di bordes kereta api.

Aku bertualang di dalam udara yang berdebu.

Dengan berteman anjing-anjing geladak dan kucing-kucing liar,

aku bernyanyi menikmati hidup yang kelabu.

Lalu muncullah kamu,

nongol dari perut matahari bunting,

jam duabelas seperempat siang.

Aku terkesima.

Aku disergap kejadian tak terduga.

Rahmat turun bagai hujan

membuatku segar,

tapi juga menggigil bertanya-tanya.

Aku jadi bego, Ma !

Yaaah , Ma, mencintai kamu adalah bahagia dan sedih.

Bahagia karena mempunyai kamu di dalam kalbuku,

dan sedih karena kita sering berpisah.

Ketegangan menjadi pupuk cinta kita.

Tetapi bukankah kehidupan sendiri adalah bahagia dan sedih ?

Bahagia karena napas mengalir dan jantung berdetak.

Sedih karena pikiran diliputi bayang-bayang.

Adapun harapan adalah penghayatan akan ketegangan.

Ma, nyamperin matahari dari satu sisi,

memandang wajahmu dari segenap jurusan.

Pejambon, Jakarta, 28 April 1978

Potret Pembangunan dalam Puisi

SAJAK ANAK MUDA

Oleh :

W.S. Rendra

Kita adalah angkatan gagap

yang diperanakkan oleh angkatan takabur.

Kita kurang pendidikan resmi

di dalam hal keadilan,

karena tidak diajarkan berpolitik,

dan tidak diajar dasar ilmu hukum

Kita melihat kabur pribadi orang,

karena tidak diajarkan kebatinan atau ilmu jiwa.

Kita tidak mengerti uraian pikiran lurus,

karena tidak diajar filsafat atau logika.

Apakah kita tidak dimaksud

untuk mengerti itu semua ?

Apakah kita hanya dipersiapkan

untuk menjadi alat saja ?

inilah gambaran rata-rata

pemuda tamatan SLA,

pemuda menjelang dewasa.

Dasar pendidikan kita adalah kepatuhan.

Bukan pertukaran pikiran.

Ilmu sekolah adalah ilmu hafalan,

dan bukan ilmu latihan menguraikan.

Dasar keadilan di dalam pergaulan,

serta pengetahuan akan kelakuan manusia,

sebagai kelompok atau sebagai pribadi,

tidak dianggap sebagai ilmu yang perlu dikaji dan diuji.

Kenyataan di dunia menjadi remang-remang.

Gejala-gejala yang muncul lalu lalang,

tidak bisa kita hubung-hubungkan.

Kita marah pada diri sendiri

Kita sebal terhadap masa depan.

Lalu akhirnya,

menikmati masa bodoh dan santai.

Di dalam kegagapan,

kita hanya bisa membeli dan memakai

tanpa bisa mencipta.

Kita tidak bisa memimpin,

tetapi hanya bisa berkuasa,

persis seperti bapak-bapak kita.

Pendidikan negeri ini berkiblat ke Barat.

Di sana anak-anak memang disiapkan

Untuk menjadi alat dari industri.

Dan industri mereka berjalan tanpa berhenti.

Tetapi kita dipersiapkan menjadi alat apa ?

Kita hanya menjadi alat birokrasi !

Dan birokrasi menjadi berlebihan

tanpa kegunaan -

menjadi benalu di dahan.

Gelap. Pandanganku gelap.

Pendidikan tidak memberi pencerahan.

Latihan-latihan tidak memberi pekerjaan

Gelap. Keluh kesahku gelap.

Orang yang hidup di dalam pengangguran.

Apakah yang terjadi di sekitarku ini ?

Karena tidak bisa kita tafsirkan,

lebih enak kita lari ke dalam puisi ganja.

Apakah artinya tanda-tanda yang rumit ini ?

Apakah ini ? Apakah ini ?

Ah, di dalam kemabukan,

wajah berdarah

akan terlihat sebagai bulan.

Mengapa harus kita terima hidup begini ?

Seseorang berhak diberi ijazah dokter,

dianggap sebagai orang terpelajar,

tanpa diuji pengetahuannya akan keadilan.

Dan bila ada ada tirani merajalela,

ia diam tidak bicara,

kerjanya cuma menyuntik saja.

Bagaimana ? Apakah kita akan terus diam saja.

Mahasiswa-mahasiswa ilmu hukum

dianggap sebagi bendera-bendera upacara,

sementara hukum dikhianati berulang kali.

Mahasiswa-mahasiswa ilmu ekonomi

dianggap bunga plastik,

sementara ada kebangkrutan dan banyak korupsi.

Kita berada di dalam pusaran tatawarna

yang ajaib dan tidak terbaca.

Kita berada di dalam penjara kabut yang memabukkan.

Tangan kita menggapai untuk mencari pegangan.

Dan bila luput,

kita memukul dan mencakar

ke arah udara

Kita adalah angkatan gagap.

Yang diperanakan oleh angkatan kurangajar.

Daya hidup telah diganti oleh nafsu.

Pencerahan telah diganti oleh pembatasan.

Kita adalah angkatan yang berbahaya.

Pejambon, Jakarta, 23 Juni 1977

Potret Pembangunan dalam Puisi

SAJAK BULAN MEI 1998 DI INDONESIA

OLEH :

W.S. RENDRA

Aku tulis sajak ini di bulan gelap raja-raja.

Bangkai-bangkai tergeletak lengket di aspal jalan.

Amarah merajalela tanpa alamat.

Ketakutan muncul dari sampah kehidupan.

Pikiran kusut membentuk simpul-simpul sejarah.

O, jaman edan !

O, malam kelam pikiran insan !

Koyak-moyak sudah keteduhan tenda kepercayaan.

Kitab undang-undang tergeletak di selokan

Kepastian hidup terhuyung-huyung dalam comberan.

O, tatawarna fatamorgana kekuasaan !

O, sihir berkilauan dari mahkota raja-raja !

Dari sejak jaman Ibrahim dan Musa

Allah selalu mengingatkan

bahwa hukum harus lebih tinggi

dari keinginan para politisi, raja-raja, dan tentara.

O, kebingungan yang muncul dari kabut ketakutan !

O, rasa putus asa yang terbentur sangkur !

Berhentilah mencari ratu adil !

Ratu adil itu tidak ada. Ratu adil itu tipu daya !

Apa yang harus kita tegakkan bersama

adalah Hukum Adil.

Hukum Adil adalah bintang pedoman di dalam prahara.

Bau anyir darah yag kini memenuhi udara

menjadi saksi yang akan berkata :

Apabila pemerintah sudah menjarah Daulat Rakyat,

apabila cukong-cukong sudah menjarah ekonomi bangsa,

apabila aparat keamanan sudah menjarah keamanan,

maka rakyat yang tertekan akan mencontoh penguasa,

lalu menjadi penjarah di pasar dan jalan raya.

Wahai, penguasa dunia yang fana !

Wahai, jiwa yang tertenung sihir tahta !

Apakah masih buta dan tuli di dalam hati ?

Apakah masih akan menipu diri sendiri ?

Apabila saran akal sehat kamu remehkan

berarti pintu untuk pikiran-pikiran gelap

yang akan muncul dari sudut-sudut gelap

telah kamu bukakan !

Cadar kabut duka cita menutup wajah Ibu Pertiwi

Airmata mengalir dari sajakku ini.

Catatan :

Sajak ini dibuat di Jakarta pada 17 Mei 1998 dan dibacakan Rendra di DPR

(Kemarin Bengkel Teater mengirimkan dua sajak ke Jawa Pos)

SAJAK BULAN PURNAMA

Oleh :

W.S. Rendra

Bulan terbit dari lautan.

Rambutnya yang tergerai ia kibaskan.

Dan menjelang malam,

wajahnya yang bundar,

menyinari gubug-gubug kaum gelandangan

kota Jakarta.

Langit sangat cerah.

Para pencuri bermain gitar.

dan kaum pelacur naik penghasilannya.

Malam yang permai

anugerah bagi sopir taksi.

Pertanda nasib baik

bagi tukang kopi di kaki lima.

Bulan purnama duduk di sanggul babu.

Dan cahayanya yang kemilau

membuat tuannya gemetaran.

“kemari, kamu !” kata tuannya

“Tidak, tuan, aku takut nyonya !”

Karena sudah penasaran,

oleh cahaya rembulan,

maka tuannya bertindak masuk dapur

dan langsung menerkamnya

Bulan purnama raya masuk ke perut babu.

Lalu naik ke ubun-ubun

menjadi mimpi yang gemilang.

Menjelang pukul dua,

rembulan turun di jalan raya,

dengan rok satin putih,

dan parfum yang tajam baunya.

Ia disambar petugas keamanan,

lalu disuguhkan pada tamu negara

yang haus akan hiburan.

Yogya, 22 Oktober 1976

Potret Pembangunan dalam Puisi

SAJAK BURUNG-BURUNG KONDOR

Oleh :

W.S. Rendra

Angin gunung turun merembes ke hutan,

lalu bertiup di atas permukaan kali yang luas,

dan akhirnya berumah di daun-daun tembakau.

Kemudian hatinya pilu

melihat jejak-jejak sedih para petani - buruh

yang terpacak di atas tanah gembur

namun tidak memberi kemakmuran bagi penduduknya.

Para tani - buruh bekerja,

berumah di gubug-gubug tanpa jendela,

menanam bibit di tanah yang subur,

memanen hasil yang berlimpah dan makmur

namun hidup mereka sendiri sengsara.

Mereka memanen untuk tuan tanah

yang mempunyai istana indah.

Keringat mereka menjadi emas

yang diambil oleh cukong-cukong pabrik cerutu di Eropa.

Dan bila mereka menuntut perataan pendapatan,

para ahli ekonomi membetulkan letak dasi,

dan menjawab dengan mengirim kondom.

Penderitaan mengalir

dari parit-parit wajah rakyatku.

Dari pagi sampai sore,

rakyat negeriku bergerak dengan lunglai,

menggapai-gapai,

menoleh ke kiri, menoleh ke kanan,

di dalam usaha tak menentu.

Di hari senja mereka menjadi onggokan sampah,

dan di malam hari mereka terpelanting ke lantai,

dan sukmanya berubah menjadi burung kondor.

Beribu-ribu burung kondor,

berjuta-juta burung kondor,

bergerak menuju ke gunung tinggi,

dan disana mendapat hiburan dari sepi.

Karena hanya sepi

mampu menghisap dendam dan sakit hati.

Burung-burung kondor menjerit.

Di dalam marah menjerit,

bergema di tempat-tempat yang sepi.

Burung-burung kondor menjerit

di batu-batu gunung menjerit

bergema di tempat-tempat yang sepi

Berjuta-juta burung kondor mencakar batu-batu,

mematuki batu-batu, mematuki udara,

dan di kota orang-orang bersiap menembaknya.

Yogya, 1973

Potret Pembangunan dalam Puisi

SAJAK BURUNG-BURUNG KONDOR

Oleh :

W.S. Rendra

Angin gunung turun merembes ke hutan,

lalu bertiup di atas permukaan kali yang luas,

dan akhirnya berumah di daun-daun tembakau.

Kemudian hatinya pilu

melihat jejak-jejak sedih para petani - buruh

yang terpacak di atas tanah gembur

namun tidak memberi kemakmuran bagi penduduknya.

Para tani - buruh bekerja,

berumah di gubug-gubug tanpa jendela,

menanam bibit di tanah yang subur,

memanen hasil yang berlimpah dan makmur

namun hidup mereka sendiri sengsara.

Mereka memanen untuk tuan tanah

yang mempunyai istana indah.

Keringat mereka menjadi emas

yang diambil oleh cukong-cukong pabrik cerutu di Eropa.

Dan bila mereka menuntut perataan pendapatan,

para ahli ekonomi membetulkan letak dasi,

dan menjawab dengan mengirim kondom.

Penderitaan mengalir

dari parit-parit wajah rakyatku.

Dari pagi sampai sore,

rakyat negeriku bergerak dengan lunglai,

menggapai-gapai,

menoleh ke kiri, menoleh ke kanan,

di dalam usaha tak menentu.

Di hari senja mereka menjadi onggokan sampah,

dan di malam hari mereka terpelanting ke lantai,

dan sukmanya berubah menjadi burung kondor.

Beribu-ribu burung kondor,

berjuta-juta burung kondor,

bergerak menuju ke gunung tinggi,

dan disana mendapat hiburan dari sepi.

Karena hanya sepi

mampu menghisap dendam dan sakit hati.

Burung-burung kondor menjerit.

Di dalam marah menjerit,

bergema di tempat-tempat yang sepi.

Burung-burung kondor menjerit

di batu-batu gunung menjerit

bergema di tempat-tempat yang sepi

Berjuta-juta burung kondor mencakar batu-batu,

mematuki batu-batu, mematuki udara,

dan di kota orang-orang bersiap menembaknya.

Yogya, 1973

Potret Pembangunan dalam Puisi

SAJAK JOKI TOBING UNTUK WIDURI

Oleh :

W.S. Rendra

Dengan latar belakang gubug-gubug karton,

aku terkenang akan wajahmu.

Di atas debu kemiskinan,

aku berdiri menghadapmu.

Usaplah wajahku, Widuri.

Mimpi remajaku gugur

di atas padang pengangguran.

Ciliwung keruh,

wajah-wajah nelayan keruh,

lalu muncullah rambutmu yang berkibaran

Kemiskinan dan kelaparan,

membangkitkan keangkuhanku.

Wajah indah dan rambutmu

menjadi pelangi di cakrawalaku.

Nusantara Film, Jakarta, 9 Mei 1977

Potret Pembangunan dalam Puisi

SAJAK KENALAN LAMAMU

Oleh :

W.S. Rendra

Kini kita saling berpandangan saudara.

Ragu-ragu apa pula,

kita memang pernah berjumpa.

Sambil berdiri di ambang pintu kereta api,

tergencet oleh penumpang berjubel,

Dari Yogya ke Jakarta,

aku melihat kamu tidur di kolong bangku,

dengan alas kertas koran,

sambil memeluk satu anakmu,

sementara istrimu meneteki bayinya,

terbaring di sebelahmu.

Pernah pula kita satu truk,

duduk di atas kobis-kobis berbau sampah,

sambil meremasi tetek tengkulak sayur,

dan lalu sama-sama kaget,

ketika truk tiba-tiba terhenti

kerna distop oleh polisi,

yang menarik pungutan tidak resmi.

Ya, saudara, kita sudah sering berjumpa,

kerna sama-sama anak jalan raya.

…………………............

Hidup macam apa ini !

Orang-orang dipindah kesana ke mari.

Bukan dari tujuan ke tujuan.

Tapi dari keadaan ke keadaan yang tanpa perubahan.

………….............

Kini kita bersandingan, saudara.

Kamu kenal bau bajuku.

Jangan kamu ragu-ragu,

kita memang pernah bertemu.

Waktu itu hujan rinai.

Aku menarik sehelai plastik dari tong sampah

tepat pada waktu kamu juga menariknya.

Kita saling berpandangan.

Kamu menggendong anak kecil di punggungmu.

Aku membuka mulut,

hendak berkata sesuatu……

Tak sempat !

Lebih dulu tinjumu melayang ke daguku…..

Dalam pandangan mata berkunang-kunang,

aku melihat kamu

membawa helaian plastik itu

ke satu gubuk karton.

Kamu lapiskan ke atap gubugmu,

dan lalu kamu masuk dengan anakmu…..

Sebungkus nasi yang dicuri,

itulah santapan.

Kolong kios buku di terminal

itulah peraduan.

Ya, saudara-saudara, kita sama-sama kenal ini,

karena kita anak jadah bangsa yang mulia.

…………..........

Hidup macam apa hidup ini.

Di taman yang gelap orang menjual badan,

agar mulutnya tersumpal makan.

Di hotel yang mewah istri guru menjual badan

agar pantatnya diganjal sedan.

……...........

Duabelas pasang payudara gemerlapan,

bertatahkan intan permata di sekitar putingnya.

Dan di bawah semuanya,

celana dalam sutera warna kesumba.

Ya, saudara,

Kita sama-sama tertawa mengenang ini semua.

Ragu-ragu apa pula

kita memang pernah berjumpa.

Kita telah menyaksikan,

betapa para pembesar

menjilati selangkang wanita,

sambil kepalanya diguyur anggur.

Ya, kita sama-sama germo,

yang menjahitkan jas di Singapura

mencat rambut di pangkuan bintang film,

main golf, main mahyong,

dan makan kepiting saus tiram di restoran terhormat.

…….....

Hidup dalam khayalan,

hidup dalam kenyataan……

tak ada bedanya.

Kerna khayalan dinyatakan,

dan kenyataan dikhayalkan,

di dalam peradaban fatamorgana.

……….

Ayo, jangan lagi sangsi,

kamu kenal suara batukku.

Kamu lihat lagi gayaku meludah di trotoar.

Ya, memang aku. Temanmu dulu.

Kita telah sama-sama mencuri mobil ayahmu

bergiliran meniduri gula-gulanya,

dan mengintip ibumu main serong

dengan ajudan ayahmu.

Kita telah sama-sama beli morphin dari guru kita.

Menenggak valium yang disediakan oleh dokter untuk ibumu,

dan akhirnya menggeletak di emper tiko,

di samping kere di Malioboro.

Kita alami semua ini,

kerna kita putra-putra dewa di dalam masyarakat kita.

…..

Hidup melayang-layang.

Selangit,

melayang-layang.

Kekuasaan mendukung kita serupa ganja…..

meninggi…. Ke awan……

Peraturan dan hukuman,

kitalah yang empunya.

Kita tulis dengan keringat di ketiak,

di atas sol sepatu kita.

Kitalah gelandangan kaya,

yang perlu meyakinkan diri

dengan pembunuhan.

…........

Saudara-saudara, kita sekarang berjabatan.

Kini kita bertemu lagi.

Ya, jangan kamu ragu-ragu,

kita memang pernah bertemu.

Bukankah tadi telah kamu kenal

betapa derap langkahku ?

Kita dulu pernah menyetop lalu lintas,

membakari mobil-mobil,

melambaikan poster-poster,

dan berderap maju, berdemonstrasi.

Kita telah sama-sama merancang strategi

di panti pijit dan restoran.

Dengan arloji emas,

secara teliti kita susun jadwal waktu.

Bergadang, berunding di larut kelam,

sambil mendekap hostess di kelab malam.

Kerna begitulah gaya pemuda harapan bangsa.

Politik adalah cara merampok dunia.

Politk adalah cara menggulingkan kekuasaan,

untuk menikmati giliran berkuasa.

Politik adalah tangga naiknya tingkat kehidupan.

dari becak ke taksi, dari taksi ke sedan pribadi

lalu ke mobil sport, lalu : helikopter !

Politik adalah festival dan pekan olah raga.

Politik adalah wadah kegiatan kesenian.

Dan bila ada orang banyak bacot,

kita cap ia sok pahlawan.

…..........................

Dimanakah kunang-kunag di malam hari ?

Dimanakah trompah kayu di muka pintu ?

Di hari-hari yang berat,

aku cari kacamataku,

dan tidak ketemu.

……............

Ya, inilah aku ini !

Jangan lagi sangsi !

Inilah bau ketiakku.

Inilah suara batukku.

Kamu telah menjamahku,

jangan lagi kamu ragau.

Kita telah sama-sama berdiri di sini,

melihat bianglala berubah menjadi lidah-lidah api,

gunung yang kelabu membara,

kapal terbang pribadi di antara mega-mega meneteskan air mani

di putar blue-film di dalamnya.

…………………

Kekayaan melimpah.

Kemiskinan melimpah.

Darah melimpah.

Ludah menyembur dan melimpah.

Waktu melanda dan melimpah.

Lalu muncullah banjir suara.

Suara-suara di kolong meja.

Suara-suara di dalam lacu.

Suara-suara di dalam pici.

Dan akhirnya

dunia terbakar oleh tatawarna,

Warna-warna nilon dan plastik.

Warna-warna seribu warna.

Tidak luntur semuanya.

Ya, kita telah sama-sama menjadi saksi

dari suatu kejadian,

yang kita tidak tahu apa-apa,

namun lahir dari perbuatan kita.

Yogyakarta, 21 Juni 1977

Potret Pembangunan dalam Puisi

SAJAK MATA-MATA

Oleh :

W.S. Rendra

Ada suara bising di bawah tanah.

Ada suara gaduh di atas tanah.

Ada ucapan-ucapan kacau di antara rumah-rumah.

Ada tangis tak menentu di tengah sawah.

Dan, lho, ini di belakang saya

ada tentara marah-marah.

Apaa saja yang terjadi ? Aku tak tahu.

Aku melihat kilatan-kilatan api berkobar.

Aku melihat isyarat-isyarat.

Semua tidak jelas maknanya.

Raut wajah yang sengsara, tak bisa bicara,

menggangu pemandanganku.

Apa saja yang terjadi ? Aku tak tahu.

Pendengaran dan penglihatan

menyesakkan perasaan,

membuat keresahan -

Ini terjadi karena apa-apa yang terjadi

terjadi tanpa kutahu telah terjadi.

Aku tak tahu. Kamu tak tahu.

Tak ada yang tahu.

Betapa kita akan tahu,

kalau koran-koran ditekan sensor,

dan mimbar-mimbar yang bebas telah dikontrol.

Koran-koran adalah penerusan mata kita.

Kini sudah diganti mata yang resmi.

Kita tidak lagi melihat kenyataan yang beragam.

Kita hanya diberi gambara model keadaan

yang sudah dijahit oleh penjahit resmi.

Mata rakyat sudah dicabut.

Rakyat meraba-raba di dalam kasak-kusuk.

Mata pemerintah juga diancam bencana.

Mata pemerintah memakai kacamata hitam.

Terasing di belakang meja kekuasaan.

Mata pemerintah yang sejati

sudah diganti mata-mata.

Barisan mata-mata mahal biayanya.

Banyak makannya.

Sukar diaturnya.

Sedangkan laporannya

mirp pandangan mata kuda kereta

yang dibatasi tudung mata.

Dalam pandangan yang kabur,

semua orang marah-marah.

Rakyat marah, pemerinta marah,

semua marah lantara tidak punya mata.

Semua mata sudah disabotir.

Mata yangbebas beredar hanyalah mata-mata.

Hospital Rancabadak, Bandung, 28 Januari 1978

Potret Pembangunan dalam Puisi

SAJAK MATAHARI

Oleh :

W.S. Rendra

Matahari bangkit dari sanubariku.

Menyentuh permukaan samodra raya.

Matahari keluar dari mulutku,

menjadi pelangi di cakrawala.

Wajahmu keluar dari jidatku,

wahai kamu, wanita miskin !

kakimu terbenam di dalam lumpur.

Kamu harapkan beras seperempat gantang,

dan di tengah sawah tuan tanah menanammu !

Satu juta lelaki gundul

keluar dari hutan belantara,

tubuh mereka terbalut lumpur

dan kepala mereka berkilatan

memantulkan cahaya matahari.

Mata mereka menyala

tubuh mereka menjadi bara

dan mereka membakar dunia.

Matahri adalah cakra jingga

yang dilepas tangan Sang Krishna.

Ia menjadi rahmat dan kutukanmu,

ya, umat manusia !

Yogya, 5 Maret 1976

Potret Pembangunan dalam Puisi

SAJAK ORANG KEPANASAN

Oleh :

W.S. Rendra

Karena kami makan akar

dan terigu menumpuk di gudangmu

Karena kami hidup berhimpitan

dan ruangmu berlebihan

maka kami bukan sekutu

Karena kami kucel

dan kamu gemerlapan

Karena kami sumpek

dan kamu mengunci pintu

maka kami mencurigaimu

Karena kami telantar dijalan

dan kamu memiliki semua keteduhan

Karena kami kebanjiran

dan kamu berpesta di kapal pesiar

maka kami tidak menyukaimu

Karena kami dibungkam

dan kamu nyerocos bicara

Karena kami diancam

dan kamu memaksakan kekuasaan

maka kami bilang : TIDAK kepadamu

Karena kami tidak boleh memilih

dan kamu bebas berencana

Karena kami semua bersandal

dan kamu bebas memakai senapan

Karena kami harus sopan

dan kamu punya penjara

maka TIDAK dan TIDAK kepadamu

Karena kami arus kali

dan kamu batu tanpa hati

maka air akan mengikis batu

Suara Merdeka,

Jumat, 15 Mei 1998

SAJAK PEPERANGAN ABIMANYU

(Untuk puteraku, Isaias Sadewa)

Oleh :

W.S. Rendra

Ketika maut mencegatnya di delapan penjuru.

Sang ksatria berdiri dengan mata bercahaya.

Hatinya damai,

di dalam dadanya yang bedah dan berdarah,

karena ia telah lunas

menjalani kewjiban dan kewajarannya.

Setelah ia wafat

apakah petani-petani akan tetap menderita,

dan para wanita kampung

tetap membanjiri rumah pelacuran di kota ?

Itulah pertanyaan untuk kita yang hidup.

Tetapi bukan itu yang terlintas di kepalanya

ketika ia tegak dengan tubuh yang penuh luka-luka.

Saat itu ia mendengar

nyanyian angin dan air yang turun dari gunung.

Perjuangan adalah satu pelaksanaan cita dan rasa.

Perjuangan adalah pelunasan kesimpulan penghayatan.

Di saat badan berlumur darah,

jiwa duduk di atas teratai.

Ketika ibu-ibu meratap

dan mengurap rambut mereka dengan debu,

roh ksatria bersetubuh dengan cakrawala

untuk menanam benih

agar nanti terlahir para pembela rakyat tertindas

- dari zaman ke zaman

Jakarta, 2 Sptember 1977

Potret Pembangunan dalam Puisi

SAJAK PERTEMUAN MAHASISWA

Oleh :

W.S. Rendra

Matahari terbit pagi ini

mencium bau kencing orok di kaki langit,

melihat kali coklat menjalar ke lautan,

dan mendengar dengung lebah di dalam hutan.

Lalu kini ia dua penggalah tingginya.

Dan ia menjadi saksi kita berkumpul di sini

memeriksa keadaan.

Kita bertanya :

Kenapa maksud baik tidak selalu berguna.

Kenapa maksud baik dan maksud baik bisa berlaga.

Orang berkata “ Kami ada maksud baik “

Dan kita bertanya : “ Maksud baik untuk siapa ?”

Ya ! Ada yang jaya, ada yang terhina

Ada yang bersenjata, ada yang terluka.

Ada yang duduk, ada yang diduduki.

Ada yang berlimpah, ada yang terkuras.

Dan kita di sini bertanya :

“Maksud baik saudara untuk siapa ?

Saudara berdiri di pihak yang mana ?”

Kenapa maksud baik dilakukan

tetapi makin banyak petani yang kehilangan tanahnya.

Tanah-tanah di gunung telah dimiliki orang-orang kota.

Perkebunan yang luas

hanya menguntungkan segolongan kecil saja.

Alat-alat kemajuan yang diimpor

tidak cocok untuk petani yang sempit tanahnya.

Tentu kita bertanya :

“Lantas maksud baik saudara untuk siapa ?”

Sekarang matahari, semakin tinggi.

Lalu akan bertahta juga di atas puncak kepala.

Dan di dalam udara yang panas kita juga bertanya :

Kita ini dididik untuk memihak yang mana ?

Ilmu-ilmu yang diajarkan di sini

akan menjadi alat pembebasan,

ataukah alat penindasan ?

Sebentar lagi matahari akan tenggelam.

Malam akan tiba.

Cicak-cicak berbunyi di tembok.

Dan rembulan akan berlayar.

Tetapi pertanyaan kita tidak akan mereda.

Akan hidup di dalam bermimpi.

Akan tumbuh di kebon belakang.

Dan esok hari

matahari akan terbit kembali.

Sementara hari baru menjelma.

Pertanyaan-pertanyaan kita menjadi hutan.

Atau masuk ke sungai

menjadi ombak di samodra.

Di bawah matahari ini kita bertanya :

Ada yang menangis, ada yang mendera.

Ada yang habis, ada yang mengikis.

Dan maksud baik kita

berdiri di pihak yang mana !

Jakarta 1 Desember 1977

Potret Pembangunan dalam Puisi

Sajak ini dipersembahkan kepada para mahasiswa Universitas Indonesia di Jakarta, dan dibacakan di dalam salah satu adegan film “Yang Muda Yang Bercinta”, yang disutradarai oleh Sumandjaja.

SAJAK POTRET KELUARGA

Oleh :

W.S. Rendra

Tanggal lima belas tahun rembulan.

Wajah molek bersolek di angkasa.

Kemarau dingin jalan berdebu.

Ular yang lewat dipagut naga.

Burung tekukur terpisah dari sarangnya.

Kepada rekannya berkatalah suami itu :

“Semuanya akan beres. Pasti beres.

Mengeluhkan keadaan tak ada gunanya.

Kesukaran selalu ada.

Itulah namanya kehidupan.

Apa yang kita punya sudah lumayan.

Asal keluarga sudah terjaga,

rumah dan mobil juga ada,

apa palgi yang diruwetkan ?

Anak-anak dengan tertib aku sekolahkan.

Yang putri di SLA, yang putra mahasiswa.

Di rumah ada TV, anggrek,

air conditioning, dan juga agama.

Inilah kesejahteraan yang harus dibina.

Kita mesti santai.

Hanya orang edan sengaja mencari kesukaran.

Memprotes keadaaan, tidak membawa perubahan.

Salah-salah malah hilang jabatan.”

………

Tanggal lima belas tahun rembulan

Angin kemarau tergantung di blimbing berkembang.

Malam disambut suara halus dalam rumputan.

Anjing menjenguk keranjang sampah.

Kucing berjalan di bubungan atap.

Dan ketonggeng menunggu di bawah batu.

Isri itu duduk di muka kaca dan berkata :

“Hari-hari mengalir seperti sungai arak.

Udara penuh asap candu.

Tak ada yang jelas di dalam kehidupan.

Peristiwa melayang-layang bagaikan bayangan.

Tak ada yang bisa diambil pegangan.

Suamiku asyik dengan mobilnya

padahal hidupnya penuh utang.

Semakin kaya semakin banyak pula utangnya.

Uang sekolah anak-anak selalu lambat dibayar.

Ya, Tuhan, apa yang terjadi pada anak-anakku.

Apakah jaminan pendidikannya ?

Ah, Suamiku !

Dahulu ketika remaja hidupnya sederhana,

pikirannya jelas pula.

Tetapi kini serba tidak kebenaran.

Setiap barang membuatnya berengsek.

Padahal harganya mahal semua.

TV Selalu dibongkar.

Gambar yang sudah jelas juga masih dibenar-benarkan.

Akhirnya tertidur…….

Sementara TV-nya membuat kegaduhan.

Tak ada lagi yang bisa menghiburnya.

Gampang marah soal mobil

Gampang pula kambuh bludreknya

Makanan dengan cermat dijaga

malahan kena sakit gula.

Akulah yang selalu kena luapan.

Ia marah karena tak berdaya.

Ia menyembunyikan kegagalam.

Ia hanyut di dalam kemajuan zaman.

Tidak gagah. Tidak berdaya melawannya !”

…......................................

Tanggal lima belas tahun rembulan.

Tujuh unggas tidur di pohon nangka

Sedang di tanah ular mencari mangsa.

Berdesir-desir bunyi kali dikejauhan.

Di tebing yang landai tidurlah buaya.

Di antara batu-batu dua ketam bersenggama.

Sang Putri yang di SLA, berkata :

“Kawinilah aku. Buat aku mengandung.

Bawalah aku pergi. Jadikanlah aku babu.

Aku membenci duniaku ini.

Semuanya serba salah, setiap orang gampang marah.

Ayah gampang marah lantaran mobil dan TV

Ibu gampang marah lantaran tak berani marah kepada ayah.

Suasana tegang di dalam rumah

meskipun rapi perabotannya.

Aku yakin keluargaku mencintaiku.

Tetapi semuanya ini untuk apa ?

Untuk apa hidup keluargaku ini ?

Apakah ayah hidup untuk mobil dan TV ?

Apakah ibu hidup karena tak punya pilihan ?

Dan aku ? Apa jadinya aku nanti ?

Tiga belas tahun aku belajar di sekolah.

Tetapi belum juga mampu berdiri sendiri.

Untuk apakah kehidupan kami ini ?

Untuk makan ? Untuk baca komik ?

Untuk apa ?

Akhirnya mendorong untuk tidak berbuat apa-apa !

Kemacetan mencengkeram hidup kami.

Kakasihku, temanilah aku merampok Bank.

Pujaanku, suntikkan morpin ini ke urat darah di tetekku “

………....................................

Tanggal lima belas tahun rembulan.

Atap-atap rumah nampak jelas bentuknya

di bawah cahaya bulan.

Sumur yang sunyi menonjol di bawah dahan.

Akar bambu bercahaya pospor.

Keleawar terbang menyambar-nyambar.

Seekor kadal menangkap belalang.

Sang Putra, yang mahasiswa, menulis surat dimejanya :

“ Ayah dan ibu yang terhormat,

aku pergi meninggalkan rumah ini.

Cinta kasih cukup aku dapatkan.

Tetapi aku menolak cara hidup ayah dan ibu.

Ya, aku menolak untuk mendewakan harta.

Aku menolak untuk mengejar kemewahan,

tetapi kehilangan kesejahteraan.

Bahkan kemewahan yang ayah punya

tidak juga berarti kemakmuran.

Ayah berkata : “santai, santai ! “

tetapi sebenarnya ayah hanyut

dibawa arus jorok keadaan

Ayah hanya punya kelas,

tetapi tidak punya kehormatan.

Kenapa ayah berhak mendapatkan kemewahan yang sekarang ayah miliki ini?

Hasil dari bekerja ? Bekerja apa ?

Apakh produksi dan jasa seorang birokrat yang korupsi ?

Seorang petani lebih produktip daripada ayah.

Seorang buruh lebih punya jasa yang nyata.

Ayah hanya bisa membuat peraturan.

Ayah hanya bisa tunduk pada atasan.

Ayah hanya bisa mendukung peraturan yang memisahkan rakyat dari penguasa.

Ayah tidak produktip melainkan destruktip.

Namun toh ayah mendapat gaji besar !

Apakah ayah pernah memprotes ketidakadilan ?

tidak pernah, bukan ?

Terlalu beresiko, bukan ?

Apakah aku harus mencontoh ayah ?

Sikap hidup ayah adalah pendidikan buruk bagi jiwaku.

Ayah dan ibu, selamat tinggal.

Daya hidupku menolak untuk tidak berdaya. “

Yogya, 10 Juli 1975.

Potret Pembangunan dalam Puisi

SAJAK PULAU BALI

Oleh :

W.S. Rendra

Sebab percaya akan keampuhan industri

dan yakin bisa memupuk modal nasional

dari kesenian dan keindahan alam,

maka Bali menjadi obyek pariwisata.

Betapapun :

tanpa basa-basi keyakinan seperti itu,

Bali harus dibuka untuk pariwisata.

Sebab :

pesawat-pesawat terbang jet sudah dibikin,

dan maskapai penerbangan harus berjalan.

Harus ada orang-orang untuk diangkut.

Harus diciptakan tempat tujuan untuk dijual.

Dan waktu senggang manusia,

serta masa berlibur untuk keluarga,

harus bisa direbut oleh maskapai

untuk diindustrikan.

Dan Bali,

dengan segenap kesenian,

kebudayaan, dan alamnya,

harus bisa diringkaskan,

untuk dibungkus dalam kertas kado,

dan disuguhkan pada pelancong.

Pesawat terbang jet di tepi rimba Brazilia,

di muka perkemahan kaum Badui,

di sisi mana pun yang tak terduga,

lebih mendadak dari mimpi,

merupakan kejutan kebudayaan.

Inilah satu kekuasaan baru.

Begitu cepat hingga kita terkesiap.

Begitu lihai sehingga kita terkesima.

Dan sementara kita bengong,

pesawat terbang jet yang muncul dari mimipi,

membawa bentuk kekuatan modalnya :

lapangan terbang. “hotel - bistik - dan - coca cola”,

jalan raya, dan para pelancong.

“Oh, look, honey - dear !

Lihat orang-orang pribumi itu!

Mereka memanjat pohon kelapa seperti kera.

Fantastic ! Kita harus memotretnya !

................................

Awas ! Jangan dijabat tangannya !

senyum saja and say hello.

You see, tangannya kotor

Siapa tahu ada telor cacing di situ.

…………………….

My God, alangkah murninya mereka.

Ia tidak menutupi teteknya !

Look, John, ini benar-benar tetek.

Lihat yang ini ! O, sempurna !

Mereka bebas dan spontan.

Aku ingin seperti mereka…..

Eh, maksudku…..

Okey ! Okey !….Ini hanya pengandaian saja.

Aku tahu kamu melarang aku tanpa beha.

Look, now, John, jangan cemberut !

Berdirilah di sampingnya,

aku potret di sini.

Ah ! Fabolous !”

Dan Bank Dunia

selalu tertarik membantu negara miskin

untuk membuat proyek raksasa.

Artinya : yang 90 % dari bahannya harus diimpor.

Dan kemajuan kita

adalah kemajuan budak

atau kemajuan penyalur dan pemakai.

Maka di Bali

hotel-hotel pribumi bangkrut

digencet oleh packaged tour.

Kebudayaan rakyat ternoda

digencet standar dagang internasional.

Tari-tarian bukan lagi satu mantra,

tetapi hanya sekedar tontonan hiburan.

Pahatan dan ukiran bukan lagi ungkapan jiwa,

tetapi hanya sekedar kerajinan tangan.

Hidup dikuasai kehendak manusia,

tanpa menyimak jalannya alam.

Kekuasaan kemauan manusia,

yang dilembagakan dengan kuat,

tidak mengacuhkan naluri ginjal,

hati, empedu, sungai, dan hutan.

Di Bali :

pantai, gunung, tempat tidur dan pura,

telah dicemarkan

Pejambon, 23 Juni 1977.

Potret Pembangunan dalam Puisi

SAJAK SEBATANG LISONG

Oleh :

W.S. Rendra

Menghisap sebatang lisong

melihat Indonesia Raya,

mendengar 130 juta rakyat,

dan di langit

dua tiga cukong mengangkang,

berak di atas kepala mereka

Matahari terbit.

Fajar tiba.

Dan aku melihat delapan juta kanak-kanak

tanpa pendidikan.

Aku bertanya,

tetapi pertanyaan-pertanyaanku

membentur meja kekuasaan yang macet,

dan papantulis-papantulis para pendidik

yang terlepas dari persoalan kehidupan.

Delapan juta kanak-kanak

menghadapi satu jalan panjang,

tanpa pilihan,

tanpa pepohonan,

tanpa dangau persinggahan,

tanpa ada bayangan ujungnya.

…………………

Menghisap udara

yang disemprot deodorant,

aku melihat sarjana-sarjana menganggur

berpeluh di jalan raya;

aku melihat wanita bunting

antri uang pensiun.

Dan di langit;

para tekhnokrat berkata :

bahwa bangsa kita adalah malas,

bahwa bangsa mesti dibangun;

mesti di-up-grade

disesuaikan dengan teknologi yang diimpor

Gunung-gunung menjulang.

Langit pesta warna di dalam senjakala

Dan aku melihat

protes-protes yang terpendam,

terhimpit di bawah tilam.

Aku bertanya,

tetapi pertanyaanku

membentur jidat penyair-penyair salon,

yang bersajak tentang anggur dan rembulan,

sementara ketidakadilan terjadi di sampingnya

dan delapan juta kanak-kanak tanpa pendidikan

termangu-mangu di kaki dewi kesenian.

Bunga-bunga bangsa tahun depan

berkunang-kunang pandang matanya,

di bawah iklan berlampu neon,

Berjuta-juta harapan ibu dan bapak

menjadi gemalau suara yang kacau,

menjadi karang di bawah muka samodra.

………………

Kita harus berhenti membeli rumus-rumus asing.

Diktat-diktat hanya boleh memberi metode,

tetapi kita sendiri mesti merumuskan keadaan.

Kita mesti keluar ke jalan raya,

keluar ke desa-desa,

mencatat sendiri semua gejala,

dan menghayati persoalan yang nyata.

Inilah sajakku

Pamplet masa darurat.

Apakah artinya kesenian,

bila terpisah dari derita lingkungan.

Apakah artinya berpikir,

bila terpisah dari masalah kehidupan.

19 Agustus 1977

ITB Bandung

Potret Pembangunan dalam Puisi

Sajak ini dipersembahkan kepada para mahasiswa Institut Teknologi Bandung, dan dibacakan di dalam salah satu adegan film “Yang Muda Yang Bercinta”, yang disutradarai oleh Sumandjaya.

SAJAK SEBOTOL BIR

Oleh :

W.S. Rendra

Menenggak bir sebotol,

menatap dunia,

dan melihat orang-orang kelaparan.

Membakar dupa,

mencium bumi,

dan mendengar derap huru-hara.

Hiburan kota besar dalam semalam,

sama dengan biaya pembangunan sepuluh desa !

Peradaban apakah yang kita pertahankan ?

Mengapa kita membangun kota metropolitan ?

dan alpa terhadap peradaban di desa ?

Kenapa pembangunan menjurus kepada penumpukan,

dan tidak kepada pengedaran ?

Kota metropolitan di sini tidak tumbuh dari industri,

Tapi tumbuh dari kebutuhan negara industri asing

akan pasaran dan sumber pengadaan bahan alam

Kota metropolitan di sini,

adalah sarana penumpukan bagi Eropa, Jepang, Cina, Amerika,

Australia, dan negara industri lainnya.

Dimanakah jalan lalu lintas yang dulu ?

Yang neghubungkan desa-desa dengan desa-desa ?

Kini telah terlantarkan.

Menjadi selokan atau kubangan.

Jalanlalu lintas masa kini,

mewarisi pola rencana penjajah tempo dulu,

adalah alat penyaluran barang-barang asing dari

pelabuhan ke kabupaten-kabupaten dan

bahan alam dari kabupaten-kabupaten ke pelabuhan.

Jalan lalu lintas yang diciptakan khusus,

tidak untuk petani,

tetapi untuk pedagang perantara dan cukong-cukong.

Kini hanyut di dalam arus peradaban yang tidak kita kuasai.

Di mana kita hanya mampu berak dan makan,

tanpa ada daya untuk menciptakan.

Apakah kita akan berhenti saampai di sini ?

Apakah semua negara yang ingin maju harus menjadi negara industri ?

Apakah kita bermimpi untuk punya pabrik-pabrik

yang tidak berhenti-hentinya menghasilkan……..

harus senantiasa menghasilkan….

Dan akhirnya memaksa negara lain

untuk menjadi pasaran barang-barang kita ?

…………………………….

Apakah pilihan lain dari industri hanya pariwisata ?

Apakah pemikiran ekonomi kita

hanya menetek pada komunisme dan kapitalisme ?

Kenapa lingkungan kita sendiri tidak dikira ?

Apakah kita akan hanyut saja

di dalam kekuatan penumpukan

yang menyebarkan pencemaran dan penggerogosan

terhadap alam di luar dan alam di dalam diri manusia ?

……………………………….

Kita telah dikuasai satu mimpi

untuk menjadi orang lain.

Kita telah menjadi asing

di tanah leluhur sendiri.

Orang-orang desa blingsatan, mengejar mimpi,

dan menghamba ke Jakarta.

Orang-orang Jakarta blingsatan, mengejar mimpi

dan menghamba kepada Jepang,

Eropa, atau Amerika.

Pejambon, 23 Juni 1977

Potret Pembangunan dalam Puisi

SAJAK SEONGGOK JAGUNG

Oleh :

W.S. Rendra

Seonggok jagung di kamar

dan seorang pemuda

yang kurang sekolahan.

Memandang jagung itu,

sang pemuda melihat ladang;

ia melihat petani;

ia melihat panen;

dan suatu hari subuh,

para wanita dengan gendongan

pergi ke pasar ………..

Dan ia juga melihat

suatu pagi hari

di dekat sumur

gadis-gadis bercanda

sambil menumbuk jagung

menjadi maisena.

Sedang di dalam dapur

tungku-tungku menyala.

Di dalam udara murni

tercium kuwe jagung

Seonggok jagung di kamar

dan seorang pemuda.

Ia siap menggarap jagung

Ia melihat kemungkinan

otak dan tangan

siap bekerja

Tetapi ini :

Seonggok jagung di kamar

dan seorang pemuda tamat SLA

Tak ada uang, tak bisa menjadi mahasiswa.

Hanya ada seonggok jagung di kamarnya.

Ia memandang jagung itu

dan ia melihat dirinya terlunta-lunta .

Ia melihat dirinya ditendang dari diskotik.

Ia melihat sepasang sepatu kenes di balik etalase.

Ia melihat saingannya naik sepeda motor.

Ia melihat nomor-nomor lotre.

Ia melihat dirinya sendiri miskin dan gagal.

Seonggok jagung di kamar

tidak menyangkut pada akal,

tidak akan menolongnya.

Seonggok jagung di kamar

tak akan menolong seorang pemuda

yang pandangan hidupnya berasal dari buku,

dan tidak dari kehidupan.

Yang tidak terlatih dalam metode,

dan hanya penuh hafalan kesimpulan,

yang hanya terlatih sebagai pemakai,

tetapi kurang latihan bebas berkarya.

Pendidikan telah memisahkannya dari kehidupan.

Aku bertanya :

Apakah gunanya pendidikan

bila hanya akan membuat seseorang menjadi asing

di tengah kenyataan persoalannya ?

Apakah gunanya pendidikan

bila hanya mendorong seseorang

menjadi layang-layang di ibukota

kikuk pulang ke daerahnya ?

Apakah gunanya seseorang

belajat filsafat, sastra, teknologi, ilmu kedokteran,

atau apa saja,

bila pada akhirnya,

ketika ia pulang ke daerahnya, lalu berkata :

“ Di sini aku merasa asing dan sepi !”

Tim, 12 Juli 1975

Potret Pembangunan dalam Puisi

SAJAK SEORANG TUA DI BAWAH POHON

Oleh :

W.S. Rendra

Inilah sajakku,

seorang tua yang berdiri di bawah pohon meranggas,

dengan kedua tangan kugendong di belakang,

dan rokok kretek yang padam di mulutku.

Aku memandang zaman.

Aku melihat gambaran ekonomi

di etalase toko yang penuh merk asing,

dan jalan-jalan bobrok antar desa

yang tidak memungkinkan pergaulan.

Aku melihat penggarongan dan pembusukan.

Aku meludah di atas tanah.

Aku berdiri di muka kantor polisi.

Aku melihat wajah berdarah seorang demonstran.

Aku melihat kekerasan tanpa undang-undang.

Dan sebatang jalan panjang,

punuh debu,

penuh kucing-kucing liar,

penuh anak-anak berkudis,

penuh serdadu-serdadu yang jelek dan menakutkan.

Aku berjalan menempuh matahari,

menyusuri jalan sejarah pembangunan,

yang kotor dan penuh penipuan.

Aku mendengar orang berkata :

"Hak asasi manusia tidak sama dimana-mana.

Di sini, demi iklim pembangunan yang baik,

kemerdekaan berpolitik harus dibatasi.

Mengatasi kemiskinan

meminta pengorbanan sedikit hak asasi"

Astaga, tahi kerbo apa ini !

Apa disangka kentut bisa mengganti rasa keadilan ?

Di negeri ini hak asasi dikurangi,

justru untuk membela yang mapan dan kaya.

Buruh, tani, nelayan, wartawan, dan mahasiswa,

dibikin tak berdaya.

O, kepalsuan yang diberhalakan,

berapa jauh akan bisa kaulawan kenyataan kehidupan.

Aku mendengar bising kendaraan.

Aku mendengar pengadilan sandiwara.

Aku mendengar warta berita.

Ada gerilya kota merajalela di Eropa.

Seorang cukong bekas kaki tangan fasis,

seorang yang gigih, melawan buruh,

telah diculik dan dibunuh,

oleh golongan orang-orang yang marah.

Aku menatap senjakala di pelabuhan.

Kakiku ngilu,

dan rokok di mulutku padam lagi.

Aku melihat darah di langit.

Ya ! Ya ! Kekerasan mulai mempesona orang.

Yang kuasa serba menekan.

Yang marah mulai mengeluarkan senjata.

Bajingan dilawan secara bajingan.

Ya ! Inilah kini kemungkinan yang mulai menggoda orang.

Bila pengadilan tidak menindak bajingan resmi,

maka bajingan jalanan yang akan diadili.

Lalu apa kata nurani kemanusiaan ?

Siapakah yang menciptakan keadaan darurat ini ?

Apakah orang harus meneladan tingkah laku bajingan resmi ?

Bila tidak, kenapa bajingan resmi tidak ditindak ?

Apakah kata nurani kemanusiaan ?

O, Senjakala yang menyala !

Singkat tapi menggetarkan hati !

Lalu sebentar lagi orang akan mencari bulan dan bintang-bintang !

O, gambaran-gambaran yang fana !

Kerna langit di badan yang tidak berhawa,

dan langit di luar dilabur bias senjakala,

maka nurani dibius tipudaya.

Ya ! Ya ! Akulah seorang tua !

Yang capek tapi belum menyerah pada mati.

Kini aku berdiri di perempatan jalan.

Aku merasa tubuhku sudah menjadi anjing.

Tetapi jiwaku mencoba menulis sajak.

Sebagai seorang manusia.

Pejambon, 23 Oktober 1977

Potret Pembangunan dalam Puisi

SAJAK SEORANG TUA TENTANG BANDUNG LAUTAN API

Oleh :

W.S. Rendra

Bagaimana mungkin kita bernegara

Bila tidak mampu mempertahankan wilayahnya

Bagaimana mungkin kita berbangsa

Bila tidak mampu mempertahankan kepastian hidup

bersama ?

Itulah sebabnya

Kami tidak ikhlas

menyerahkan Bandung kepada tentara Inggris

dan akhirnya kami bumi hanguskan kota tercinta itu

sehingga menjadi lautan api

Kini batinku kembali mengenang

udara panas yang bergetar dan menggelombang,

bau asap, bau keringat

suara ledakan dipantulkan mega yang jingga, dan kaki

langit berwarna kesumba

Kami berlaga

memperjuangkan kelayakan hidup umat manusia.

Kedaulatan hidup bersama adalah sumber keadilan merata

yang bisa dialami dengan nyata

Mana mungkin itu bisa terjadi

di dalam penindasan dan penjajahan

Manusia mana

Akan membiarkan keturunannya hidup

tanpa jaminan kepastian ?

Hidup yang disyukuri adalah hidup yang diolah

Hidup yang diperkembangkan

dan hidup yang dipertahankan

Itulah sebabnya kami melawan penindasan

Kota Bandung berkobar menyala-nyala tapi kedaulatan

bangsa tetap terjaga

Kini aku sudah tua

Aku terjaga dari tidurku

di tengah malam di pegunungan

Bau apakah yang tercium olehku ?

Apakah ini bau asam medan laga tempo dulu

yang dibawa oleh mimpi kepadaku ?

Ataukah ini bau limbah pencemaran ?

Gemuruh apakah yang aku dengar ini ?

Apakah ini deru perjuangan masa silam

di tanah periangan ?

Ataukah gaduh hidup yang rusuh

karena dikhianati dewa keadilan.

Aku terkesiap. Sukmaku gagap. Apakah aku

dibangunkan oleh mimpi ?

Apakah aku tersentak

Oleh satu isyarat kehidupan ?

Di dalam kesunyian malam

Aku menyeru-nyeru kamu, putera-puteriku !

Apakah yang terjadi ?

Darah teman-temanku

Telah tumpah di Sukakarsa

Di Dayeuh Kolot

Di Kiara Condong

Di setiap jejak medan laga. Kini

Kami tersentak,

Terbangun bersama.

Putera-puteriku, apakah yang terjadi?

Apakah kamu bisa menjawab pertanyaan kami ?

Wahai teman-teman seperjuanganku yang dulu,

Apakah kita masih sama-sama setia

Membela keadilan hidup bersama

Manusia dari setiap angkatan bangsa

Akan mengalami saat tiba-tiba terjaga

Tersentak dalam kesendirian malam yang sunyi

Dan menghadapi pertanyaan jaman :

Apakah yang terjadi ?

Apakah yang telah kamu lakukan ?

Apakah yang sedang kamu lakukan ?

Dan, ya, hidup kita yang fana akan mempunyai makna

Dari jawaban yang kita berikan.

Sajak-sajak : Rendra, Sutardji Calzoum Bachri

pada Hari Kebangkitan Nasional 1990

SAJAK S L A

Oleh :

W.S. Rendra

Murid-murid mengobel klentit ibu gurunya

Bagaimana itu mungkin ?

Itu mungkin.

Karena tidak ada patokan untuk apa saja.

Semua boleh. Semua tidak boleh.

Tergantung pada cuaca.

Tergantung pada amarah dan girangnya sang raja.

Tergantung pada kuku-kuku garuda dalam mengatur kata-kata.

Ibu guru perlu sepeda motor dari Jepang.

Ibu guru ingin hiburan dan cahaya.

Ibu guru ingin atap rumahnya tidak bocor.

Dan juga ingin jaminan pil penenang,

tonikum-tonikum dan obat perangsang yang dianjurkan oleh dokter.

Maka berkatalah ia

Kepada orang tua murid-muridnya :

“Kita bisa mengubah keadaan.

Anak-anak akan lulus ujian kelasnya,

terpandang di antara tetangga,

boleh dibanggakan pada kakak mereka.

Soalnya adalah kerjasama antara kita.

Jangan sampai kerjaku terganggu,

karna atap bocor.”

Dan papa-papa semua senang.

Di pegang-pegang tangan ibu guru,

dimasukan uang ke dalam genggaman,

serta sambil lalu,

di dalam suasana persahabatan,

teteknya disinggung dengan siku.

Demikianlah murid-murid mengintip semua ini.

Inilah ajaran tentang perundingan,

perdamaian, dan santainya kehidupan.

Ibu guru berkata :

“Kemajuan akan berjalan dengan lancar.

Kita harus menguasai mesin industri.

Kita harus maju seperti Jerman,

Jepang, Amerika.

Sekarang, keluarkanlah daftar logaritma.”

Murid-murid tertawa,

dan mengeluarkan rokok mereka.

“Karena mengingat kesopanan,

jangan kalian merokok.

Kelas adalah ruangbelajar.

Dan sekarang : daftar logaritma !”

Murid-murid tertawa dan berkata :

“Kami tidak suka daftar logaritma.

Tidak ada gunanya !”

“kalian tidak ingin maju ?”

“Kemajuan bukan soal logaritma.

Kemajuan adalah soal perundingan.”

“Jadi apa yang kaian inginkan ?”

“Kami tidak ingin apa-apa.

Kami sudah punya semuanya.”

“Kalian mengacau !”

“Kami tidak mengacau.

Kami tidak berpolitik.

Kami merokok dengan santai.

Sperti ayah-ayah kami di kantor mereka :

santai, tanpa politik

berunding dengan Cina

berunding dengan Jepang

menciptakan suasana girang.

Dan di saat ada pemilu,

kami membantu keamanan,

meredakan partai-partai.”

Murid-murid tertawa.

Mereka menguasai perundingan.

Ahli lobbying.

Faham akan gelagat.

Pandai mengikuti keadaan.

Mereka duduk di kantin,

minum sitrun,

menghindari ulangan sejarah.

Mereka tertidur di bangku kelas,

yang telah mereka bayar sama mahal

seperti sewa kamar di hotel.

Sekolah adalah pergaulan,

yang ditentukan oleh mode,

dijiwai oleh impian kemajuan menurut iklan.

Dan bila ibu guru berkata :

“Keluarkan daftar logaritma !”

Murid-murid tertawa.

Dan di dalam suasana persahabatan,

mereka mengobel ibu guru mereka.

Yogya, 22 Juni 1977.

Potret Pembangunan dalam Puisi

SAJAK TANGAN

Oleh :

W.S. Rendra

Inilah tangan seorang mahasiswa,

tingkat sarjana muda.

Tanganku. Astaga.

Tanganku menggapai,

yang terpegang anderox hostes berumbai,

Aku bego. Tanganku lunglai.

Tanganku mengetuk pintu,

tak ada jawaban.

Aku tendang pintu,

pintu terbuka.

Di balik pintu ada lagi pintu.

Dan selalu :

ada tulisan jam bicara

yang singkat batasnya.

Aku masukkan tangan-tanganku ke celana

dan aku keluar mengembara.

Aku ditelan Indonesia Raya.

Tangan di dalam kehidupan

muncul di depanku.

Tanganku aku sodorkan.

Nampak asing di antara tangan beribu.

Aku bimbang akan masa depanku.

Tangan petani yang berlumpur,

tangan nelayan yang bergaram,

aku jabat dalam tanganku.

Tangan mereka penuh pergulatan

Tangan-tangan yang menghasilkan.

Tanganku yang gamang

tidak memecahkan persoalan.

Tangan cukong,

tangan pejabat,

gemuk, luwes, dan sangat kuat.

Tanganku yang gamang dicurigai,

disikat.

Tanganku mengepal.

Ketika terbuka menjadi cakar.

Aku meraih ke arah delapan penjuru.

Di setiap meja kantor

bercokol tentara atau orang tua.

Di desa-desa

para petani hanya buruh tuan tanah.

Di pantai-pantai

para nelayan tidak punya kapal.

Perdagangan berjalan tanpa swadaya.

Politik hanya mengabdi pada cuaca…..

Tanganku mengepal.

Tetapi tembok batu didepanku.

Hidupku tanpa masa depan.

Kini aku kantongi tanganku.

Aku berjalan mengembara.

Aku akan menulis kata-kata kotor

di meja rektor

TIM, 3 Juli 1977

Potret Pembangunan dalam Puisi

SAJAK WIDURI UNTUK JOKI TOBING

Oleh :

W.S. Rendra

Debu mengepul mengolah wajah tukang-tukang parkir.

Kemarahan mengendon di dalam kalbu purba.

Orang-orang miskin menentang kemelaratan.

Wahai, Joki Tobing, kuseru kamu,

kerna wajahmu muncul dalam mimpiku.

Wahai, Joki Tobing, kuseru kamu

karena terlibat aku di dalam napasmu.

Dari bis kota ke bis kota

kamu memburuku.

Kita duduk bersandingan,

menyaksikan hidup yang kumal.

Dan perlahan tersirap darah kita,

melihat sekuntum bunga telah mekar,

dari puingan masa yang putus asa.

Nusantara Film, Jakarta, 9 Mei 1977

Potret Pembangunan dalam Puisi

TAHANAN

Oleh :

W.S. Rendra

Atas ranjang batu

tubuhnya panjang

bukit barisan tanpa bulan

kabur dan liat

dengan mata sepikan terali

Di lorong-lorong

jantung matanya

para pemuda bertangan merah

serdadu-serdadu Belanda rebah

Di mulutnya menetes

lewat mimpi

darah di cawan tembikar

dijelmakan satu senyum

barat di perut gunung

(Para pemuda bertangan merah

adik lelaki neruskan dendam)

Dini hari bernyanyi

di luar dirinya

Anak lonceng

menggeliat enam kali

di perut ibunya

Mendadak

dipejamkan matanya

Sipir memutar kunci selnya

dan berkata

-He, pemberontak

hari yang berikut bukan milikmu !

Diseret di muka peleton algojo

ia meludah

tapi tak dikatakannya

-Semalam kucicip sudah

betapa lezatnya madu darah.

Dan tak pernah didengarnya

enam pucuk senapan

meletus bersama

Kisah

Th VI, No 11

Nopember 1956