Sabtu, Juli 25, 2009

Sajak-sajak Gus TF Sakai

ADAKAH
Oleh :
Gus tf Sakai

''Adakah engkau memiliki ibu?''
Sungguh ia sangat malu dengan pertanyaan itu.
Kata orang, ia muncul dari malam, dalam kelam, dari mitos penuh hantu.


''Adakah engkau memiliki anak?''
Sungguh ia sangat takut dengan pertanyaan itu.
Kata orang, ia punya anak tapi si anak tak pernah memiliki bapak.
Ia memiliki Putri, memiliki Putra, tapi tak pernah mendapat apa pun dari mereka.

Setiap malam, sebelum tidur, tak henti ia berdusta.

''Bu, dari mana kita? Mengapa kita ada?''

''Entah. Dari tanah. Tidurlah!''
Si Putra seperti tidur.
Si Putri Bagai mendengkur.
Si Putra mimpi jadi hujan.

Si Putri mimpi jadi genangan.
Tidakkah kita dari air?

Lihatlah. Cacing dan katak selalu muncul pada tempat yang baru digenangi hujan.


''Dari air!'' Si Putri tersentak dan berteriak.
Tapi si Putra, setiap pagi, tetap merasa bahwa mereka muncul dari televisi.


''Adakah engkau memiliki ibu?''

''Adakah engkau memiliki anak?''


: Ah, alangkah kacau pertanyaan itu.


Payakumbuh, 1997
SIRKUIT, Sajak-sajak Gus tf Sakai
Republika Online edisi : 27 Dec 1998








DAGING
Oleh :
Gus tf Sakai

Angkasa luas inilah yang menggelembungkan balon di kepalaku.
Bongkahan planet melayang, seperti gumpalan dada yang mengerang.
''Siapa Anda? Punyakah Anda secebis kisah tentang dunia? Tolong.''

Tidak.
Tak ada kisah tentang dunia.
Kecuali dongeng, semacam konon, yang diterbangkan oleh sepotong daging di jagat raya.
''Ini bulan, kuserpih dari seratku yang malam.
Ini matahari, kubeset dari kulitku yang siang.
Pada keduanya ada gerhana, tempat kau berpikir tentang tiada.''


Tentang tiada?


''Aku manusia! Diriku lahir karena ada. Siapa Anda?
Takkan aku bertanya kalau di mataku Anda tiada.
Takkan aku berkata kalau gugus galaksi gelap saja.
Takkan aku berpikir kalau semuanya sia-sia.
Siapa Anda?''


''Sudah mereka katakan aku cuma dongeng.

Sudah mereka katakan aku cuma konon.

Tapi aku daging. Daging, yang setiap hari engkau telan engkau muntahkan...''


Payakumbuh, 1997
SIRKUIT, Sajak-sajak Gus tf Sakai
Republika Online edisi : 27 Dec 1998







HAL TAK PENTING
Oleh :
Gus tf Sakai

Kami tidur setiap malam seperti kami bangun setiap pagi.
Apa yang bisa kami makan hari ini?
Kentang, tomat, daging, kiriman roti dari Bakery.
Semur, opor, sup, sangat cocok dengan nasi.
Ada juga keripik ikan pari, cemilan kami setiap kali duduk di depan televisi.


Kami duduk di depan televisi seperti kami duduk di depan kerabat.
Lihat.
Leher koyak, kepala somplak, di kaki meja tergeletak sepotong kapak.
Adakah ia kapak yang kemarin kami pinjam dari tetangga?

Darah mengalir, menetes ke cangkir, memadat mengental
seperti agar-agar.
Lihat. Ia mengiris, dan mencowelnya, seperti kami mengiris dan mencowel mentega.
Ia menjilat, dan mengulumnya, seperti kami menjilat dan mengulum gula-gula.
Adakah ia memang rasakan betapa legitnya?
Adakah ia memang kerabat --bagian dari kami juga?

Kami tertawa-tawa.
Tergeli-geli seperti bukan dengan televisi.


Tapi selalu, setiap senja, seorang lelaki turun dari taman kota.
Dari pintu pagar, ia berteriak, ''Tidakkah mengherankan bahwa kita hidup?''


Sungguh tak penting.
Ia manusia.
Si gila.

Berita sore yang kami nanti: Seberapa banyak saham kami naik hari ini?


Payakumbuh, 1997

SIRKUIT, Sajak-sajak Gus tf Sakai
Republika Online edisi : 27 Dec 1998






KARENA BUKAN ENSIKLOPEDI
Oleh :
Gus tf Sakai

Suatu ketika --entah bila-- aku bukan bagian dari alam raya.
Tentang apakah manusia tentang apakah dunia, bagiku semua kosong saja.
Tak ada pikiran tentang hidup karena aku tak bakal berurusan dengan mati.
Tak ada apa pun kata dalam bunyi karena aku bukan bagian dari ensiklopedi.


Suatu ketika --entah bila-- aku bukan bagian dari alam raya.
Anda melihat bintang, aku belum ada dalam kerlipnya.
Anda melihat laut, aku belum ada dalam ombaknya.
Adakah Anda, seperti mereka, mendapatkan belum dalam tak ada?
Setiap waktu, setiap ketika, mereka mendengar diamku dalam suara.
Melengking, merintih, jauh menuju tiada.



Payakumbuh, 1997
SIRKUIT, Sajak-sajak Gus tf Sakai
Republika Online edisi : 27 Dec 1998







MITOLOGI
Oleh :
Gus tf Sakai

Saat kanak-kanak, ia gemar melihat dirinya dalam cermin di kamar Ibu.
''Itulah kamu,'' kata si Ibu seraya menerbangkan seekor burung ke dalamnya.
Burung itu cantik, pupilnya terang, paruhnya merah muda.
''Sebagai teman, tentu, bila Ibu tak ada.''


Saat ia mulai remaja, cermin itu dipindahkan Ibu ke kamarnya.
Setiap ia berkaca, burung itu berkicau berputar-putar di atas kepala.
Apakah yang dikatakannya?


Atau adakah yang diinginkannya?
Bila dirinya tak ada, kadang ia merasa burung itu kesepian;
dan tentu menderita.


Saat dewasa, sebab entah sibuk bekerja, ia mulai jarang berkaca.
Burung itu, entah memang karena ia lupa, jarang pula tampak olehnya.
Bertahun-tahun, berpuluh-puluh tahun, mereka bagai bukan bagian dari bersama.
Tapi suatu ketika, dalam usia separo baya, ia melihatnya.
Burung jelek, kusam, tak ubahnya kelebat suram dalam hidupnya.
Betulkah itu dia?


Kini ia telah tua.
Di depan cermin, pedih, ia sering merindukannya.
Burung itu -- burung itu, memang, sebenarnya tak pernah ada.


Payakumbuh, 1997
SIRKUIT, Sajak-sajak Gus tf Sakai
Republika Online edisi : 27 Dec 1998

Senin, Juli 20, 2009

Subagio Sastrowardoyo

Dalam sastra Indonesia Subagio Sastrowardoyo lebih dikenal sebagai penyair meskipun tulisannya tidak terbatas pada puisi. Nama Subagio Sastrowardoyo dicatat pertama kali dalam peta perpuisian Indonesia ketika kumpulan puisinya Simphoni terbit tahun 1957 di Yogyakarta. Tentang kepenyairannya itu, Goenawan Mohamad mengatakan bahwa sajak-sajak Subagio adalah sajak rendah. Puisinya seolah-olah dicatat dari gumam. Ia ditulis oleh seorang yang tidak memberi aksentuasi pada gerak, pada suara keras, atau kesibukan di luar dirinya. Ia justru suatu perlawanan terhadap gerak, suara keras, serta kesibukan di luar sebab Subagio Sastrowardoyo memilih diam dan memenangkan diam. Itulah paling tidak sebagian dari karakter kepenyairan Subagio Sastrowardoyo.

Subagio Sastrowardoyo dilahirkan di Madiun (Jawa Timur) tanggal 1 Februari 1924. Ayahnya seorang pensiunan Wedana Distrik Uteran, Madiun, yang bernama Sutejo dan ibunya bernama Soejati. Subagio menikah dan dikaruniai tiga orang anak. Ia meninggal dunia di Jakarta pada tanggal 18 Juli 1996 dalam usia 72 tahun.

Pendidikan Subagio dilakukan di berbagai tempat, yaitu HIS di Bandung dan Jakarta. Pendidikan HBS, SMP, dan SMA di Yogyakarta. Pada tahun 1958 berhasil menamatkan studinya di Fakultas Sastra, Universitas Gadjah Mada dan 1963 meraih gelar master of art (M.A.) dari Department of Comparative Literature, Universitas Yale, Amerika Serikat.

Subagio pernah menjabat Ketua Jurusan Bahasa Indonesia B-1 di Yogyakarta (1954—1958). Ia juga pernah mengajar di almamaternya, Fakultas Sastra, UGM pada tahun 1958—1961. Pada 1966—1971 ia mengajar di Sekolah Staf Komando Angkatan Darat (SESKOAD) di Bandung . Selanjutnya, tahun 1971—1974 mengajar di Salisbury Teacherrs College, Australia Selatan, dan di Universitas Flinders, Australia Selatan tahun 1974—1981. Selain itu, ia juga pernah bekerja sebagai anggota Dewan Kesenian Jakarta (1982—1984) dan sebagai anggota Kelompok Kerja Sosial Budaya Lemhanas dan Direktur Muda Penerbitan PN Balai Pustaka (1981).

Kreatifitas Subagio Sastrowardoyo tidak terbatas sebagai penyair. Oleh karena itu, ia tidak saja dikenal sebagai penyair, tetapi sekaligus sebagai esais, kritikus sastra, dan cerpenis. Ajip Rosidi yang menggolongkannya ke dalam pengarang periode 1953—1961 menyatakan bahwa selain sebagai penyair, Subagio juga penting dengan prosa dan esai-esainya. Karya yang telah ditulisnya pun beragam dan banyak, seperti berikut ini.

A. Kumpulan puisi

1. Simphoni (1957)

2. Daerah Perbatasan (1970)

3. Keroncong Motinggo (1975)

4. Buku Harian (1979)

5. Hari dan Hara (1982)

6. Simponi Dua (1989)

7. Dan Kematian Makin Dekat (1995)

B. Kumpulan esai

1. Bakat Alam dan Intelektualitas (1972)

2. Manusia Terasing di Balik Simbolisme Sitor (1976)

3. Sosok Pribadi dalam Sajak (1980)

4. Sastra Hindia Belanda dan Kita (1983)

5. Pengarang Modern sebagai Manusia Perbatasan (1989)

6. Bunga Rampai Sastra Asean: Sastra Lisan Indonesia (1983)

7. Modern Asean Plays Indonesia (di dalamnya dimuat drama “The Bottomless Well”, “Wow”, “Time Bomb”, dan “Dhemit”) (1992)

8. Anthology of Asean Literatures: Volume III a: The Islamic Period in Indonesian Literature (1994)

C. Kumpulan cerpen

Tulisan Subagio yang berupa cerpen terkumpul dalam sebuah kumpulan cerpen, yaitu Kedjantanan di Sumbing (1965).

Selain itu, ia juga menerima hadiah dan penghargaan atas kreatifitasnya itu.

Hadiah dan Penghargaan yang diterima:
1. Hadiah Sastra Dewan Kesenian Jakarta (1983) untuk karyanya Sastra Hindia Belanda dan Kita
2. Hadiah Pertama dari majalah Kisah (1995) untuk cerpennya “Kedjantanan di Sumbing”
3. Hadiah dari majalah Horison untuk puisinya “Dan Kematian pun Semakin Akrab” yang dimuat dalam majalah itu tahun 1966/1967
4. Anugerah Seni dari Pemerintah Republik Indonesia (1970) untuk kumpulan puisinya Daerah Perbatasan
5. Penghargaan South East Asia Write Award (SEA Write Award) dari Kerajaan Thailand pada tahun 1991 untuk kumpulan puisinya Simponi Dua

taken from :
http://pusatbahasa.diknas.go.id/laman/index.php?info=tokoh&infocmd=show&infoid=23&row=1

Rabu, Juli 15, 2009

Sajak-sajak Subagio Sastrowardoyo, 3

LAHIR SAJAK

Oleh :
Subagyo Sastrowardoyo





Malam yang hamil oleh benihku
Mencampakkan anak sembilan bulan
Ke lantai bumi. Anak haram tanpa ibu
membawa dosa pertama
di keningnya. Tangisnya akan memberitakan
kelaparan dan rinduku, sakit
dan matiku. Ciumlah tanah
yang menrbitkan derita. Dia
adalah nyawamu.


MANUSIA PERTAMA DI ANGKASA LUAR

Oleh :
Subagyo Sastrowardoyo







Beritakan kepada dunia
Bahwa aku telah sampai pada tepi
Darimana aku tak mungkin lagi kembali.
Aku kini melayang di tengah ruang
Di mana tak berpisah malam dengan siang.
Hanya lautan yang hampa di lingkung cemerlang bintang.
Bumi telah tenggelam dan langit makin jauh mengawang.
Jagat begitu tenang. Tidak lapar
Hanya rindu kepada istri, kepada anak, kepada ibuku di rumah.
Makin jauh, makin kasih hati kepada mereka yang berpisah.
Apa yang kukenang? Masa kanak waktu tidur dekat ibu
Dengan membawa dongeng dalam mimpi tentang bota
Dan raksasa, peri dan bidadari. Aku teringat
Kepada buku cerita yang terlipat dalam lemari.
Aku teringat kepada bunga mawar dari Elisa
Yang terselip dalam surat yang membisikkan cintanya kepadaku
Yang mesra. Dia kini tentu berada di jendela
Dengan Alex dan Leo, --itu anak-anak berandal yang kucinta--
Memandangi langit dengan sia. Hendak menangkap
Sekelumit dari pesawatku, seleret dari
Perlawatanku di langit tak terberita.
Masihkah langit mendung di bumi seperti waktu
Kutinggalkan kemarin dulu?
Apa yang kucita-cita? Tak ada lagi cita-cita
Sebab semua telah terbang bersama kereta
ruang ke jagat tak berhuni. Berilah aku satu kata puisi
daripada seribu rumus ilmu yang penuh janji
yang menyebabkan aku terlontar kini jauh dari bumi
yang kukasih. Angkasa ini ini bisu. Angkasa ini sepi
Tetapi aku telah sampai pada tepi
Darimana aku tak mungkin lagi kembali.
Ciumku kepada istriku, kepada anak dan ibuku
Dan salam kepada mereka yang kepadaku mengenang
Jagat begitu dalam, jagat begitu diam.
Aku makin jauh, makin jauh
Dari bumi yang kukasih. Hati makin sepi
Makin gemuruh.

Bunda,
Jangan membiarkan aku sendiri.



Monginsidi

Oleh :
Subagio Sastrowardoyo





Aku adalah dia yang dibesarkan dengan dongeng di dada bunda
Aku adalah dia yang takut gerak bayang di malam gelam
Aku adalah dia yang meniru bapak mengisap pipa dekat meja
Aku adalah dia yang mengangankan jadi seniman melukis keindahan
AKu adalah dia yang menangis terharu mendengar lagu merdeka
Aku adalah dia yang turut dengan barisan pemberontak ke garis pertempuran
Aku adalah dia yang memimpin pasukan gerilya membebaskan kota
AKu adalah dia yang disanjung kawan sebagai pahlawan bangsa
Aku adalah dia yang terperangkap siasat musuh karena pengkianatan
Aku adalah dia yang digiring sebagai hewan di muka regu eksekusi
Aku adalah dia yang berteriak 'merdeka' sbelum ditembak mati
AKu adalah dia, ingat, aku adalah dia




Budaja Djaja
No. 23, April 1970

Sajak-sajak Perjuangan dan Nyanyian Tanah Air



NADA AWAL

Oleh :
Subagyo Sastrowardoyo







Tugasku hanya menterjemah
gerak daun yang tergantung
di ranting yang letih. Rahasia
membutuhkan kata yang terucap
di puncak sepi. Ketika daun
jatuh takada titik darah. tapi
di ruang kelam ada yang merasa
kehilangan dan mengaduh pedih


PIDATO DI KUBUR ORANG


Oleh :
Subagio Sastrowardoyo



Ia terlalu baik buat dunia ini.
Ketika gerombolan mendobrak pintu
Dan menjarah miliknya
Ia tinggal diam dan tidak mengadakan perlawanan
Ketika gerombolan memukul muka
Dan mendopak dadanya
Ia tinggal diam dan tidak menanti pembalasan.
Ketika gerombolan menculik istri
dan memperkosa anak gadisnya
ia tinggal diam dan tidak memendam kebencian.
Ketika Gerombolan membakar rumahnya
Dan menembak kepalanya
Ia tinggal diam dan tidak mengucap penyesalan.
Ia terlalu baik buat dunia ini




Daerah Perbatasan
Jakarta, Budaja Djaja, 1970

Sajak-sajak Perjuangan dan Nyanyian Tanah Air





PROKLAMASI

Oleh :
Subagyo Sastrowardoyo




Ketapang yang bercumbuan dengan musim
menjatuhkan daunnya di halaman candi
Aku ingin jadi pohon ketapang yang tumbuh
di muka gerbang berukiran huruf lam
yang dijaga orang kidal



SAJAK

Oleh :
Subagyo Sastrowardoyo






Apakah arti sajak ini
Kalau anak semalam batuk-batuk,
bau vicks dan kayuputih
melekat di kelambu.
Kalau istri terus mengeluh
tentang kurang tidur, tentang
gajiku yang tekor buat
bayar dokter, bujang dan makan sehari.
Kalau terbayang pantalon
sudah sebulan sobek tak terjahit.
Apakah arti sajak ini
Kalau saban malam aku lama terbangun:
hidup ini makin mengikat dan mengurung.
Apakah arti sajak ini:
Piaraan anggerek tricolor di rumah atau
pelarian kecut ke hari akhir?

Ah, sajak ini,
mengingatkan aku kepada langit dan mega.
Sajak ini mengingatkan kepada kisah dan keabadian.
Sajak ini melupakan aku kepada pisau dan tali.
Sajak ini melupakan kepada bunuh diri.



SALJU

Oleh :
Subagyo Sastrowardoyo







Asal mula adalah salju
sebelum tercipta Waktu
sentuhan perawan seringan kenangan
adalah semua yang disebut bumi
dan udara terus bicara
sebab bicara tak pernah berhenti
dan salju jatuh seperti mimpi
Angin kutub memanjang selalu
dan meraba tanpa jari
dan di ambang anjing belang menggonggong
sia sia membuka pagi
hanya geliat bayi dufah terasa
pada dinding tua dekat musim binasa
dan salju melebari hari
Bangunnya Waktu bersama penyesalan
ketika manusia dengan mukanya yang jelek
meninggalkan telapak kakinya di salju
sedang gelegar bintang berpadu ringkik kuda
terlempar damba ke angkasa
Pada saat begini terjadi penciptaan
ketika orang bungkuk dari gua di daerah selatan
menghembuskan napas dan bahasa
bagi segala yang tak terucapkan
sedang selera yang meleleh dari pahanya
menerbitkan keturunan yang kerdil
dengan muka tipis dan alis terlipat
suaranya serak meniru gagak menyerbu mangsa
Dengan tangan kasar digalinya kubur
di salju buat tuhan-tuhannya yang mati
dan di lopak-lopak air membeku
mereka cari muka sendiri terbayang sehari
di antara subuh dan kilat senja
sebelum kebinasaan menjadi mutlak
dan salju turun lagi menghapus semua rupa
dalam kenanaran mimpi

Jumat, Juli 10, 2009

Sajak-sajak Subagio Sastrowardoyo, 2

GENESIS

Oleh :
Subagyo Sastrowardoyo






pembuat boneka
yang jarang bicara
dan yang tinggal agak jauh dari kampung
telah membuat patung
dari lilin
serupa dia sendiri
dengan tubuh, tangan dan kaki dua
ketika dihembusnya napas di ubun
telah menyala api
tidak di kepala
tapi di dada
--aku cinta--kata pembuat boneka
baru itu ia mengeluarkan kata
dan api itu
telah membikin ciptaan itu abadi
ketika habis terbakar lilin,
lihat, api itu terus menyala



HAIKU

Oleh :
Subagyo Sastrowardoyo







malam rebah
di punggung
sepiku
gigir gunung
susut di kaca
hari makin surut
dan bibir habis kata:
dinda, di mana, siapa
tangan terkepal
terhenyak di meja



JENDERAL LU SHUN

Oleh :
Subagyo Sastrowardoyo





Jenderal Lu Shun kewalahan. Ia tidak dapat menyelesaikan puisinya. Ia baru menulis dua dari empat baris pantun Cina, tetapi fantasinya seperti tersekat dalam kata-kata kosong tak berarti.
Maka ia keluar dari tendanya dan memerintahkan perwiranya mengumpulkan bala tentaranya."Kita serang dusun itu di lembah dan bunuh penduduknya."
Perwira itu masih mencoba mengingatkannya:"Tetapi Jenderal, ini malam hari dan orang tak boleh berperang waktu musuh sedang tidur. Hanya perampok dan pengecut yang menyerang musuh di malam hari."
"Aku butuhkan ilham," seru Jenderal Lu Shun, "dan aku tak peduli apa siang atau malam. Aku butuhkan kebengisan untuk menulis puisi."
Kemudian ia naik kudanya yang beringas dan mendahului pasukan-pasukannya menyerbu ke lembah. Diayunkan pedang dan dicincang penduduk dusun yang tidak berjaga, sehingga puluhan laki-laki, perempuan dan anak-anak terbunuh oleh tangannya. Ia sungguh menikmati perbuatan itu, dan sehabis melihat dengan gairah darah mengalir dan tubuh bergelimpangan di sekelilingnya, ia kembali ke tendanya. "Jangan aku diusik sementara ini," pesannya kepada seluruh bala tentaranya. Di
dalam keheningan malam ia kemudian menulis puisinya.
Ia menulis tentang langit dan mega, tentang pohon bambu yang merenung di pinggir telaga. Burung bangau putih mengepakkan sayapnya sesekali di tengah alam yang sunyi. Suasana hening itu melambangkan cintanya kepada seorang putri dan rindunya kepada dewa yang bersemayam di atas batu karang yang tinggi.
Itu semua ditulis dalam pantun Cina yang empat baris panjangnya.



KATA

Oleh :
Subagyo Sastrowardoyo





Asal mula adalah kata
Jagat tersusun dari kata
Di balik itu hanya
ruang kosong dan angin pagi

Kita takut kepada momok karena kata
Kita cinta kepada bumi karena kata
Kita percaya kepada Tuhan karena kata
Nasib terperangkap dalam kata

Karena itu aku
bersembunyi di belakang kata
Dan menenggelamkan
diri tanpa sisa



KEHARUAN


Oleh :
Subagio Sastrowardoyo















Aku tak terharu lagi
sejak bapak tak menciumku di ubun.
Aku tak terharu lagi
sejak perselisihan tak selesai dengan ampun.

Keharuan menawan
ktika Bung Karno bersama rakyat
teriak "Merdeka" 17 kali.

Keharuan menawan
ketika pasukan gerilya masuk Jogja
sudah kita rebut kembali.

Aku rindu keharuan
waktu hujan membasahi bumi
sehabis kering sebulan.

Aku rindu keharuan
waktu bendera dwiwarna
berkibar di taman pahlawan

Aku ingin terharu
melihat garis lengkung bertemu di ujung.
Aku ingin terharu
melihat dua tangan damai berhubung


Kita manusia perasa yang lekas terharu

Pustaka dan Budaja,
Th III, No. 9,
1962

Sajak-sajak Perjuangan dan Nyanyian Tanah Air




KUBU


Oleh :
Subagio Sastrowardoyo




Bagaimana akan bergembira kalau pada detik ini
ada bayi mati kelaparan atau seorang istri
bunuh diri karena sepi atau setengah rakyat terserang
wabah sakit - barangkali di dekat sini
atau jauh di kampung orang,
Tak ada alasan untuk bergembira selama masih
ada orang menangis di hati atau berteriak serak
minta merdeka sebagai manusia yang terhormat dan berpribadi -
barangkali di dekat sini atau jauh di kampung orang.
Inilah saatnya untuk berdiam diri dan berdoa
untuk dunia yang lebih bahagia atau menyiapkan senjata
dekat dinding kubu dan menanti.


Daerah Perbatasan,
Jakarta : Budaya Jaya, 1970
Sajak-sajak Perjuangan dan Nyanyian Tanah Air

Minggu, Juli 05, 2009

Sajak-sajak Subagio Sastrowardoyo, 1

DAERAH PERBATASAN
Oleh :
Subagio Sastrowardoyo

Kita selalu
berada di daerah perbatasan
antara menang dan mati. Tak boleh lagi
ada kebimbangan memilih keputusan :
Adakah kita mau merdeka atau dijajah lagi.
Kemerdekaan berarti keselamatan dan bahagia,
Juga kehormatan bagi manusia
dan keturunan. Atau kita menyerah saja
kepada kehinaan dan hidup tak berarti.
Lebih baik mati. Mati lebih mulia
dan kekal daripada seribu tahun
terbelenggu dalam penyesalan.
Karena itu kita tetap di pos penjagaan
atau menyusup di lorong-lorong kota pedalaman
dengan pestol di pinggang dan bedil di tangan.
(Sepagi tadi sudah jatuh korban). Hidup
menuntut pertaruhan, dan kematian hanya
menjamin kita menang. Tetapkan hati.
tak boleh lagi ada kebimbangan
di tengah kelaliman terus mengancam.
Taruhannya hanya mati.

II

Kita telah banyak kehilangan :
waktu dan harta, kenangan dan teman setia
selama perjuangan ini. Apa yang kita capai :
Kemerdekaan buat bangsa, harga diri dan
hilangnya ketakutan pada kesulitan.
Kita telah tahu apa artinya menderita
di tengah kelaparan dan putus asa. Kematian
hanya tantangan terakhir yang setia kita hadapi
demi kemenangan ini. Percayalah :
Buat kebahagiaan bersama
tak ada korban yang cukup berharga. Tapi
dalam kebebasan ini masih tinggal keresahan
yang tak kunjung berhenti : apa yang menanti
di hari esok : kedamaian atau pembunuhan
lagi. Begitu banyak kita mengalami kegagalan
dalam membangun hari depan : pendidikan
tak selesai, cita-cita pribadi hancur
dalam kekacauan bertempur, cinta yang putus
hanya oleh hilangnya pertalian. Tak ada yang terus
bisa berlangsung. Tak ada kepastian yang bertahan
Kita telah kehilangan kepercayan kepada keabadian
Semua hanya sementara: cinta kita, kesetiaan kita.
Kita hidup di tengah kesementaraan segala. Di luar
rumah terus menunggu seekor srigala.

III

Waktu peluru pertama meledak
Tak ada lagi hari minggu atau malam istirahat
Tangan penuh kerja dan mata terjaga
mengawasi pantai dan langit yang hamil oleh khianat
Mulut dan bumi berdiam diri. satunya suara
hanya teriak nyawa yang lepas dari tubuh luka,
atau jerit hati
mendendam mau membalas
kematian.
Harap berjaga. Kita memasuki daerah perang.
Kalau peluru pertama meledak
Kita harus paling dulu menyerang
dan mati atau menang
Mintalah pamit kepada anak dan keluarga
dan bilang : Tak ada lagi waktu buat cinta
dan bersenang. Kita simpan kesenian dan
budaya di hari tua. Kita mengangkat senjata
selagi muda
dan mati atau menang.

Budaja Djaja
23 April 1970

Sajak-sajak Perjuangan dan Nyanyian Tanah Air





DAN KEMATIAN MAKIN AKRAB
(Sebuah Nyanyian Kabung)
Oleh :
Subagio Sastrowardoyo

...

Di muka pintu masih
bergantung tanda kabung
Seakan ia tak akan kembali
memang ia tak kembali
tapi ada yang mereka tak
mengerti - mengapa ia tinggal diam
waktu berpisah. bahkan tak
ada kesan kesedihan
pada muka
dan mata itu, yang terus
memandang, seakan mau bilang
dengan bangga : - Matiku muda -
Ada baiknya
mati muda dan mengikut
mereka yang gugur sebelum waktunya
Di ujung musim yang mati dulu
bukan yang dirongrong penyakit
tua, melainkan dia
yang berdiri menentang angin
di atas bukit atau dekat pantai
dimana badai mengancam nyawa.
Sebelum umur pahlawan ditanam
di gigir gunung atau di taman-taman
di kota
tempat anak-anak main
layang-layang. Di jam larut
daun ketapang makin lebat berguguran
di luar rencana
Dan kematian jadi akrab, seakan kawan berkelakar
yang mengajak
tertawa - itu bahasa
semesta yang dimengerti -
Berhadapan muka
seperti lewat kaca
bening
masih dikenal raut muka
bahkan kelihatan bekas luka
dekat kening
Ia menggapai tangan
di jari melekat cincin
- Lihat, tak ada batas
antara kita. Aku masih
terikat kepada dunia
karena janji karena kenangan
Kematian hanya selaput
gagasan yang gampang diseberangi
Tak ada yang hilang dalam
perpisahan, semua
pulih
juga angan-angan dan selera
keisengan -
Di ujung musim
dinding batas bertumbangan
dan kematian makin akrab
Sekali waktu bocah
cilik tak lagi
sedih karena layang-layangnya
robek atau hilang
-Lihat, bu, aku tak menangis
sebab aku bisa terbang sendiri
dengan sayap
ke langit -

Daerah Perbatasan
Jakarta : BUdaya Jaya, 1970

Sajak-sajak Perjuangan dan Nyanyian Tanah Air

Rabu, Juli 01, 2009

Sajak-sajak Dorothea

Banyak Simpang, Kota Tua: Melankolia
Oleh :
Dorothea Rosa Herliany




1.

selalu, setiap perjalanan keluhkesah itu
kau tak ingin sampai, di atas andong kau
bertanya siapa di antara kita kusirnya
kau tak ingin sampai, di setiap tikungan
membaca arah angin dan namanama gang.


orangorang, selalu seperti memulai hari
berangkat dan pulang, bergegas, dan entah siapa
memburu dan siapa diburu.
kita pun melangkah di antara perjalanan keluhkesah.
dan selalu gagal membaca arah.



2.

ada yang selalu mengantarmu ke segenap arah,
desa demi desa, tapi akhirnya
kau hanya sendiri di atas catatan duka
di deretan hari, mengapa selalu kau buka buku harian
:sebab katamu, kenangan itu racun.
hari ini aku melihat wajahmu
seperti patungpatung gerabah di Kasongan.
lalu hatiku tertawa, mengejek kenyataan hidup.
sebab masa lalu itu racun, dan kita
bersenangsenang atas kesedihan hari ini.
maka, jika rindu, pulang saja ke hotel, dan gambarlah
rumah dan hirukpikuk kotamu yang angkuh.




3.

kutunggu engkau di stasiun, beberapa jam usiaku hilang,
kutunggu sepanjang rel dan bangkubangku yang bisu.
kuingin Yogya, untuk seluruh waktu senggangmu,
sebab hidup mesti dihitung dan setiap tetes keringat
dan untuk itulah aku menanggalkan detik demi detik usiaku?
kutunggu engkau di stasiun, hingga detik menjadi tahun.


4.

kukira Joan Sutherland dan Mozart dalam Die Zauberflote.
tapi seorang perempuan kecil meminta sekeping uang logam,
dan menyanyikan kesedihan yang membeku di matahari terik
dan aspal membara,
tak selesai, ya, memang tak pernah selesai.
hanya mulutnya yang bergerakgerak di luar kaca
dan suara mencekam Sutherland.
Yogya semakin tua, dan dimanamana kudengar
ceritacerita kesedihan.
tapi di pasar Ngasem, engkau bisa membeli
seekor burung yang tak henti berkicau,
dan menjadi begitu pendiam saat kaubawa pulang.



5.

sebuah surat kutemukan di Malioboro,
tampaknya seorang gadis telah patah hati,
dan mencari kekasihnya di etalaseetalase
dan di antara tumpukan barangbarang kaki lima,
tak kutemu, di seluruh sudut kota ini pun tak ada
bayangbayang kekasih itu.
kutemukan surat itu, dan kukirimkan kembali
entah ke mana, suatu hari kau menemuiku,
dan membawa segenggam surat hitam: tak beralamat,
tapi kau tak pernah membacanya,
dan aku menulis kembali surat demi surat tak beralamat
dan tak kukirim ke manapun.


6.

rindu kadang menyakitkan
tapi apa yang disembunyikan kota lama ini?
seseorang tak ingin pergi
dan membangun sebuah rumahsiput.
seseorang tak ingin pergi
dan mencatat berderet peristiwa
untuk menjadikannya hanya kenangan.


Yogya, 1999

Kompas, online
Jumat, 4 Februari 2000


N.B.

Oleh :
Dorothea Rosa Herliany








seperti kalau kita berjalan di pusat perbelanjaan,
di pinggirpinggir toko dan kaki lima
segalanya menggoda kita untuk melihat: dengan nyata!
hanya lemari kaca dan etalase, kalau saja kita
bukanlah sekelompok orang renta dan tua dengan mata rabun
atau si buta dengan tongkatnya.
segalanya begitu nyata!
atau kalau saja kita bukan bayi yang berjalan merangkak
atau anakanak usia bermain yang hanya tergoda kegembiraan.


apa yang tak terlihat?
bahkan suara orangorang gelisah sepanjang jalan
dan rengekan pengemis yang lapar.
lagulagu sumbang pengamen, atau bahkan, kalau bisa bersuara,
bisikan sedih sesuatu yang dijajakan itu...


tetapi kita tidak melihat apapun. seperti kalau kita berjalan
di ruangruang tanpa cahaya. bahkan ledakan bom dan
tembakan meriam tak bisa kita dengarkan.

Jakarta, 1999



PUISI DOROTHEA ROSA HERLIANY
Media Indonesia online 19/3//00)


PEREMPUAN BERDOSA

Oleh :
Dorothea Rosa Herliany







perempuan itu memikul dosa sendirian, seringan jeritannya
yang rahasia: berlari di antara sekelebatan rusa yang diburu segerombolan serigala.
kautulis igaunya yang hitam, mengendap di bayang dinding
tak memantulkan cahaya.


perempuan itu melukis dosa yang tak terjemahkan
ia tulis rahasia puisi yang perih dendam dalam gesekan rebab.
lalu ia hentakkan tumit penari indian yang gelap dan mistis.


segerombolan lelaki melata di atas perutnya.
mengukur berapa leleh keringat pendakian itu.
sebelum mereka mengepalkan tinjunya
ke langit. dan membusungkan dadanya yang kosong:
mulutnya yang busuk menumpahkan ribuan belatung dan ulatulat.


perempuan itu membangun surga dalam genangan air mata.
menciptakan sungai sejarah: sepanjang abad!


Februari, 2000

PUISI DOROTHEA ROSA HERLIANY
Media Indonesia online 19/3//00)


Sebuah Radio, Kumatikan
fragmen ke 23, kepada XG
Oleh :
Dorothea Rosa Herliany





mungkin yang kaudengar tadi cuma kepak burung,
ada yang ingin lepas dari sangkar, ingin terbang pulang
ke rimba, pulang ke angkasa lepas, biarpun ia tahu
telah menunggu segerombolan predator dan pemburu.


tak perlu berdebat lagi, kita bertukar saja tempat,
sangkar itu kosong, dan kita bikin ranjang untuk kantuk
yang tertunda.


sebenarnya, apakah yang kita perebutkan?
hingga kuyup tubuh ini, hingga letih kita, oleh
keinginankeinginan kosong.


sesungguhnya kita hanya ingin berebut tempat
dalam sehalaman buku sejarah, yang mungkin
hanya akan kita tulis dan kita baca sendiri,


Jakarta, 1999

Kompas, online
Jumat, 4 Februari 2000


Sebuah Radio, Kumatikan
fragmen ke 22
Oleh :
Dorothea Rosa Herliany


ada yang mengirim untukmu seuntai cinta: duka yang manis
menyelinap lewat lubang kunci jendela, atau desis yang ngilu,
atau entah apakah - segala warna kelabu yang pucat seperti mayat,
ada yang mengucapkan salam lewat detak jantungmu.


kita masih bersidekap, rindu tua mengaliri darah keruh
yang mengalir lewat erangan dan teriakan tersangkut pejammata,
lalu dengus kecil - aku mengusap keringat di lehermu.


kubawa sekeranjang cinta yang kusut seperti daundaun tua yang layu.
engkau biarkan ada yang menyusup, entah, mungkin lewat lubang kunci,
atau lewat dengusmu: senandung itu terdengar
sampai tengah malam, jendelajendela kembali tertutup.
ada yang mengucapkan salam manis, dan segala omongkosong
di senggang waktu.

Magelang, 1999



Kompas, online
Jumat, 4 Februari 2000


SEBUAH RADIO KUMATIKAN
--fragmen ke-25

Oleh :
Dorothe Rosa Herliany








malam sudah amat jauh, tapi siapa yang masih sibuk
bercakap tentang waktu. aku diam saja. telingaku membatu
--masih terus kau bercakap tentang segala sesuatu itu.


di luar sana gonggongan anjinganjing liar. mungkin
segerombolan hantu dan ketakutan. atau kebencian merambat
lewat gorden, dan mengintipmu


jadi, kau mendengar apa saja. kau melihat apa saja.
mengapa meringkuk dalam selimut kecemasan itu?



PUISI DOROTHEA ROSA HERLIANY
Media Indonesia online 19/3//00)



TEMBANG DI ATAS PERAHU

Oleh :
Dorothea Rosa Herliany







seperti di atas perahu kecil sendirian
aku terombangambing ombak kecil dalam tubuhku
jika aku terlelap, kumimpikan pangeran dengan jubah berderai
dan rambut mengurai beribu kalimat dengusnya yang dusta.
kulihat pancuran dari pedangnya yang panjang dan gagah.
kutiup terompet gairahku dalam tetembangan dari tanah jauh.
alangkah ngelangut. alangkah deras rindu tanpa alamat.
alangkah sunyi dan palsu impian.


seperti di atas perahu kecil sendirian
aku terjaga. tak teratur napasku. mencari beribu nama
dan alamt. dalam berjuta situs dan bermiliar virus. berbaris
cerita cabul pesanpesan asmara yang memualkan.


aku sendirian, seperti lukisan perempuan di depan jendela
: memandang laut biru di batas langit. sambil membendung
badai dan ombak yang mengikis karangkarang.


Februari, 2000

PUISI DOROTHEA ROSA HERLIANY
Media Indonesia online 19/3//00)


TELEGRAM GELAP PERSETUBUHAN

Oleh :
Dorothea Rosa Herliany






kukirim telegram cinta, untuk sesuatu yang deras, mengalir ke ubun,
yang ganjil, yang kucari dalam ledakanledakan. yang kutemukan
dalam kekecewaan demi kekecewaan.


kukirim beratus teriakan kecil dalam gelombang tak berpintu.
membenturbentur dinding dan kesangsian. kuberikan berdesimal
ciuman bimbang. sampai hangat membakar dari mata terpejamku.


kukirim sebaris telegram cinta: lewat lelehan keringat dan
dengus nafas liarku. yang menyisakan sebaris kalimat bisu
dalam gelembung racun kebencian.
dan setelah itu kutulis cerita cabul yang memualkan,

tentang seekor kelinci lemah berbaju gumpalan daging
dalam sederet langkah "the man with the golden gun."
kukirim ke alamat persetubuhan paling dungu.


mengapa kaukutuk kesenangan kecil ini. sambil kausembunyikan
lolongan anjing dan ringkik kuda sembrani dalam berhalaman kitab
atau berbaris grafiti di dinding luar menara.


diamlah dalam kelangkangku, lelaki.
sebelum kaukutuk sebagian fragmen dalam cermin bekumu,
sebelum aku menjadi pemburu sejati: untuk membidikkan panah
yang kurendam racun beratus ular berbisa.
dan kibas jariku melemparkan bangkaimu
ke lubuk senyum nikmatku paling dungu.


Februari, 2000

PUISI DOROTHEA ROSA HERLIANY
Media Indonesia online 19/3//00)