Jumat, Februari 26, 2010

Biografi Emha Ainun Najib

Nama:
EMHA AINUN NAJIB
Lahir:
Jombang, Jawa Timur, 27 Mei 1953
Agama:
Islam
Isteri:
Novia Kolopaking


Pendidikan:
- SD, Jombang (1965)
- SMP Muhammadiyah, Yogyakarta (1968)
- SMA Muhammadiyah, Yogyakarta (1971)
- Pondok Pesantren Modern Gontor
- FE di Fakultas Filsafat UGM (tidak tamat)

Karir:
- Pengasuh Ruang Sastra di harian Masa Kini, Yogyakarta (1970)
- Wartawan/Redaktur di harian Masa Kini, Yogyakarta (1973-1976)
- Pemimpin Teater Dinasti (Yogyakarta)
- Pemimpin Grup musik Kyai Kanjeng
- Penulis puisi dan kolumnis di beberapa media

Karya Seni Teater:
• Geger Wong Ngoyak Macan (1989, tentang pemerintahan 'Raja' Soeharto),
• Patung Kekasih (1989, tentang pengkultusan),
• Keajaiban Lik Par (1980, tentang eksploitasi rakyat oleh berbagai institusi modern),
• Mas Dukun (1982, tentang gagalnya lembaga kepemimpinan modern).
• Santri-Santri Khidhir (1990, bersama Teater Salahudin di lapangan Gontor dengan seluruh santri menjadi pemain, serta 35.000 penonton di alun-alun madiun),
• Lautan Jilbab (1990, dipentaskan secara massal di Yogya, Surabaya dan Makassar),
• Kiai Sableng dan Baginda Faruq (1993).
• Perahu Retak (1992).

Buku Puisi:
• “M” Frustasi (1976),
• Sajak-Sajak Sepanjang Jalan (1978),
• Sajak-Sajak Cinta (1978),
• Nyanyian Gelandangan (1982),
• 99 Untuk Tuhanku (1983),
• Suluk Pesisiran (1989),
• Lautan Jilbab (1989),
• Seribu Masjid Satu Jumlahnya ( 1990),
• Cahaya Maha Cahaya (1991),
• Sesobek Buku Harian Indonesia (1993),
• Abacadabra (1994),
• Syair Amaul Husna (1994)

Buku Essai:
• Dari Pojok Sejarah (1985),
• Sastra Yang Membebaskan (1985)
• Secangkir Kopi Jon Pakir (1990),
• Markesot Bertutur (1993),
• Markesot Bertutur Lagi (1994),
• Opini Plesetan (1996),
• Gerakan Punakawan (1994),
• Surat Kepada Kanjeng Nabi (1996),
• Indonesia Bagian Penting dari Desa Saya (1994),
• Slilit Sang Kiai (1991),
• Sudrun Gugat (1994),
• Anggukan Ritmis Kaki Pak Kiai (1995),
• Bola- Bola Kultural (1996),
• Budaya Tanding (1995),
• Titik Nadir Demokrasi (1995),
• Tuhanpun Berpuasa (1996),
• Demokrasi Tolol Versi Saridin (1997)
• Kita Pilih Barokah atau Azab Allah (1997)
• Iblis Nusantara Dajjal Dunia (1997),
• 2,5 Jam Bersama Soeharto (1998),
• Mati Ketawa Cara Refotnasi (1998)
• Kiai Kocar Kacir (1998)
• Ziarah Pemilu, Ziarah Politik, Ziarah Kebangsaan (1998)
• Keranjang Sampah (1998) Ikrar Husnul Khatimah (1999)
• Jogja Indonesia Pulang Pergi (2000),
• Ibu Tamparlah Mulut Anakmu (2000),
• Menelusuri Titik Keimanan (2001),
• Hikmah Puasa 1 & 2 (2001),
• Segitiga Cinta (2001),
• “Kitab Ketentraman” (2001),
• “Trilogi Kumpulan Puisi” (2001),
• “Tahajjud Cinta” (2003),
• “Ensiklopedia Pemikiran Cak Nun” (2003),
• Folklore Madura (2005),
• Puasa ya Puasa (2005),
• Kerajaan Indonesia (2006, kumpulan wawancara),
• Kafir Liberal (2006)
• Jalan Sunyi EMHA (Ian L. Betts, Juni 2006)


Emha Ainun Nadjib
Kyai Kanjeng Sang Pelayan

Budayawan Emha Ainun Nadjib, kelahiran Jombang, Jawa Timur, 27 Mei 1953, ini seorang pelayan. Suami Novia Kolopaking dan pimpinan Grup Musik Kyai Kanjeng, yang dipanggil akrab Cak Nun, itu memang dalam berbagai kegiatannya, lebih bersifat melayani yang merangkum dan memadukan dinamika kesenian, agama, pendidikan politik dan sinergi ekonomi. Semua kegiatan pelayannya ingin menumbuhkan potensialitas rakyat.

Bersama Grup Musik Kiai Kanjeng, Cak Nun rata-rata 10-15 kali per bulan berkeliling ke berbagai wilayah nusantara, dengan acara massal yang umumnya dilakukan di area luar gedung. Di samping itu, secara rutin (bulanan) bersama komunitas Masyarakat Padang Bulan, aktif mengadakan pertemuan sosial melakukan berbagai dekonstruksi pemahaman atas nilai-nilai, pola-pola komunikasi, metoda perhubungan kultural, pendidikan cara berpikir, serta pengupayaan solusi-solusi masalah masyarakat.

Dalam berbagai forum komunitas Masyarakat Padang Bulan, itu pembicaraan mengenai pluralisme sering muncul. Berkali-kali Cak Nun yang menolak dipanggil kiai itu meluruskan pemahaman mengenai konsep yang ia sebut sebagai manajemen keberagaman itu.
Dia selalu berusaha meluruskan berbagai salah paham mengenai suatu hal, baik kesalahan makna etimologi maupun makna kontekstual. Salah satunya mengenai dakwah, dunia yang ia anggap sudah terpolusi. Menurutnya, sudah tidak ada parameter siapa yang pantas dan tidak untuk berdakwah. “Dakwah yang utama bukan dengan kata-kata, melainkan dengan perilaku. Orang yang berbuat baik sudah berdakwah," katanya.

Karena itulah ia lebih senang bila kehadirannya bersama istri dan kelompok musik Kiai Kanjeng di taman budaya, masjid, dan berbagai komunitas warga tak disebut sebagai kegiatan dakwah. "Itu hanya bentuk pelayanan. Pelayanan adalah ibadah dan harus dilakukan bukan hanya secara vertikal, tapi horizontal," ujarnya.

Emha merintis bentuk keseniannya itu sejak akhir 1970-an, bekerja sama dengan Teater Dinasti -- yang berpangkalan di rumah kontrakannya, di Bugisan, Yogyakarta. Beberapa kota di Jawa pernah mereka datangi, untuk satu dua kali pertunjukan. Selain manggung, ia juga menjadi kolumnis.

Dia anak keempat dari 15 bersaudara. Ayahnya, Almarhum MA Lathif, adalah seorang petani. Dia mengenyam pendidikan SD di Jombang (1965) dan SMP Muhammadiyah di Yogyakarta (1968). Sempat masuk Pondok Modern Gontor Ponorogo tapi kemudian dikeluarkan karena melakukan demo melawan pemerintah pada pertengahan tahun ketiga studinya. Kemudian pindah ke SMA Muhammadiyah I, Yogyakarta sampai tamat. Lalu sempat melanjut ke Fakultas Ekonomi UGM, tapi tidak tamat.

Lima tahun (1970-1975) hidup menggelandang di Malioboro, Yogya, ketika belajar sastra dari guru yang dikaguminya, Umbu Landu Paranggi, seorang sufi yang hidupnya misterius dan sangat memengaruhi perjalanan Emha berikutnya.

Karirnya diawali sebagai Pengasuh Ruang Sastra di harian Masa Kini, Yogyakarta (1970). Kemudian menjadi Wartawan/Redaktur di harian Masa Kini, Yogyakarta (1973-1976), sebelum menjadi pemimpin Teater Dinasti (Yogyakarta), dan grup musik Kyai Kanjeng hingga kini. Penulis puisi dan kolumnis di beberapa media.

Ia juga mengikuti berbagai festival dan lokakarya puisi dan teater. Di antaranya mengikuti lokakarya teater di Filipina (1980), International Writing Program di Universitas Iowa, AS (1984), Festival Penyair Internasional di Rotterdam, Belanda (1984) dan Festival Horizonte III di Berlin Barat, Jerman (1985).

Karya Seni Teater

Cak Nun memacu kehidupan multi-kesenian di Yogya bersama Halimd HD, networker kesenian melalui Sanggarbambu, aktif di Teater Dinasti dan mengasilkan beberapa reportoar serta pementasan drama. Di antaranya: Geger Wong Ngoyak Macan (1989, tentang pemerintahan 'Raja' Soeharto); Patung Kekasih (1989, tentang pengkultusan); Keajaiban Lik Par (1980, tentang eksploitasi rakyat oleh berbagai institusi modern); Mas Dukun (1982, tentang gagalnya lembaga kepemimpinan modern).

Selain itu, bersama Teater Salahudin mementaskan Santri-Santri Khidhir (1990, di lapangan Gontor dengan seluruh santri menjadi pemain, serta 35.000 penonton di alun-alun madiun). Lautan Jilbab (1990, dipentaskan secara massal di Yogya, Surabaya dan Makassar); dan Kiai Sableng dan Baginda Faruq (1993).

Juga mementaskan Perahu Retak (1992, tentang Indonesia Orba yang digambarkan melalui situasi konflik pra-kerajaan Mataram, sebagai buku diterbitkan oleh Garda Pustaka), di samping Sidang Para Setan, Pak Kanjeng, Duta Dari Masa Depan.

Dia juga termasuk kreatif dalam menulis puisi. Terbukti, dia telah menerbitkan 16 buku puisi: “M” Frustasi (1976); Sajak-Sajak Sepanjang Jalan (1978); Sajak-Sajak Cinta (1978); Nyanyian Gelandangan (1982); 99 Untuk Tuhanku (1983); Suluk Pesisiran (1989); Lautan Jilbab (1989); Seribu Masjid Satu Jumlahnya ( 1990); Cahaya Maha Cahaya (1991); Sesobek Buku Harian Indonesia (1993); Abacadabra (1994); dan Syair Amaul Husna (1994)

Selain itu, juga telah menerbitkan 30-an buku esai, di antaranya: Dari Pojok Sejarah (1985); Sastra Yang Membebaskan (1985); Secangkir Kopi Jon Pakir (1990); Markesot Bertutur (1993); Markesot Bertutur Lagi (1994); Opini Plesetan (1996); Gerakan Punakawan (1994); Surat Kepada Kanjeng Nabi (1996); Indonesia Bagian Penting dari Desa Saya (1994); Slilit Sang Kiai (1991); Sudrun Gugat (1994); Anggukan Ritmis Kaki Pak Kiai (1995); Bola- Bola Kultural (1996); Budaya Tanding (1995); Titik Nadir Demokrasi (1995); Tuhanpun Berpuasa (1996); Demokrasi Tolol Versi Saridin (1997); Kita Pilih Barokah atau Azab Allah (1997);

Iblis Nusantara Dajjal Dunia (1997); 2,5 Jam Bersama Soeharto (1998); Mati Ketawa Cara Refotnasi (1998); Kiai Kocar Kacir (1998); Ziarah Pemilu, Ziarah Politik, Ziarah Kebangsaan (1998); Keranjang Sampah (1998); Ikrar Husnul Khatimah (1999); Jogja Indonesia Pulang Pergi (2000); Ibu Tamparlah Mulut Anakmu (2000); Menelusuri Titik Keimanan (2001); Hikmah Puasa 1 & 2 (2001); Segitiga Cinta (2001); “Kitab Ketentraman” (2001); “Trilogi Kumpulan Puisi” (2001); “Tahajjud Cinta” (2003); “Ensiklopedia Pemikiran Cak Nun” (2003); Folklore Madura (2005); Puasa ya Puasa (2005); Kerajaan Indonesia (2006, kumpulan wawancara); Kafir Liberal (2006); dan, Jalan Sunyi EMHA (Ian L. Betts, Juni 2006).


Pluralisme

Cak Nun bersama Grup Musik Kiai Kanjeng dengan balutan busana serba putih, ber-shalawat (bernyanyi) dengan gaya gospel yang kuat dengan iringan musik gamelan kontemporer di hadapan jemaah yang berkumpul di sekitar panggung Masjid Cut Meutia. Setelah shalat tarawih terdiam, lalu sayup-sayup terdengar intro lagu Malam Kudus. Kemudian terdengar syair, "Sholatullah salamullah/ ’Ala thoha Rasulillah/ Sholatullah salamullah/ Sholatullah salamullah/ ’Ala yaasin Habibillah/ ’Ala yaasin Habibillah..."

Tepuk tangan dan teriakan penonton pun membahana setelah shalawat itu selesai dilantunkan. "Tidak ada lagu Kristen, tidak ada lagu Islam. Saya bukan bernyanyi, saya ber-shalawat," ujarnya menjawab pertanyaan yang ada di benak jemaah masjid.

Tampaknya Cak Nun berupaya merombak cara pikir masyarakat mengenai pemahaman agama. Bukan hanya pada Pagelaran Al Quran dan Merah Putih Cinta Negeriku di Masjid Cut Meutia, Jakarta, Sabtu (14/10/2006) malam, itu ia melakukan hal-hal yang kontroversial. Dalam berbagai komunitas yang dibentuknya, oase pemikiran muncul, menyegarkan hati dan pikiran.

Perihal pluralisme, sering muncul dalam diskusi Cak Nun bersama komunitasnya. "Ada apa dengan pluralisme?" katanya. Menurut dia, sejak zaman kerajaan Majapahit tidak pernah ada masalah dengan pluralisme.

"Sejak zaman nenek moyang, bangsa ini sudah plural dan bisa hidup rukun. Mungkin sekarang ada intervensi dari negara luar," ujar Emha. Dia dengan tegas menyatakan mendukung pluralisme. Menurutnya, pluralisme bukan menganggap semua agama itu sama. Islam beda dengan Kristen, dengan Buddha, dengan Katolik, dengan Hindu. “Tidak bisa disamakan, yang beda biar berbeda. Kita harus menghargai itu semua," tutur budayawan intelektual itu. ►e-ti


http://www.tokohindonesia.com/ensiklopedi/e/emha-ainun-nadjib/index.shtml

Senin, Februari 01, 2010

Kho Ping Hoo

Nama:
Kho Ping Hoo
Nama Lengkap:
Asmaraman Sukowati Kho Ping Hoo
Lahir:
Sragen, Jawa Tengah, 17 Agustus 1926
Meninggal:
Solo, 22 Juli 1994

Profesi:
Pengarang

Kho Ping Hoo (1926-1994)

Legenda Cerita Silat

Dia legenda pengarang cerita silat. Kho Ping Hoo, lelaki peranakan Cina kelahiran Sragen, Jawa Tengah, 17 Agustus 1926, yang kendati tak bisa membaca aksara Cina tapi imajinasi dan bakat menulisnya luar biasa. Selama 30 tahun lebih berkarya, dia telah menulis sekitar 400 judul serial berlatar Cina, dan 50 judul serial berlatar Jawa.



Ceritanya asli dan khas. Dia pengarang yang memiliki ide-ide besar, yang tertuang dalam napas ceritanya yang panjang. Sepertinya dia tak pernah kehabisan bahan.



Bahkan setelah dia meninggal dunia akibat serangan jantung pada 22 Juli 1994 dan dimakamkan di Solo, namanya tetap melegenda. Karya-karyanya masih dinikmati oleh banyak kalangan penggemarnya. Bahkan tak jarang penggemarnya tak bosan membaca ulang karya-karyanya.



Beberapa karyanya dirilis ulang media massa, difilmkan, disandiwararadiokan, dan di-online-kan, serta disinetronkan. Dia meninggalkan nama yang melegenda. Legenda Kho Ping Hoo, pernah menjadi sinetron andalan SCTV. Lewat penerbit CV Gema, karya-karyanya masih terus dicetak.



Kho Ping Hoo bernama lengkap Asmaraman Sukowati Kho Ping Hoo, pengarang cerita silat yang memunculkan tokoh-tokoh silat dalam ceritanya, seperti Lu Kwan Cu, Kam Bu Song, Suma Han, Kao Kok Cu, atau Wan Tek Hoat dan Putri Syanti Dewi, Cia Keng Hong, Cia Sin Liong, Ceng Thian Sin, dan Tang Hay. Serta tokoh-tokoh dalam serial paling legendaris Bu Kek Siansu dan Pedang Kayu Harum.


Dia juga banyak mengajarkan filosofi tentang kehidupan, yang memang disisipkan dalam setiap karyanya. Salah satu tentang yang benar adalah benar, dan yang salah tetap salah, meski yang melakukannya kerabat sendiri.

Kisah Keluarga Pulau Es merupakan serial terpanjang dari seluruh karya Kho Ping Hoo. Kisahnya sampai 17 judul, dimulai dari Bu Kek Siansu sampai Pusaka Pulau Es.

Penggemar cerita silat Kho Ping Hoo sangat banyak yang setia. Mereka sudah gemar membaca karya Kho Ping Hoo sejak usia 10-an tahun hingga usia di atas 50-an tahun. Mula-mula mereka senang melihat gambar komiknya. Namun, lama-lama makin tertarik cerita tulisannya. Tak jarang penggemar mengoleksi karya-karya Kho Ping Hoo, bahkan mencarinya ke bursa buku bekas di kawasan Senen.



Kho Ping Hoo, lelaki peranakan Cina kelahiran Sragen, Jawa Tengah, 17 Agustus 1926, berasal dari keluarga miskin. Dia hanya dapat menyelesaikan pendidikan kelas 1 Hollandsche Inlandsche School (HIS). Namun, ia seorang otodidak yang amat gemar membaca sebagai awal kemahirannya menulis.



Ia mulai menulis tahun 1952. Tahun 1958, cerita pendeknya dimuat oleh majalah Star Weekly. Inilah karya pertamanya yang dimuat majalah terkenal ketika itu. Sejak itu, semangatnya makin membara untuk mengembangkan bakat menulisnya.



Banyaknya cerpenis yang sudah mapan, mendorongnya memilih peluang yang lebih terbuka dalam jalur cerita silat. Apalagi, silat bukanlah hal yang asing baginya. Sejak kecil, ayahnya telah mengajarkan seni beladiri itu kepadanya. Sehingga dia terbilang sangat mahir dalam gerak dan pencak, juga makna filosofi dari tiap gerakan silat itu.


Karya cerira silat pertamanya adalah Pedang Pusaka Naga Putih, dimuat secara bersambung di majalah Teratai. Majalah itu ia dirikan bersama beberapa pengarang lainnya. Saat itu, selain menulis, ia masih bekerja sebagai juru tulis dan kerja serabutan lainnya, untuk bisa memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.



Namun, setelah cerbung silatnya menjadi populer, ia pun meninggalkan pekerjaanya sebagai juru tulis dan kerja serabutan itu, dan fokus menulis. Hebatnya, ia menerbitkan sendiri cerita silatnya dalam bentuk serial buku saku, yang ternyata sangat laris.


Hal itu membuat kreatifitasnya makin terpicu. Karya-karyanya pun mengalir deras. Cerita silatnya pun makin bervariasi. Tak hanya cerita berlatar Cina, tetapi juga cerita berlatar Jawa, di masa majapahit atau sesudahnya. Bahkan, selain secara gemilang memasukkan makna-makna filosofis, dia pun menanamkan ideologi nasionalisme dalam cerita silatnya.



Seperti kisah dalam cerita Sepetak Tanah Sejengkal Darah. Dia menyajikan cerita yang sangat membumi, akrab dengan keseharian. Juga melintasi batas agama, suku dan ras.


Kepopulerannya makin memuncak manakala merilis serial silat terpanjangnya Kisah Keluarga Pulau Es, yang mencapai 17 judul cerita, dengan ukuran panjang antara 18 sampai 62 jilid. Dimulai dari kisah Bu Kek Siansu sampai Pusaka Pulau Es.



Karya serial berlatar Jawa, yang juga terbilang melegenda antara lain Perawan Lembah Wilis, Darah Mengalir di Borobudur, dan Badai Laut Selatan. Bahkan Darah Mengalir di Borobudur, pernah disandiwararadiokan. ►e-ti/tian son lang, dari berbagai sumber

Senin, Januari 25, 2010

Sajak-sajak Emha Ainun Najib,2

KUDEKAP KUSAYANG-SAYANG
Oleh :
Emha Ainun Naijb


Kepadamu kekasih kupersembahkan segala api keperihan
di dadaku ini demi cintaku kepada semua manusia
Kupersembahkan kepadamu sirnanya seluruh kepentingan
diri dalam hidup demi mempertahankan kemesraan rahasia,
yang teramat menyakitkan ini, denganmu
Terima kasih engkau telah pilihkan bagiku rumah
persemayaman dalam jiwa remuk redam hamba-hambamu
Kudekap mereka, kupanggul, kusayang-sayang, dan ketika
mereka tancapkan pisau ke dadaku, mengucur darah dari
mereka sendiri, sehingga bersegera aku mengusapnya,
kusumpal, kubalut dengan sobekan-sobekan bajuku
Kemudian kudekap ia, kupanggul, kusayang-sayang,
kupeluk,
kugendong-gendong, sampai kemudian mereka tancapkan
lagi pisau ke punggungku, sehingga mengucur lagi darah
batinnya, sehingga aku bersegera mengusapnya,
kusumpal,
kubalut dengan sobekan-sobekan bajuku, kudekap,
kusayang-sayang.


1994

(Dari Kumpulan sajak Abracadabra Kita Ngumpet,
Yayasan Bentang Budaya Yogyakarta, 1994, halaman 7)






SEPENGGAL PUISI CAK NUN
Oleh :
Emha Ainun Najib






sayang sayang kita tak tau kemana pergi
tak sanggup kita dengarkan suara yang sejati
langkah kita mengabdi pada kepentingan nafsu sendiri
yang bisa kita pandang hanya kepentingan sendiri

loyang disangka emas emasnya di buang buang
kita makin buta yang mana utara yang mana selatan
yang kecil dibesarkan yang besar di remehkan
yang penting disepelekan yang sepele diutamakan

Allah Allah betapa busuk hidup kami
dan masih akan membusuk lagi
betapa gelap hari di depan kami
mohon ayomilah kami yang kecil ini





SERIBU MASJID SATU JUMLAHNYA
Oleh :
Emha Ainun Najib


Satu
Masjid itu dua macamnya
Satu ruh, lainnya badan
Satu di atas tanah berdiri
Lainnya bersemayam di hati

Tak boleh hilang salah satunyaa
Kalau ruh ditindas, masjid hanya batu
Kalau badan tak didirikan, masjid hanya hantu
Masing-masing kepada Tuhan tak bisa bertamu

Dua
Masjid selalu dua macamnya
Satu terbuat dari bata dan logam
Lainnya tak terperi
Karena sejati

Tiga
Masjid batu bata
Berdiri di mana-mana
Masjid sejati tak menentu tempat tinggalnya
Timbul tenggelam antara ada dan tiada

Mungkin di hati kita
Di dalam jiwa, di pusat sukma
Membisikkannama Allah ta'ala
Kita diajari mengenali-Nya

Di dalam masjid batu bata
Kita melangkah, kemudian bersujud
Perlahan-lahan memasuki masjid sunyi jiwa
Beriktikaf, di jagat tanpa bentuk tanpa warna

Empat
Sangat mahal biaya masjid badan
Padahal temboknya berlumut karena hujan
Adapun masjid ruh kita beli dengan ketakjuban
Tak bisa lapuk karena asma-Nya kita zikirkan

Masjid badan gmpang binasa
Matahari mengelupas warnanya
Ketika datang badai, beterbangan gentingnya
Oleh gempa ambruk dindingnya
Masjid ruh mengabadi
Pisau tak sanggup menikamnya
Senapan tak bisa membidiknya
Politik tak mampu memenjarakannya

Lima
Masjid ruh kita baw ke mana-mana
Ke sekolah, kantor, pasar dan tamasya
Kita bawa naik sepeda, berjejal di bis kota
Tanpa seorang pun sanggup mencopetnya

Sebab tangan pencuri amatlah pendeknya
Sedang masjid ruh di dada adalah cakrawala
Cengkeraman tangan para penguasa betapa kerdilnya
Sebab majid ruh adalah semesta raya

Jika kita berumah di masjid ruh
Tak kuasa para musuh melihat kita
Jika kita terjun memasuki genggaman-Nya
Mereka menembak hanya bayangan kita

Enam
Masjid itu dua macamnya
Masjid badan berdiri kaku
Tak bisa digenggam
Tak mungkin kita bawa masuk kuburan

Adapun justru masjid ruh yang mengangkat kita
Melampaui ujung waktu nun di sana
Terbang melintasi seribu alam seribu semesta
Hinggap di keharibaan cinta-Nya

Tujuh
Masjid itu dua macamnya
Orang yang hanya punya masjid pertama
Segera mati sebelum membusuk dagingnya
Karena kiblatnya hanya batu berhala

Tetapi mereka yang sombong dengan masjid kedua
Berkeliaran sebagai ruh gentayangan
Tidak memiliki tanah pijakan
Sehingga kakinya gagal berjalan

Maka hanya bagi orang yang waspada
Dua masjid menjadi satu jumlahnya
Syariat dan hakikat
Menyatu dalam tarikat ke makrifat

Delapan
Bahkan seribu masjid, sjuta masjid
Niscaya hanya satu belaka jumlahnya
Sebab tujuh samudera gerakan sejarah
Bergetar dalam satu ukhuwah islamiyah

Sesekali kita pertengkarkan soal bid'ah
Atau jumlah rakaat sebuah shalat sunnah
Itu sekedar pertengkaran suami istri
Untuk memperoleh kemesraan kembali

Para pemimpin saling bercuriga
Kelompok satu mengafirkan lainnya
Itu namanya belajar mendewasakan khilafah
Sambil menggali penemuan model imamah

Sembilan
Seribu masjid dibangun
Seribu lainnya didirikan
Pesan Allah dijunjung di ubun-ubun
Tagihan masa depan kita cicilkan

Seribu orang mendirikan satu masjid badan
Ketika peradaban menyerah kepada kebuntuan
Hadir engkau semua menyodorkan kawruh

Seribu masjid tumbuh dalam sejarah
Bergetar menyatu sejumlah Allah
Digenggamnya dunia tidak dengan kekuasaan
Melainkan dengan hikmah kepemimpinan

Allah itu mustahil kalah
Sebab kehidupan senantiasa lapar nubuwwah
Kepada berjuta Abu Jahl yang menghadang langkah
Muadzin kita selalu mengumandangkan Hayya 'Alal Falah!



1987





TAHAJJUD CINTAKU

Oleh :
Emha Ainun Najib


Mahaanggun Tuhan yang menciptakan hanya kebaikan
Mahaagung ia yang mustahil menganugerahkan keburukan

Apakah yang menyelubungi kehidupan ini selain cahaya
Kegelapan hanyalah ketika taburan cahaya takditerima

Kecuali kesucian tidaklah Tuhan berikan kepada kita
Kotoran adalah kesucian yang hakikatnya tak dipelihara

Katakan kepadaku adakah neraka itu kufur dan durhaka
Sedang bagi keadilan hukum ia menyediakan dirinya

Ke mana pun memandang yang tampak ialah kebenaran
Kebatilan hanyalah kebenaran yang tak diberi ruang


Mahaanggun Tuhan yang menciptakan hanya kebaikan
Suapi ia makanan agar tak lapar dan berwajah keburukan

Tuhan kekasihku tak mengajari apa pun kecuali cinta
Kebencian tak ada kecuali cinta kau lukai hatinya


1988

Rabu, Januari 20, 2010

Sajak-sajak Emha Ainun Najib, 1


ANTARA TIGA KOTA

Oleh :
Emha Ainun Najib



            di yogya aku lelap tertidur
            angin di sisiku mendengkur
            seluruh kota pun bagai dalam kubur
            pohon-pohon semua mengantuk
            di sini kamu harus belajar berlatih
            tetap hidup sambil mengantuk

            kemanakah harus kuhadapkan muka
            agar seimbang antara tidur dan jaga ?

            Jakarta menghardik nasibku
            melecut menghantam pundakku
            tiada ruang bagi diamku
            matahari memelototiku
            bising suaranya mencampakkanku
            jatuh bergelut debu

            kemanakah harus juhadapkan muka
            agar seimbang antara tidur dan jaga

            surabaya seperti ditengahnya
            tak tidur seperti kerbau tua
            tak juga membelalakkan mata
            tetapi di sana ada kasihku
            yang hilang kembangnya
            jika aku mendekatinya

            kemanakah haru kuhadapkan muka
            agar seimbang antara tidur dan jaga ?
            
            

            Antologi Puisi XIV Penyair Yogya, MALIOBORO,
            1997







BEGITU ENGKAU BERSUJUD
Oleh :
Emha Ainun Najib


 Begitu engakau bersujud, terbangunlah ruang
  yang kau tempati itu menjadi sebuah masjid
 Setiap kali engkau bersujud, setiap kali

  pula telah engkau dirikan masjid
 Wahai, betapa menakjubkan, berapa ribu masjid
  telah kau bengun selama hidupmu?
 Tak terbilang jumlahnya, menara masjidmu
  meninggi, menembus langit, memasuki
  alam makrifat

 Setiap gedung, rumah, bilik atau tanah, seketika
  bernama masjid, begitu engkau tempati untuk bersujud
 Setiap lembar rupiah yang kau sodorkan kepada
  ridha Tuhan, menjelma jadi sajadah kemuliaan
 Setiap butir beras yang kau tanak dan kau tuangkan
  ke piring ke-ilahi-an, menjadi se-rakaat sembahyang
 Dan setiap tetes air yang kau taburkan untuk
  cinta kasih ke-Tuhan-an, lahir menjadi kumandang suara
  adzan

 Kalau engkau bawa badanmu bersujud, engkaulah masjid
 Kalau engkau bawa matamu memandang yang dipandang
  Allah, engkaulah kiblat
 Kalau engkau pandang telingamu mendengar yang
  didengar Allah, engkaulah tilawah suci
 Dan kalau derakkan hatimu mencintai yang dicintai
  Allah, engkaulah ayatullah

 Ilmu pengetahuan bersujud, pekerjaanmu bersujud,
  karirmu bersujud, rumah tanggamu bersujud, sepi
  dan ramaimu bersujud, duka deritamu bersujud
  menjadilah engkau masjid


          1987









 


DARI BENTANGAN LANGIT
Oleh :
Emha Ainun Najib


    Dari bentangan langit yang semu
    Ia, kemarau itu, datang kepadamu
    Tumbuh perlahan. Berhembus amat panjang
    Menyapu lautan. Mengekal tanah berbongkahan
    menyapu hutan !
    Mengekal tanah berbongkahan !
    datang kepadamu, Ia, kemarau itu
    dari Tuhan, yang senantia diam
    dari tangan-Nya. Dari Tangan yang dingin dan tak menyapa
    yang senyap. Yang tak menoleh barang sekejap.
    

            Antologi Puisi XIV Penyair Yogya, MALIOBORO,
            1997







DITANYAKAN KEPADANYA
Oleh :
Emha Ainun Najib


 Ditanyakan kepadanya siapakah pencuri
 Jawabnya: ialah pisang yang berbuah mangga
 Tak demikian Allah menata
 Maka berdusta ia

 Ditanyakan kepadanya siapakah penumpuk harta
 Jawabnya: ialah matahari yang tak bercahaya
 Tak demikian sunnatullah  berkata
 Maka cerdusta ia

 Ditanyakan kepadanya siapakah pemalas
 Jawabnya: bumi yang memperlambat waktu edarnya
 Menjadi kacaulah sistem alam semesta
 Maka berdusta ia

 Ditanyakan kepadanya sapakah penindas
 Jawabnya: ialah gunung berapi masuk kota
 Dilanggarnya tradisi alam dan manusia
 Maka berdusta ia

 Ditanyakan kepadanya siapa pemanja kebebasan
 Ialah burung terbang tinggi menuju matahari
 Burung Allah tak sedia bunuh diri
 Maka berdusta ia

 Ditanyakn kepadanya siapa orang lalai
 Ialah siang yang tak bergilir ke malam hari
 Sedangkan Allah sedemikian rupa mengelola
 Maka berdusta ia

 Ditanyakan kepadanya siapa orang ingkar
 Ialah air yang mengalir ke angkasa
 Padahal telah ditetapkan hukum alam benda
 Maka berdusta ia

 Kemudian siapakah penguasa yang tak memimpin
 Ialah benalu raksasa yang memenuhi ladang
 Orang wajib menebangnya
 Agar tak berdusta ia

 Kemudian siapakah orang lemah perjuangan
 Ialah api yang tak membakar keringnya dedaunan
 Orang harus menggertak jiwanya
 Agar tak berdusta ia
 Kemudian siapakah pedagang penyihir
 Ialah kijang kencana berlari di atas air
 Orang harus meninggalkannya
 Agar tak berdusta ia

 Adapun siapakah budak kepentingan pribadi
 Ialah babi yang meminum air kencingnya sendiri
 Orang harus melemparkan batu ke tengkuknya
 Agar tak berdusta ia

 Dan akhirnya siapakah orang tak paham cinta
 Ialah burung yang tertidur di kubangan kerbau
 Nyanyikan puisi di telinganya
 Agar tak berdusta ia


         1988









 

IKRAR
Oleh :
Emha Ainun Najib



        Di dalam sinar-Mu
        Segala soal dan wajah dunia
        Tak menyebabkan apa-apa
        Aku sendirilah yang menggerakkan laku
        Atas nama-Mu

        Kuambil siakp, total dan tuntas
        maka getaranku
        Adalah getaran-Mu
        lenyap segala dimensi
        baik dan buruk, kuat dan lemah
        Keutuhan yang ada
        Terpelihara dalam pasrah dan setia

        Menangis dalam tertawa
        Bersedih dalam gembira
        Atau sebaliknya
        tak ada kekaguman, kebanggaan, segala belenggu
        Mulus dalam nilai satu

        Kesadaran yang lebih tinggi
        Mengatasi pikiran dan emosi
        menetaplah, berbahagialah
        Demi para tetangga
        tetapi di dalam kamu kosong
        Ialah wujud yang tak terucapkan, tak tertuliskan

        Kugenggam kamu
        Kau genggam aku
        Jangan sentuh apapun
        Yang menyebabkan noda
        Untuk tidak melepaskan, menggenggam lainnya
        Berangkat ulang jengkal pertama
        
        

            Antologi Puisi XIV Penyair Yogya, MALIOBORO,
            1997



KETIKA ENGKAU BERSEMBAHYANG
Oleh :
Emha Ainun Najib



 Ketika engkau bersembahyang
 Oleh takbirmu pintu langit terkuakkan
 Partikel udara dan ruang hampa bergetar
 Bersama-sama mengucapkan allahu akbar

 Bacaan Al-Fatihah dan surah
 Membuat kegelapan terbuka matanya
 Setiap doa dan pernyataan pasrah
 Membentangkan jembatan cahaya

 Tegak tubuh alifmu mengakar ke pusat bumi
 Ruku' lam badanmu memandangi asal-usul diri
 Kemudian mim sujudmu menangis
 Di dalam cinta Allah hati gerimis

 Sujud adalah satu-satunya hakekat hidup
 Karena perjalanan hanya untuk tua dan redup
 Ilmu dan peradaban takkan sampai
 Kepada asal mula setiap jiwa kembali

 Maka sembahyang adalah kehidupan ini sendiri
 Pergi sejauh-jauhnya agar sampai kembali
 Badan di peras jiwa dipompa tak terkira-kira
 Kalau diri pecah terbelah, sujud mengutuhkannya

 Sembahyang di atas sajadah cahaya
 Melangkah perlahan-lahan ke rumah rahasia
 Rumah yang tak ada ruang tak ada waktunya
 Yang tak bisa dikisahkan kepada siapapun

 Oleh-olehmu dari sembahyang adalah sinar wajah
 Pancaran yang tak terumuskan oleh ilmu fisika
 Hatimu sabar mulia, kaki seteguh batu karang
 Dadamu mencakrawala, seluas 'arasy sembilan puluh sembilan



1987










KITA MASUKI PASAR RIBA
Oleh :
Emha Ainun Najib


 Kita pasar r iba
 Medan perang keserakahan
 Seperti  ikan dalam air tenggelam

 Tak bisa ambil jarak
 Tak tahu langit
 Ke kiri dosa ke kanan dusta

 Bernapas air
 Makan minum air
 Darah riba mengalir

 Kita masuki pasar riba
 Menjual diri dan Tuhan
 Untuk membeli hidup yang picisan

 Telanjur jadi uang recehan
 Dari putaran riba politik dan ekonomi
   Sistem yang membunuh sebelum mati

   Siapakah kita ?
   Wajah  tak menentu jenisnya
   Tiap saat berganti nama

   Tegantung kepentingannya apa
   Tergantung rugi atu laba
   Kita pilih kepada siapa tertawa

       1987

Jumat, Januari 15, 2010

Sajak-sajak Amir Hamzah


BERDIRI AKU
Oleh :
Amir Hamzah
            

            Berdiri aku di senja senyap
            Camar melayang menepis buih
            Melayah bakau mengurai puncak
            Berjulang datang ubur terkembang

            Angin pulang menyeduk bumi
            Menepuk teluk mengempas emas
            Lari ke gunung memuncak sunyi
            Berayun-ayun di atas alas.

            Benang raja mencelup ujung
            Naik marak mengerak corak
            Elang leka sayap tergulung
            dimabuk wama berarak-arak.

            Dalam rupa maha sempuma
            Rindu-sendu mengharu kalbu
            Ingin datang merasa sentosa
            Menyecap hidup bertentu tuju.
            

                Memahami Puisi, 1995
                Mursal Esten







BUAH RINDU II
Oleh :
Amir Hamzah


            Datanglah engkau wahai maut
            Lepaskan aku dan nestapa
            Engkau lagi tempatku berpaut
            Di waktu ini gelap gulita.

            Kicau murai tiada merdu
            Pada beta bujang Melayu
            Himbau pungguk tiada merindu
            Dalam telingaku seperti dahulu.

            Tuan aduhai mega berarak
            Yang melipud dewangga raya
            Berhentilah tuan di atas teratak
            Anak Langkat musyafir lata.

            Sesa'at sekejap mata beta berpesan
            Padamu tuan aduhai awan
            Arah manatah tuan berjalan
            Di negeri manatah tuan bertahan?

            Sampaikan rinduku pada adinda
            Bisikkan rayuanku pada juita
            Liputi lututnya muda kencana
            Serupa beta memeluk dia.

            Ibu, konon jauh tanah Selindung
            Tempat gadis duduk berjuntai
            Bonda hajat hati memeluk gunung
            apatah daya tangan ta' sampai.

            Elang, Rajawali burung angkasa
            Turunlah tuan barang sementara
            Beta bertanya sepatah kata
            Adakah tuan melihat adinda?

            Mega telahku sapa
            Margasatwa telahku tanya
            Maut telahku puja
            Tetapi adinda manatah dia !


                Memahami Puisi, 1995
                Mursal Esten






DOA

Oleh :
Amir Hamzah

 

    Dengan apakah kubandingkan pertemuan kita, kekasihku?
    Dengan senja samar sepoi, pada masa purnama meningkat naik, setelah menghalaukan panas payah
    terik.
    Angin malam mengembus lemah, menyejuk badan, melambung rasa menayang pikir, membawa angan ke bawah kursimu.
    Hatiku terang menerima katamu, bagai bintang memasang lilinnya.
    Kalbuku terbuka menunggu kasihmu, bagai sedap malam menyiarkan kelopak.
    Aduh, kekasihku, isi hatiku dengan katamu, penuhi dadaku dengan cahayamu, biar bersinar mataku sendu, biar berbinar
    gelakku rayu!

                Memahami Puisi, 1995
                Mursal Esten







HANYA SATU
Oleh :
Amir Hamzah


                Timbul niat dalam kalbumu.
                Terbang hujan, ungkai badai
                Terendam karam
                Runtuh ripuk tamanmu rampak

                Manusia kecil lintang pukang
                Lari terbang jatuh duduk
                Air naik tetap terus
                Tumbang bungkar pokok purba

                Terika riuh redam terbelam
                Dalam gagap gempita guruh
                Kilau kilat membelah gelap
                Lidah api menjulang tinggi

                Terapung naik Jung bertudung
                Tempat berteduh nuh kekasihmu
                Bebas lepas lelang lapang
                Di tengah gelisah, swara sentosa

                Bersemayam sempana di jemala gembala
                Juriat julita bapaku iberahim
                Keturunan intan dua cahaya
                Pancaran putera berlainan bunda

                Kini kami bertikai pangkai
                Di antara dua, mana mutiara
                Jauhari ahli lalai menilai
                Lengah langsung melewat abad

                Aduh kekasihku
                padaku semua tiada berguna
                Hanya satu kutunggu hasrat
                Merasa dikau dekat rapat
                Serpa musa di puncak tursina.
                

                Memahami Puisi, 1995
                Mursal Esten



PADAMU JUA
Oleh :
Amir Hamzah


                Habis kikis
                Segera cintaku hilang terbang
                Pulang kembali aku padamu
                Seperti dahulu

                Kaulah kandil kemerlap
                Pelita jendela di malam gelap
                Melambai pulang perlahan
                Sabar, setia selalu

                Satu kekasihku
                Aku manusia
                Rindu rasa
                Rindu rupa

                Di mana engkau
                Rupa tiada
                Suara sayup
                Hanya kata merangkai hati

                Engkau cemburu
                Engkau ganas
                Mangsa aku dalam cakarmu
                Bertukar tangkap dengan lepas

                Nanar aku, gila sasar
                Sayang berulang padamu jua
                Engkau pelik menarik ingin
                Serupa dara dibalik tirai

                Kasihmu sunyi
                Menunggu seorang diri
                Lalu waktu - bukan giliranku
                Matahari - bukan kawanku.
                

                Memahami Puisi, 1995
                Mursal Esten


Selasa, Januari 12, 2010

Sajak-Sajak Danarto


Berburu Ayat-Ayat Suci (Danarto)
Danarto
Sumber: Republika,  Edisi 10/23/2005

Orang-orang berbondong berburu ayat-ayat suci. Berebut di masjid, pasar, kampus, stasiun, mall, café, dan warung-warung tegal. Dengan teriakan, tangisan, dan gelak tawa, rakyat antre siang malam memunguti sisa-sisa tiang negara yang roboh. O, tsunami, gempa, tanah longsor, dan banjir yang susul-menyusul, menciptakan para pedagang, melenyapkan air bersih, menyingkirkan orang-orang suci dari percaturan peradaban. Orang-orang bergerombol menunggu aba-aba perampokan, penggarongan, penghancuran, huru-hara. Di sini jerit tangis memenuhi alun-alun: ayat-ayat suci sudah digondol maling. Tak remah-remah pun tersisa. Juga tikus, kucing, kadal, dan segala binatang berkaki empat maupun dua, mengais-ais.

O, tolonglah berbagi sedikit, teteskan ayat suci yang kamu dapat, untuk haus kami, lapar kami, derita kami.Apa urusanku dengan hausmu, laparmu, dan penderitaanmu? Orang-orang mendongak ke angkasa.Tuhan, ulurkan tanganMu. Para wisatawan meninggalkan ayat-ayat suci di bak sampah, meja restoran yang acak-acakan, wastafel yang krannya ngocor terus, di lapangan parkir yang lalu-lalang, melupakan ibunya, ayahnya, saudara-saudaranya, ngebut dengan mobil 150 km perjam, menuju entah-berantah.

Di antara reruntuhan negara yang roboh, para pemulung, pengemis, gelandangan, preman, saling berbagi dan tukar tambah ayat-ayat suci dengan ramai, menyimpannya di bawah tikar bobrok yang menyelamatkan hidup mereka.

10.10.2005






TABIR

Berenang di laut luas, awan lepas, bangau meniti buih pedas, gaung matahari berbias-bias, o, cakrawala, rindu kampung pulang antara, mata kail asat samudera, mendaki air menguras permata, bertemu karang di kamar magenta. Cadas, cadas, desah ragam hapus bilas, kekasih mencurah senter pada gelap liputan akhir dari gelas.

20.6.2004






KOLAM

Ya, Allah, Tuhan Yang Mahakepujian.
Tunjuki hamba, kolam yang mana yang
mesti hamba mandi. Rasanya hamba kembali
kotor padahal hamba baru saja selesai mandi.
Kolam ini bersih, sejernih lantai istana
Nabi Sulaiman.
Bahkan Engkau bisa becermin di dalamnya.
Menghitung jumlah hamba-hambaMu yang
Engkau kasihi.
Jangan, Tuhan, jangan. Jangan dulu diganti
umat yang baru, meski kami banyak
melanggar aturan.
Kami memang pemalas, mau menang sendiri,
suka iri kepada orang lain, amburadul dalam
bekerja. Namun, kami beribadah terus memohon
jalan lurusMu.
HidayahMu, ya, Allah, hidayahMu. Ulurkan
tanganMu, karuniai kolamMu, menolong
bangsa ini yang hancur-hancuran.

20.1.2005