Senin, Januari 25, 2010

Sajak-sajak Emha Ainun Najib,2

KUDEKAP KUSAYANG-SAYANG
Oleh :
Emha Ainun Naijb


Kepadamu kekasih kupersembahkan segala api keperihan
di dadaku ini demi cintaku kepada semua manusia
Kupersembahkan kepadamu sirnanya seluruh kepentingan
diri dalam hidup demi mempertahankan kemesraan rahasia,
yang teramat menyakitkan ini, denganmu
Terima kasih engkau telah pilihkan bagiku rumah
persemayaman dalam jiwa remuk redam hamba-hambamu
Kudekap mereka, kupanggul, kusayang-sayang, dan ketika
mereka tancapkan pisau ke dadaku, mengucur darah dari
mereka sendiri, sehingga bersegera aku mengusapnya,
kusumpal, kubalut dengan sobekan-sobekan bajuku
Kemudian kudekap ia, kupanggul, kusayang-sayang,
kupeluk,
kugendong-gendong, sampai kemudian mereka tancapkan
lagi pisau ke punggungku, sehingga mengucur lagi darah
batinnya, sehingga aku bersegera mengusapnya,
kusumpal,
kubalut dengan sobekan-sobekan bajuku, kudekap,
kusayang-sayang.


1994

(Dari Kumpulan sajak Abracadabra Kita Ngumpet,
Yayasan Bentang Budaya Yogyakarta, 1994, halaman 7)






SEPENGGAL PUISI CAK NUN
Oleh :
Emha Ainun Najib






sayang sayang kita tak tau kemana pergi
tak sanggup kita dengarkan suara yang sejati
langkah kita mengabdi pada kepentingan nafsu sendiri
yang bisa kita pandang hanya kepentingan sendiri

loyang disangka emas emasnya di buang buang
kita makin buta yang mana utara yang mana selatan
yang kecil dibesarkan yang besar di remehkan
yang penting disepelekan yang sepele diutamakan

Allah Allah betapa busuk hidup kami
dan masih akan membusuk lagi
betapa gelap hari di depan kami
mohon ayomilah kami yang kecil ini





SERIBU MASJID SATU JUMLAHNYA
Oleh :
Emha Ainun Najib


Satu
Masjid itu dua macamnya
Satu ruh, lainnya badan
Satu di atas tanah berdiri
Lainnya bersemayam di hati

Tak boleh hilang salah satunyaa
Kalau ruh ditindas, masjid hanya batu
Kalau badan tak didirikan, masjid hanya hantu
Masing-masing kepada Tuhan tak bisa bertamu

Dua
Masjid selalu dua macamnya
Satu terbuat dari bata dan logam
Lainnya tak terperi
Karena sejati

Tiga
Masjid batu bata
Berdiri di mana-mana
Masjid sejati tak menentu tempat tinggalnya
Timbul tenggelam antara ada dan tiada

Mungkin di hati kita
Di dalam jiwa, di pusat sukma
Membisikkannama Allah ta'ala
Kita diajari mengenali-Nya

Di dalam masjid batu bata
Kita melangkah, kemudian bersujud
Perlahan-lahan memasuki masjid sunyi jiwa
Beriktikaf, di jagat tanpa bentuk tanpa warna

Empat
Sangat mahal biaya masjid badan
Padahal temboknya berlumut karena hujan
Adapun masjid ruh kita beli dengan ketakjuban
Tak bisa lapuk karena asma-Nya kita zikirkan

Masjid badan gmpang binasa
Matahari mengelupas warnanya
Ketika datang badai, beterbangan gentingnya
Oleh gempa ambruk dindingnya
Masjid ruh mengabadi
Pisau tak sanggup menikamnya
Senapan tak bisa membidiknya
Politik tak mampu memenjarakannya

Lima
Masjid ruh kita baw ke mana-mana
Ke sekolah, kantor, pasar dan tamasya
Kita bawa naik sepeda, berjejal di bis kota
Tanpa seorang pun sanggup mencopetnya

Sebab tangan pencuri amatlah pendeknya
Sedang masjid ruh di dada adalah cakrawala
Cengkeraman tangan para penguasa betapa kerdilnya
Sebab majid ruh adalah semesta raya

Jika kita berumah di masjid ruh
Tak kuasa para musuh melihat kita
Jika kita terjun memasuki genggaman-Nya
Mereka menembak hanya bayangan kita

Enam
Masjid itu dua macamnya
Masjid badan berdiri kaku
Tak bisa digenggam
Tak mungkin kita bawa masuk kuburan

Adapun justru masjid ruh yang mengangkat kita
Melampaui ujung waktu nun di sana
Terbang melintasi seribu alam seribu semesta
Hinggap di keharibaan cinta-Nya

Tujuh
Masjid itu dua macamnya
Orang yang hanya punya masjid pertama
Segera mati sebelum membusuk dagingnya
Karena kiblatnya hanya batu berhala

Tetapi mereka yang sombong dengan masjid kedua
Berkeliaran sebagai ruh gentayangan
Tidak memiliki tanah pijakan
Sehingga kakinya gagal berjalan

Maka hanya bagi orang yang waspada
Dua masjid menjadi satu jumlahnya
Syariat dan hakikat
Menyatu dalam tarikat ke makrifat

Delapan
Bahkan seribu masjid, sjuta masjid
Niscaya hanya satu belaka jumlahnya
Sebab tujuh samudera gerakan sejarah
Bergetar dalam satu ukhuwah islamiyah

Sesekali kita pertengkarkan soal bid'ah
Atau jumlah rakaat sebuah shalat sunnah
Itu sekedar pertengkaran suami istri
Untuk memperoleh kemesraan kembali

Para pemimpin saling bercuriga
Kelompok satu mengafirkan lainnya
Itu namanya belajar mendewasakan khilafah
Sambil menggali penemuan model imamah

Sembilan
Seribu masjid dibangun
Seribu lainnya didirikan
Pesan Allah dijunjung di ubun-ubun
Tagihan masa depan kita cicilkan

Seribu orang mendirikan satu masjid badan
Ketika peradaban menyerah kepada kebuntuan
Hadir engkau semua menyodorkan kawruh

Seribu masjid tumbuh dalam sejarah
Bergetar menyatu sejumlah Allah
Digenggamnya dunia tidak dengan kekuasaan
Melainkan dengan hikmah kepemimpinan

Allah itu mustahil kalah
Sebab kehidupan senantiasa lapar nubuwwah
Kepada berjuta Abu Jahl yang menghadang langkah
Muadzin kita selalu mengumandangkan Hayya 'Alal Falah!



1987





TAHAJJUD CINTAKU

Oleh :
Emha Ainun Najib


Mahaanggun Tuhan yang menciptakan hanya kebaikan
Mahaagung ia yang mustahil menganugerahkan keburukan

Apakah yang menyelubungi kehidupan ini selain cahaya
Kegelapan hanyalah ketika taburan cahaya takditerima

Kecuali kesucian tidaklah Tuhan berikan kepada kita
Kotoran adalah kesucian yang hakikatnya tak dipelihara

Katakan kepadaku adakah neraka itu kufur dan durhaka
Sedang bagi keadilan hukum ia menyediakan dirinya

Ke mana pun memandang yang tampak ialah kebenaran
Kebatilan hanyalah kebenaran yang tak diberi ruang


Mahaanggun Tuhan yang menciptakan hanya kebaikan
Suapi ia makanan agar tak lapar dan berwajah keburukan

Tuhan kekasihku tak mengajari apa pun kecuali cinta
Kebencian tak ada kecuali cinta kau lukai hatinya


1988

Rabu, Januari 20, 2010

Sajak-sajak Emha Ainun Najib, 1


ANTARA TIGA KOTA

Oleh :
Emha Ainun Najib



            di yogya aku lelap tertidur
            angin di sisiku mendengkur
            seluruh kota pun bagai dalam kubur
            pohon-pohon semua mengantuk
            di sini kamu harus belajar berlatih
            tetap hidup sambil mengantuk

            kemanakah harus kuhadapkan muka
            agar seimbang antara tidur dan jaga ?

            Jakarta menghardik nasibku
            melecut menghantam pundakku
            tiada ruang bagi diamku
            matahari memelototiku
            bising suaranya mencampakkanku
            jatuh bergelut debu

            kemanakah harus juhadapkan muka
            agar seimbang antara tidur dan jaga

            surabaya seperti ditengahnya
            tak tidur seperti kerbau tua
            tak juga membelalakkan mata
            tetapi di sana ada kasihku
            yang hilang kembangnya
            jika aku mendekatinya

            kemanakah haru kuhadapkan muka
            agar seimbang antara tidur dan jaga ?
            
            

            Antologi Puisi XIV Penyair Yogya, MALIOBORO,
            1997







BEGITU ENGKAU BERSUJUD
Oleh :
Emha Ainun Najib


 Begitu engakau bersujud, terbangunlah ruang
  yang kau tempati itu menjadi sebuah masjid
 Setiap kali engkau bersujud, setiap kali

  pula telah engkau dirikan masjid
 Wahai, betapa menakjubkan, berapa ribu masjid
  telah kau bengun selama hidupmu?
 Tak terbilang jumlahnya, menara masjidmu
  meninggi, menembus langit, memasuki
  alam makrifat

 Setiap gedung, rumah, bilik atau tanah, seketika
  bernama masjid, begitu engkau tempati untuk bersujud
 Setiap lembar rupiah yang kau sodorkan kepada
  ridha Tuhan, menjelma jadi sajadah kemuliaan
 Setiap butir beras yang kau tanak dan kau tuangkan
  ke piring ke-ilahi-an, menjadi se-rakaat sembahyang
 Dan setiap tetes air yang kau taburkan untuk
  cinta kasih ke-Tuhan-an, lahir menjadi kumandang suara
  adzan

 Kalau engkau bawa badanmu bersujud, engkaulah masjid
 Kalau engkau bawa matamu memandang yang dipandang
  Allah, engkaulah kiblat
 Kalau engkau pandang telingamu mendengar yang
  didengar Allah, engkaulah tilawah suci
 Dan kalau derakkan hatimu mencintai yang dicintai
  Allah, engkaulah ayatullah

 Ilmu pengetahuan bersujud, pekerjaanmu bersujud,
  karirmu bersujud, rumah tanggamu bersujud, sepi
  dan ramaimu bersujud, duka deritamu bersujud
  menjadilah engkau masjid


          1987









 


DARI BENTANGAN LANGIT
Oleh :
Emha Ainun Najib


    Dari bentangan langit yang semu
    Ia, kemarau itu, datang kepadamu
    Tumbuh perlahan. Berhembus amat panjang
    Menyapu lautan. Mengekal tanah berbongkahan
    menyapu hutan !
    Mengekal tanah berbongkahan !
    datang kepadamu, Ia, kemarau itu
    dari Tuhan, yang senantia diam
    dari tangan-Nya. Dari Tangan yang dingin dan tak menyapa
    yang senyap. Yang tak menoleh barang sekejap.
    

            Antologi Puisi XIV Penyair Yogya, MALIOBORO,
            1997







DITANYAKAN KEPADANYA
Oleh :
Emha Ainun Najib


 Ditanyakan kepadanya siapakah pencuri
 Jawabnya: ialah pisang yang berbuah mangga
 Tak demikian Allah menata
 Maka berdusta ia

 Ditanyakan kepadanya siapakah penumpuk harta
 Jawabnya: ialah matahari yang tak bercahaya
 Tak demikian sunnatullah  berkata
 Maka cerdusta ia

 Ditanyakan kepadanya siapakah pemalas
 Jawabnya: bumi yang memperlambat waktu edarnya
 Menjadi kacaulah sistem alam semesta
 Maka berdusta ia

 Ditanyakan kepadanya sapakah penindas
 Jawabnya: ialah gunung berapi masuk kota
 Dilanggarnya tradisi alam dan manusia
 Maka berdusta ia

 Ditanyakan kepadanya siapa pemanja kebebasan
 Ialah burung terbang tinggi menuju matahari
 Burung Allah tak sedia bunuh diri
 Maka berdusta ia

 Ditanyakn kepadanya siapa orang lalai
 Ialah siang yang tak bergilir ke malam hari
 Sedangkan Allah sedemikian rupa mengelola
 Maka berdusta ia

 Ditanyakan kepadanya siapa orang ingkar
 Ialah air yang mengalir ke angkasa
 Padahal telah ditetapkan hukum alam benda
 Maka berdusta ia

 Kemudian siapakah penguasa yang tak memimpin
 Ialah benalu raksasa yang memenuhi ladang
 Orang wajib menebangnya
 Agar tak berdusta ia

 Kemudian siapakah orang lemah perjuangan
 Ialah api yang tak membakar keringnya dedaunan
 Orang harus menggertak jiwanya
 Agar tak berdusta ia
 Kemudian siapakah pedagang penyihir
 Ialah kijang kencana berlari di atas air
 Orang harus meninggalkannya
 Agar tak berdusta ia

 Adapun siapakah budak kepentingan pribadi
 Ialah babi yang meminum air kencingnya sendiri
 Orang harus melemparkan batu ke tengkuknya
 Agar tak berdusta ia

 Dan akhirnya siapakah orang tak paham cinta
 Ialah burung yang tertidur di kubangan kerbau
 Nyanyikan puisi di telinganya
 Agar tak berdusta ia


         1988









 

IKRAR
Oleh :
Emha Ainun Najib



        Di dalam sinar-Mu
        Segala soal dan wajah dunia
        Tak menyebabkan apa-apa
        Aku sendirilah yang menggerakkan laku
        Atas nama-Mu

        Kuambil siakp, total dan tuntas
        maka getaranku
        Adalah getaran-Mu
        lenyap segala dimensi
        baik dan buruk, kuat dan lemah
        Keutuhan yang ada
        Terpelihara dalam pasrah dan setia

        Menangis dalam tertawa
        Bersedih dalam gembira
        Atau sebaliknya
        tak ada kekaguman, kebanggaan, segala belenggu
        Mulus dalam nilai satu

        Kesadaran yang lebih tinggi
        Mengatasi pikiran dan emosi
        menetaplah, berbahagialah
        Demi para tetangga
        tetapi di dalam kamu kosong
        Ialah wujud yang tak terucapkan, tak tertuliskan

        Kugenggam kamu
        Kau genggam aku
        Jangan sentuh apapun
        Yang menyebabkan noda
        Untuk tidak melepaskan, menggenggam lainnya
        Berangkat ulang jengkal pertama
        
        

            Antologi Puisi XIV Penyair Yogya, MALIOBORO,
            1997



KETIKA ENGKAU BERSEMBAHYANG
Oleh :
Emha Ainun Najib



 Ketika engkau bersembahyang
 Oleh takbirmu pintu langit terkuakkan
 Partikel udara dan ruang hampa bergetar
 Bersama-sama mengucapkan allahu akbar

 Bacaan Al-Fatihah dan surah
 Membuat kegelapan terbuka matanya
 Setiap doa dan pernyataan pasrah
 Membentangkan jembatan cahaya

 Tegak tubuh alifmu mengakar ke pusat bumi
 Ruku' lam badanmu memandangi asal-usul diri
 Kemudian mim sujudmu menangis
 Di dalam cinta Allah hati gerimis

 Sujud adalah satu-satunya hakekat hidup
 Karena perjalanan hanya untuk tua dan redup
 Ilmu dan peradaban takkan sampai
 Kepada asal mula setiap jiwa kembali

 Maka sembahyang adalah kehidupan ini sendiri
 Pergi sejauh-jauhnya agar sampai kembali
 Badan di peras jiwa dipompa tak terkira-kira
 Kalau diri pecah terbelah, sujud mengutuhkannya

 Sembahyang di atas sajadah cahaya
 Melangkah perlahan-lahan ke rumah rahasia
 Rumah yang tak ada ruang tak ada waktunya
 Yang tak bisa dikisahkan kepada siapapun

 Oleh-olehmu dari sembahyang adalah sinar wajah
 Pancaran yang tak terumuskan oleh ilmu fisika
 Hatimu sabar mulia, kaki seteguh batu karang
 Dadamu mencakrawala, seluas 'arasy sembilan puluh sembilan



1987










KITA MASUKI PASAR RIBA
Oleh :
Emha Ainun Najib


 Kita pasar r iba
 Medan perang keserakahan
 Seperti  ikan dalam air tenggelam

 Tak bisa ambil jarak
 Tak tahu langit
 Ke kiri dosa ke kanan dusta

 Bernapas air
 Makan minum air
 Darah riba mengalir

 Kita masuki pasar riba
 Menjual diri dan Tuhan
 Untuk membeli hidup yang picisan

 Telanjur jadi uang recehan
 Dari putaran riba politik dan ekonomi
   Sistem yang membunuh sebelum mati

   Siapakah kita ?
   Wajah  tak menentu jenisnya
   Tiap saat berganti nama

   Tegantung kepentingannya apa
   Tergantung rugi atu laba
   Kita pilih kepada siapa tertawa

       1987

Jumat, Januari 15, 2010

Sajak-sajak Amir Hamzah


BERDIRI AKU
Oleh :
Amir Hamzah
            

            Berdiri aku di senja senyap
            Camar melayang menepis buih
            Melayah bakau mengurai puncak
            Berjulang datang ubur terkembang

            Angin pulang menyeduk bumi
            Menepuk teluk mengempas emas
            Lari ke gunung memuncak sunyi
            Berayun-ayun di atas alas.

            Benang raja mencelup ujung
            Naik marak mengerak corak
            Elang leka sayap tergulung
            dimabuk wama berarak-arak.

            Dalam rupa maha sempuma
            Rindu-sendu mengharu kalbu
            Ingin datang merasa sentosa
            Menyecap hidup bertentu tuju.
            

                Memahami Puisi, 1995
                Mursal Esten







BUAH RINDU II
Oleh :
Amir Hamzah


            Datanglah engkau wahai maut
            Lepaskan aku dan nestapa
            Engkau lagi tempatku berpaut
            Di waktu ini gelap gulita.

            Kicau murai tiada merdu
            Pada beta bujang Melayu
            Himbau pungguk tiada merindu
            Dalam telingaku seperti dahulu.

            Tuan aduhai mega berarak
            Yang melipud dewangga raya
            Berhentilah tuan di atas teratak
            Anak Langkat musyafir lata.

            Sesa'at sekejap mata beta berpesan
            Padamu tuan aduhai awan
            Arah manatah tuan berjalan
            Di negeri manatah tuan bertahan?

            Sampaikan rinduku pada adinda
            Bisikkan rayuanku pada juita
            Liputi lututnya muda kencana
            Serupa beta memeluk dia.

            Ibu, konon jauh tanah Selindung
            Tempat gadis duduk berjuntai
            Bonda hajat hati memeluk gunung
            apatah daya tangan ta' sampai.

            Elang, Rajawali burung angkasa
            Turunlah tuan barang sementara
            Beta bertanya sepatah kata
            Adakah tuan melihat adinda?

            Mega telahku sapa
            Margasatwa telahku tanya
            Maut telahku puja
            Tetapi adinda manatah dia !


                Memahami Puisi, 1995
                Mursal Esten






DOA

Oleh :
Amir Hamzah

 

    Dengan apakah kubandingkan pertemuan kita, kekasihku?
    Dengan senja samar sepoi, pada masa purnama meningkat naik, setelah menghalaukan panas payah
    terik.
    Angin malam mengembus lemah, menyejuk badan, melambung rasa menayang pikir, membawa angan ke bawah kursimu.
    Hatiku terang menerima katamu, bagai bintang memasang lilinnya.
    Kalbuku terbuka menunggu kasihmu, bagai sedap malam menyiarkan kelopak.
    Aduh, kekasihku, isi hatiku dengan katamu, penuhi dadaku dengan cahayamu, biar bersinar mataku sendu, biar berbinar
    gelakku rayu!

                Memahami Puisi, 1995
                Mursal Esten







HANYA SATU
Oleh :
Amir Hamzah


                Timbul niat dalam kalbumu.
                Terbang hujan, ungkai badai
                Terendam karam
                Runtuh ripuk tamanmu rampak

                Manusia kecil lintang pukang
                Lari terbang jatuh duduk
                Air naik tetap terus
                Tumbang bungkar pokok purba

                Terika riuh redam terbelam
                Dalam gagap gempita guruh
                Kilau kilat membelah gelap
                Lidah api menjulang tinggi

                Terapung naik Jung bertudung
                Tempat berteduh nuh kekasihmu
                Bebas lepas lelang lapang
                Di tengah gelisah, swara sentosa

                Bersemayam sempana di jemala gembala
                Juriat julita bapaku iberahim
                Keturunan intan dua cahaya
                Pancaran putera berlainan bunda

                Kini kami bertikai pangkai
                Di antara dua, mana mutiara
                Jauhari ahli lalai menilai
                Lengah langsung melewat abad

                Aduh kekasihku
                padaku semua tiada berguna
                Hanya satu kutunggu hasrat
                Merasa dikau dekat rapat
                Serpa musa di puncak tursina.
                

                Memahami Puisi, 1995
                Mursal Esten



PADAMU JUA
Oleh :
Amir Hamzah


                Habis kikis
                Segera cintaku hilang terbang
                Pulang kembali aku padamu
                Seperti dahulu

                Kaulah kandil kemerlap
                Pelita jendela di malam gelap
                Melambai pulang perlahan
                Sabar, setia selalu

                Satu kekasihku
                Aku manusia
                Rindu rasa
                Rindu rupa

                Di mana engkau
                Rupa tiada
                Suara sayup
                Hanya kata merangkai hati

                Engkau cemburu
                Engkau ganas
                Mangsa aku dalam cakarmu
                Bertukar tangkap dengan lepas

                Nanar aku, gila sasar
                Sayang berulang padamu jua
                Engkau pelik menarik ingin
                Serupa dara dibalik tirai

                Kasihmu sunyi
                Menunggu seorang diri
                Lalu waktu - bukan giliranku
                Matahari - bukan kawanku.
                

                Memahami Puisi, 1995
                Mursal Esten


Selasa, Januari 12, 2010

Sajak-Sajak Danarto


Berburu Ayat-Ayat Suci (Danarto)
Danarto
Sumber: Republika,  Edisi 10/23/2005

Orang-orang berbondong berburu ayat-ayat suci. Berebut di masjid, pasar, kampus, stasiun, mall, café, dan warung-warung tegal. Dengan teriakan, tangisan, dan gelak tawa, rakyat antre siang malam memunguti sisa-sisa tiang negara yang roboh. O, tsunami, gempa, tanah longsor, dan banjir yang susul-menyusul, menciptakan para pedagang, melenyapkan air bersih, menyingkirkan orang-orang suci dari percaturan peradaban. Orang-orang bergerombol menunggu aba-aba perampokan, penggarongan, penghancuran, huru-hara. Di sini jerit tangis memenuhi alun-alun: ayat-ayat suci sudah digondol maling. Tak remah-remah pun tersisa. Juga tikus, kucing, kadal, dan segala binatang berkaki empat maupun dua, mengais-ais.

O, tolonglah berbagi sedikit, teteskan ayat suci yang kamu dapat, untuk haus kami, lapar kami, derita kami.Apa urusanku dengan hausmu, laparmu, dan penderitaanmu? Orang-orang mendongak ke angkasa.Tuhan, ulurkan tanganMu. Para wisatawan meninggalkan ayat-ayat suci di bak sampah, meja restoran yang acak-acakan, wastafel yang krannya ngocor terus, di lapangan parkir yang lalu-lalang, melupakan ibunya, ayahnya, saudara-saudaranya, ngebut dengan mobil 150 km perjam, menuju entah-berantah.

Di antara reruntuhan negara yang roboh, para pemulung, pengemis, gelandangan, preman, saling berbagi dan tukar tambah ayat-ayat suci dengan ramai, menyimpannya di bawah tikar bobrok yang menyelamatkan hidup mereka.

10.10.2005






TABIR

Berenang di laut luas, awan lepas, bangau meniti buih pedas, gaung matahari berbias-bias, o, cakrawala, rindu kampung pulang antara, mata kail asat samudera, mendaki air menguras permata, bertemu karang di kamar magenta. Cadas, cadas, desah ragam hapus bilas, kekasih mencurah senter pada gelap liputan akhir dari gelas.

20.6.2004






KOLAM

Ya, Allah, Tuhan Yang Mahakepujian.
Tunjuki hamba, kolam yang mana yang
mesti hamba mandi. Rasanya hamba kembali
kotor padahal hamba baru saja selesai mandi.
Kolam ini bersih, sejernih lantai istana
Nabi Sulaiman.
Bahkan Engkau bisa becermin di dalamnya.
Menghitung jumlah hamba-hambaMu yang
Engkau kasihi.
Jangan, Tuhan, jangan. Jangan dulu diganti
umat yang baru, meski kami banyak
melanggar aturan.
Kami memang pemalas, mau menang sendiri,
suka iri kepada orang lain, amburadul dalam
bekerja. Namun, kami beribadah terus memohon
jalan lurusMu.
HidayahMu, ya, Allah, hidayahMu. Ulurkan
tanganMu, karuniai kolamMu, menolong
bangsa ini yang hancur-hancuran.

20.1.2005