Senin, Agustus 01, 2011

Biografi Joko Pinurbo

Nama : Joko Pinurbo

Lahir : Sukabumi, Jawa Barat 11 Mei 1962

Pendidikan : Bahasa dan Sastra Indonesia pada IKIP Sanata Darma Yogyakarta (1987)

Profesi : Dosen IKIP Sanata Darma Yogyakarta

Sumber: Taman Ismail Marzuki

Joko Pinurbo kelahiran Sukabumi, Jawa Barat, 11 Mei 1962, menyelesaikan pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia pada IKIP Sanata Darma Yogyakarta tahun 1987 dan kemudian menjadi staf pengajar di almamaternya.

Sejak tahun 1979 ia sudah mempelajari puisi dan atau sajak-sajak yang dibuat oleh para sastrawan terkenal Indonesia. Selama 20 tahun ia mengamati puisi/sajak, selama itu pula ia belum membuat satu puisi pun. Hingga akhirnya pada tahun 1999 barulah dia menghasilkan puisi dan membukukan dalam suatu tema celana, yang menurut pengakuannya belum pernah penyair sebelumnya memakai kata tersebut dalam puisinya.

Sejak tahun 1999 hingga sekarang sudah 10 buku kumpulan puisi diluncurkan diantaranya Celana (1999), Di Bawah Kibaran Sarung (2001), Pacarkecilku (2002), Telepon Genggam (2003), Kekasihku (2004), Pacar Senja – Seratus Puisi Pilihan (2005). Suatu jumlah yang sangat produktif (satu tahun satu buku) yang belum ada tandingannya oleh penyair Indonesia lainnya. Beberapa buku kumpulan puisinya memperoleh hadiah Sastra Lontar 2001, Sih Award (Penghargaan Puisi Terbaik Jurnal Puisi) 2001, penghargaan Sastra Pusat Bahasa Depdiknas 2002, Tokoh Sastra PIlihan Tempo 2001, Penghargaan Sastra Khatulistiwa 2005. Dan yang lebih fenomenal lagi, bukunya itu laku keras di pasaran. Buku kumpulan puisi Kepada Cium (terbit tahun 2007), hanya dalam jangka waktu satu bulan sudah terjual 1000 buku. Suatu jumlah yang luar biasa untuk buku puisi.

Menurut pengakuannya, biasanya dia tidak terlalu antusias kalau diundang pada acara bedah buku puisi. Tetapi suatu kali dia sengaja datang ke Kampus UI untuk menyampaikan perasaan dendamnya kepada Sapardi Djoko Damono. karena ada perasaan iri terhadap karya Sapardi Djoko Damono, yang banyak dibicarakan orang. Dendam terhadap Sapardi ini yang terus dipelihara Joko Pinurbo, supaya dapat merangsang kreativitasnya untuk menghasilkan puisi yang lebih baik.





Karya :

Celana (1999),
Di Bawah Kibaran Sarung (2001),
Pacar kecilku (2002), Telepon Genggam (2003),
Kekasihku (2004),
Pacar Senja – Seratus Puisi Pilihan (2005),
Kepada Cium (2007)
Celana Pacarkecilku Di Bawah Kibarang Sarung - Tiga Kumpulan Puisi (2007)
Kekasihku (2010)



Perhargaan :

Hadiah Sastra Lontar, 2001,
Sih Award (Penghargaan Puisi Terbaik Jurnal Puisi), 2001,
Penghargaan Sastra Pusat Bahasa Depdiknas, 2002,
Tokoh Sastra PIlihan Tempo, 2001,
Penghargaan Sastra Khatulistiwa 2005

Jumat, Juli 01, 2011

Sajak-sajak Joko Pinurbo

Di Bawah Kibaran Sarung

Di bawah kibaran sarung anak-anak berangkat tidur
ke haribaan malam. Tidur mereka seperti tidur yang baka.
Tidur yang dijaga dan disambangi seorang lelaki kurus
dengan punggung melengkung, mata yang dalam dan cekung.
“Hidup orang miskin!” pekiknya sambil membentangkan sarung.

“Hidup sarung!” seru seorang perempuan, sahabat malam,
yang tekun mendengarkan hujan. Lalu ia mainkan piano,
piano tua, di dada lelaki itu. “Simfoni batukmu, nada-nada
sakitmu, musik klasikmu, mengalun merdu sepanjang malam,”
hibur perempuan itu dengan mata setengah terpejam.

Di bawah kibaran sarung
rumah adalah kampung.
Kampung kecil di mana kau
bisa ngintip yang serba gaib:
kisah senja, celoteh cinta,
sungai coklat, dada langsat,
parade susu, susu cantik
dan pantat nungging
yang kausebut nasib.
Kampung kumuh di mana penyakit,
onggokan sampah, sumpah serapah,
mayat busuk, anjing kawin,
maling mabuk, piring pecah,
tikus ngamuk, timbunan tinja
adalah tetangga.

“Rumahku adalah istanaku,”
kata perempuan itu sambil terus
memainkan pianonya, piano tua,
piano kesayangan.
“Rumahku adalah kerandaku,”
timpal lelaki itu sambil terus
meletupkan batuknya, batuk darah,
batuk kemenangan.

Dan seperti keranda mencari penumpang
dari jauh terdengar suara andong
memanggil pulang. Kling klong kling klong.

Di bawah kibaran sarung
kutuliskan puisimu,
di rumah kecil yang dingin terpencil.
Seperti perempuan perkasa
yang betah berjaga
menemani kantuk, menemani sakit
di remang cahaya:
menghitung iga, memainkan piano
di dada lelaki tua
yang gagap mengucap doa.

Ya, kutuliskan puisimu
kulepaskan ke seberang
seperti kanak-kanak berangkat tidur
ke haribaan malam.

Ayo temui aku di bawah kibaran sarung
di tempat yang jauh terlindung.

(1999)










Serdadu

Ketika kau tidur, ada seorang serdadu duduk-duduk di atas
tubuhmu, merokok, main gitar, dan dengan suara sumbang
menyanyikan lagu selamat malam.

Di atas tubuhmu ada serdadu sedang tiduran, menjilat darah
pada pisau, bersiul, kemudian berdiri sambil mengacungkan
senapan. “Hidup revolusi!” pekiknya lantang.

Ketika kau tidur, Sayang, ada serdadu mencari-cari jejakku
di bilur-bilur merah di mahasakit tubuhmu.

(2001)









Hampir

Ada sepasang pengemis buta suatu hari datang ke rumah.
Sebelum minta sedekah, mereka bertanya dulu:
“Apakah Tuan sudah kaya?” Aku menimpal: “Hampir!”
Dengan halus mereka mohon diri, kemudian menuju
ke tetangga sebelah yang mungkin saja hampir sisa hartanya.

Kini aku merasa benar-benar sudah mampu. Telah kusiapkan
rapelan sedekah bagi sepasang pengemis buta itu.

Mereka muncul juga akhirnya, tapi langsung menuju
ke tetangga sebelah tanpa minta sedekah dulu ke aku.
Ketika mereka lewat di depan rumahku, samar-samar aku
mendengar suara: “Tidak usah ngemis ke tuan yang satu ini.
Kasihan, dia hampir miskin. Besok saja kalau dia hampir mati.”

(2001)









Kredo Celana

Yesus yang seksi dan murah hati,
kutemukan celana jinmu yang koyak
di sebuah pasar loak.
Dengan uang yang tersisa dalam dompetku
kusambar ia jadi milikku.

Ada noda darah pada dengkulnya.
Dan aku ingat sabdamu:
“Siapa berani mengenakan celanaku
akan mencecap getir darahku.”

Mencecap darahmu? Siapa takut!
Sudah sering aku berdarah,
walau darahku tak segarang darahmu.

Siapa gerangan telah melego celanamu?
Pencuri yang kelaparan,
pak guru yang dihajar hutang,
atau pengarang yang dianiaya kemiskinan?
Entahlah. Yang pasti celanamu
pernah dipakai bermacam-macam orang.

Yesus yang seksi dan rendah hati,
malam ini aku akan baca puisi
di sebuah gedung pertunjukan
dan akan kupakai celanamu
yang sudah agak pudar warnanya.
Boleh dong sekali-sekali aku tampil gaya.

Di panggung yang remang-remang
sajak-sajakku meluncur riang.
Makin lama tubuhku terasa menyusut
dan lambat-laun menghilang.
Tinggal celanamu bergoyang-goyang
di depan mikrofon,
sementara sajak-sajakku terus menggema
dan aku lebur ke dalam gema.
“Hidup raja celana!” Hadirin terkesima.

Kelak akan ada seorang ibu
yang menjahit sajak-sajakku
menjadi sehelai celana
dan celanaku akan merindukan celanamu.

(2007)

Selasa, Juni 21, 2011

Utuy Tatang Sontani

(Lahir : Cianjur, 1 Mei 1920 - Wafat : Moskwa, 17 September 1979) adalah seorang sastrawan Angkatan 45 terkemuka. Karyanya yang pertama adalah Tambera (versi bahasa Sunda 1937) sebuah novel sejarah yang berlangsung di Kepulauan Maluku pada abad ke-17. Novel ini pertama kali dimuat dalam koran daerah berbahasa Sunda Sipatahoenan dan Sinar Pasundan pada tahun yang sama. Setelah itu Utuy menerbitkan kumpulan cerita pendeknya, Orang-orang Sial (1951), yang diikuti oleh cerita-cerita lakonnya yang membuatnya terkenal. Lakon pertamanya (Suling dan Bunga Rumahmakan, 1948) ditulis sebagaimana lakon ditulis, tetapi selanjutnya ia menemukan cara menulis lakon yang unik, yang bentuknya seperti cerita yang enak dibaca.

Di antara lakon-lakonnya yang terkenal adalah Awal dan Mira (1952), Sajang Ada Orang Lain (1954), Di Langit Ada Bintang (1955), Sang Kuriang (1955), Selamat Djalan Anak Kufur (1956), Si Kabajan (1959), dan Tak Pernah Mendjadi Tua (1963).

Terseret arus politik zaman

Utuy diutus oleh pemerintah Indonesia pada 1958 sebagai salah seorang wakil Indonesia dalam Konferensi Pengarang Asia-Afrika di Tashkent, Uzbekistan. Ketika hubungan politik Indonesia-Uni Soviet semakin mesra, banyak karya pengarang Indonesia yang diterjemahkan dan diterbitkan ke dalam bahasa Rusia, termasuk karya Utuy, "Tambera", yang dianggap mencerminkan semangat revolusi dan perjuangan rakyat. Sementara itu, "Orang-Orang Sial", hanya terbit di Tallin, dalam bahasa Estonia, karena dianggap terlalu pesimistik dan hanya mengungkapkan sisi gelap revolusi.

Pada 1 Oktober 1965 Utuy bersama sejumlah pengarang dan wartawan Indonesia menghadiri perayaan 1 Oktober di Beijing atas undangan pemerintah Tiongkok. Pecahnya G30S pada 1965 di Indonesia membuat mereka terlunta-lunta di tanah asing. Kembali ke Indonesia berarti ditangkap dan dituduh terlibat G30S, seperti yang dialami oleh begitu banyak kawan mereka. Situasi mereka semakin sulit ketika di RRT sendiri pecah Revolusi Kebudayaan pada 1966. Sebagian orang Indonesia yang terdampar di Tiongkok akhirnya memutuskan untuk meninggalkan negara itu dan pergi ke Eropa Barat dengan menumpang kereta api Trans Siberia. Sebagian dari penumpang ini berhenti di Moskwa, termasuk Utuy dan sejumlah kawannya, Kuslan Budiman, Rusdi Hermain, dan Soerjana, wartawan Harian Rakjat.

Pindah ke Moskwa

Kedatangan Utuy di Moskwa pada 1971 disambut hangat oleh pemerintah Uni Soviet dan masyarakat ilmiah di sana, terutama karena nama Utuy sudah dikenal luas lewat karya-karyanya dan kehadirannya dalam Konferensi Pengarang Asia-Afrika pada 1958. Utuy diminta mengajar Bahasa dan Sastra Indonesia di Moskwa dan sempat pula menghasilkan sejumlah karya tulis. Ia menyusun sekurang-kurangnya empat buah novel dan tiga otobiografi hingga ia wafat pada 1979 di Moskwa. Salah satu novelnya yang ditulisnya dan diterbitkan di Moskwa adalah Kolot Kolotok. Novel ini hanya dicetak terbatas untuk bahan studi di Jurusan Indonesia, Universitas Negara Moskwa. Di Bawah Langit Tak Berbintang adalah memoar dan otobiografinya yang mengisahkan pengalamannya hidup di pengasingan di RRT dan di Rusia.

Ketika ia meninggal, sebagai penghormatan nisannya ditempatkan sebagai nisan pertama di pemakaman Islam pertama di Moskwa.


Karya tulis

* Tambera (1948)
* Orang-orang Sial: sekumpulan tjerita tahun 1948-1950 (1951)
* Selamat Djalan Anak Kufur (1956)
* Si Kampeng (1964)
* Si Sapar: sebuah novelette tentang kehidupan penarik betjak di Djakarta (1964)
* Kolot Kolotok
* Di bawah langit tak berbintang (2001)
* Menuju Kamar Durhaka - kumpulan cerpen (2002)

Drama:

* Suling (1948)
* Bunga Rumah Makan: pertundjukan watak dalam satu babak (1948)
* Awal dan Mira: drama satu babak (1952)
* Sajang Ada Orang Lain (1954)
* Di Langit Ada Bintang (1955)
* Sang Kuriang: opera dua babak (1955)
* Si Kabajan: komedi dua babak (1959)
* Tak Pernah Mendjadi Tua (1963)
* Manusia Kota: empat buah drama (1961)

Selain ke dalam bahasa Rusia dan Estonia, karya-karya Utuy juga diterjemahkan ke dalam bahasa-bahasa lain, mis. bahasa Inggris, Mandarin, Tagalog, dll.

Di masa Orde Baru, sama seperti para penulis yang mendapatkan stigma komunis, karya-karya Utuy dilarang beredar oleh pemerintah.