Selasa, Juni 23, 2009

Sajak-sajak GM

TENTANG SEORANG YANG TERBUNUH DI SEKITAR HARI PEMILIHAN UMUM

Oleh :

Goenawan Mohamad

“Tuhan, berikanlah suara-Mu, kepadaku”

Seperti jadi senyap salak anjing ketika ronda menemukan mayatnya

di tepi pematang. Telungkup. Seperti mencari harum dan hangat padi.

Tapi bau sing itu dan dingin pipinya jadi aneh, di bawah bulan.

Dan kemudian mereka pun berdatangan - senter, suluh dan

kunang-kunang - tapi tak seorang pun mengenalnya. Ia bukan orang sini, hansip itu berkata.

“Berikan suara-Mu”

Di bawah petromaks kelurahan mereka menemukan liang luka yang lebih.

Bayang-bayang bergoyang sibuk dan beranda meninggalkan bisik.

Orang ini tak berkartu. Ia tak bernama. Ia tak berpartai. Ia tak

bertandagambar. Ia tak ada yang menagisi, karena kita tak bisa menangisi. Apa gerangan agamanya ?

“Juru peta yang Agung, dimanakah tanah airku ?”

Lusa kemudian mereka membacanya di koran kota, di halaman

pertama. Ada seorang menangis entah mengapa. Ada seorang

yang tak menangis entah mengapa. Ada seorang anak yang letih

dan membikin topi dari koran pagi itu, yang diterbangkan angin

kemudian. Lihatlah. Di udara berpasang layang-layang, semua

bertopang pada cuaca. Lalu burung-burung sore hinggap di kawat,

sementara bangau-bangau menuju ujung senja, melintasi lapangan

yang gundul dan warna yang panjang, seperti asap yang sirna.

“Tuhan, berikan suara-Mu, kepadaku”

Horison, September 1971, Thn VI.

Sajak-sajak Perjuangan dan Nyanyian Tanah Air

PADA ALBUM MIGUEL DE COVAROBIAS

Oleh :

Goenawan Mohammad

Kuinginkan tubuhmu

dari zaman

yang tak punya tanda,

kecuali warna sepia.

Pundakmu

yang bebas ,

akan kurampas

dari sia-sia.

Akan kuletakan sintalmu

pada tubir meja:

telanjang

yang meminta

kekar kemaluan purba,

dan zat hutan

yang jauh, dengan surya

yang datang sederhana.

Akan kubiarkan waktu

mencambukmu,

lepas. Tak ada yang tersisa

dalam pigura

juga api yang tertinggal

pada klimaks ketiga,

juga para dewa, juga kau

yang akan runduk

Kematian pun akan masuk kembali

kembali, kembali...

Mari.

Kuinginkan tubuhmu

dari zaman

yang tak punya tanda

kecuali

warna sepia

1996

dikutip dari: Misalkan Kita Di Sarajevo, Kalam, 1998

TIGRIS

Oleh :

Goenawan Mohammad

Sungai demam

Karang lekang

Pasir pecah

pelan-pelan

Gurun mengerang: Babilon!

Defile berjalan

Lalu Tuhan memberi mereka bumi

Tuhan memberi mereka nabi

Antara sejarah

dan sawah

hama

dan Hammurabi

Setelah itu, kita tak akan di sini

Kau dengarkah angin ngakak malam-malam

ketika bulan seperti

susu yang tertikam

ketika mereka memperkosa

Mesopotomia?

Seorang anak berlari, dan seperti dulu

ia pun mencari-cari

kemah di antara pohon-pohon tufah

Jangan menangis.

Belas adalah

Iblis karena Tuhan telah menitahkan airmata

jadi magma, bara yang diterbangkan bersama

belibis, burung-burung sungai yang akan

melempar pasukan revolusi

dengan besi dan api

"Ababil! Ababil!" mereka akan berteriak.

Bumi perang sabil.

Karena itulah, mullah, jubah ini

selalu kita cuci dalam darah di tebing

Tigris yang kalah

Dari Najaf ada gurun. Kita sebrangi

dengan geram dan racun. Dan tiba di Kerbala

akan kita temui pembunuhan

yang lebih purba.

(Ibuku. Seandainya kau tahu kami adalah anak-anakmu)

1986

dikutip dari: Asmaradana, Grasindo, 1992

DI MALIOBORO

--kepada seseorang yang mengingatkan saya akan Iramani, yang dibunuh di tahun 1965

Oleh :

Goenawan Mohammad

Saya menemukanmu, tersenyum, acuh tak acuh

di sisi Benteng Vriedenburg

Siapa namamu, kataku, dan kau bilang:

Kenapa kau tanyakan itu.

Malam mulai diabaikan waktu.

Di luar, trotoar tertinggal.

Deret gedung bergadang

dan lampu tugur sepanjang malam

seperti jaga untuk seorang baginda

yang sebentar lagi akan mati.

Mataram, katamu, Mataram...

Ingatan-ingatan pun bepercikan

--sekilas terang kemudian hilang-- seakan pijar

di kedai tukang las.

Saya coba pertautkan kembali

potongan-potongan waktu

yang terputus dari landas.

Tapi tak ada yang akan bisa diterangkan, rasanya

Di atas bintang-bintang mabuk

oleh belerang,

kepundan seperti sebuah radang,

dan bulan dihirup hilang

kembali oleh Merapi

Trauma, kau bilang

(mungkin juga, "trakhoma?")

membutakan kita

Dan esok los-los pasar

akan menyebarkan lagi warna permainan kanak

dari kayu: boneka-boneka pengantin

merah-kuning dan rumah-rumah harapan

dalam lilin.

Siapa namamu, tanyaku.

Aku tak punya ingatan untuk itu, sahutmu.

1997

Tidak ada komentar:

Posting Komentar