ANA BUNGA
Terjemahan bebas (Adaptasi) dari puisi Kurt Schwittters, Anne Blumme
Oleh :
Sutardji Calzoum Bachri
Oh kau Sayangku duapuluh tujuh indera
Kucinta kau
Aku ke kau ke kau aku
Akulah kauku kaulah ku ke kau
Kita ?
Biarlah antara kita saja
Siapa kau, perempuan tak terbilang
Kau
Kau ? - orang bilang kau - biarkan orang bilang
Orang tak tahu menara gereja menjulang
Kaki, kau pakaikan topi, engkau jalan
dengan kedua
tanganmu
Amboi! Rok birumu putih gratis melipat-lipat
Ana merah bunga aku cinta kau, dalam merahmu aku
cinta kau
Merahcintaku Ana Bunga, merahcintaku pada kau
Kau yang pada kau yang milikkau aku yang padaku
kau yang padaku
Kita?
Dalam dingin api mari kita bicara
Ana Bunga, Ana Merah Bunga, mereka bilang apa?
Sayembara :
Ana Bunga buahku
Merah Ana Bunga
Warna apa aku?
Biru warna rambut kuningmu
Merah warna dalam buah hijaumu
Engkau gadis sederhana dalam pakaian sehari-hari
Kau hewan hijau manis, aku cinta kau
Kau padakau yang milikau yang kau aku
yang milikkau
kau yang ku
Kita ?
Biarkan antara kita saja
pada api perdiangan
Ana Bunga, Ana, A-n-a, akun teteskan namamu
Namamu menetes bagai lembut lilin
Apa kau tahu Ana Bunga, apa sudah kau tahu?
Orang dapat membaca kau dari belakang
Dan kau yang paling agung dari segala
Kau yang dari belakang, yang dari depan
A-N-A
Tetes lilin mengusapusap punggungku
Ana Bunga
Oh hewan meleleh
Aku cinta yang padakau!
1999
Catatan: Terjemahan Anna Blume dikerjakan untuk panitia peringatan Kurt Schwitters, Niedersachen, Jerman.
OASE: Sajak-sajak Sutardji Calzoum Bachri
Republikaedisi : 28 November 1999
AYO
Oleh :
Sutardji Calzoum Bachri
Adakah yang lebih tobat
dibanding air mata
adakah yang lebih mengucap
dibanding airmata
adakah yang lebih nyata
adakah yang lebih hakekat
dibanding airmata
adakah yang lebih lembut
adakah yang lebih dahsyat
dibanding airmata
para pemuda yang
melimpah di jalan jalan
itulah airmata
samudera puluhan tahun derita
yang dierami ayahbunda mereka
dan diemban ratusan juta
mulut luka yang terpaksa
mengatup diam
kini airmata
lantang menderam
meski muka kalian
takkan dapat selamat
di hadapan arwah sejarah
ayo
masih ada sedikit saat
untuk membasuh
pada dalam dan luas
airmata ini
ayo
jangan bandel
jangan nekat pada hakekat
jangan kalian simbahkan
gas airmata pada lautan airmata
malah tambah merebak
jangan letupkan peluru
logam akan menangis
dan tenggelam
dikedalaman airmata
jangan gunakan pentungan
mana ada hikmah
mampat
karena pentungan
para muda yang raib nyawa
karena tembakan
yang pecah kepala
sebab pentungan
memang tak lagi mungkin
jadi sarjana atau apa saia
namun
mereka telah
nyempurnakan
bakat gemilang
sebagai airmata
yang kini dan kelak
selalu dibilang
bagi perjalanan bangsa
OASE: Sajak-sajak Sutardji Calzoum Bachri
Republika edisi : 28 November 1999
BAYANGKAN
untuk Salim Said
Oleh :
Sutardji Calzoum Bachri
direguknya
wiski
direguk
direguknya
bayangkan kalau tak ada wiski di bumi
sungai tak mengalir dalam aortaku katanya
di luar wiski
di halaman
anak-anak bermain
bayangkan kalau tak ada anak-anak di bumi
aku
direguk
direguk
direguknya wiski
sambil mereguk tangis
lalu diambilnya pistol dari laci
bayangkan kalau aku tak mati mati katanya
dan ditembaknya kepala sendiri
bayangkan
1977
sajak-sajak: Sutardji Calzoum Bachri
GAJAH DAN SEMUT
Oleh :
Sutardji Calzoum Bachri
tujuh gajah
cemas
meniti jembut
serambut
tujuh semut
turun gunung
terkekeh
kekeh
perjalanan
kalbu
1976-1979
sajak-sajak: Sutardji Calzoum Bachri
Date: Wed, 17 Nov 1999 01:27:04 -0800
JEMBATAN
Oleh :
Sutardji Calzoum Bachri
Sedalam-dalam sajak takkan mampu menampung airmata
bangsa. Kata-kata telah lama terperangkap dalam basa-basi
dalam teduh pekewuh dalam isyarat dan kisah tanpa makna.
Maka aku pun pergi menatap pada wajah berjuta. Wajah orang
jalanan yangberdiri satu kaki dalam penuh sesak bis
Wajah orang tergusur. Wajah yang ditilang
para pemulung yang memungut remah-remah pembangunan.
Wajah yang hanya mampu menjadi sekedar penonton etalase
indah di berbagai palaza. Wajah yang diam-diam menjerit
mengucap
tanah air kita satu
bangsa kita satu
bahasa kita satu
bendera kita satu !
Tapi wahai saudara satu bendera kenapa sementara jalan jalan
mekar di mana-mana menghubungkan kota-kota, jembatan-jembatan
tumbuh kokoh merentangi semua sungai dan lembah
yang ada, tapi siapakah yang akan mampu menjembatani jurang
di antara kita ?
Di lembah-lembah kusam pada puncak tilang kersang dan otot
linu mengerang mereka pancangkan koyak-miyak bendera hati
dipijak ketidakpedulian pada saudara. Gerimis tak ammpu
mengucapkan kibarnnya.
Lalu tanpa tangis mereka menyanyi padamu negeri airmata kami.
Sajak-sajak Perjuangan dan Nyanyian Tanah Air
KUCING
Oleh :
Sutardji Calzoum Bachri
ngiau! Kucing dalam darah dia menderas
lewat dia mengalir ngilu ngiau dia ber
gegas lewat dalam aortaku dalam rimba
darahku dia besar dia bukan harimau bu
macam kucing bukan kucing tapi kucing
ngiau dia lapar dia merambah rimba af
rikaku dengan cakarnya dengan amuknya
dia meraung dia mengerang jangan beri
daging dia tak mau daging Jesus jangan
beri roti dia tak mau roti ngiau ku
cing meronta dalam darahku meraung
merambah barah darahku dia lapar 0 a
langkah lapar ngiau berapa juta hari
dia tak makan berapa ribu waktu dia
tak kenyang berapa juta lapar lapar ku
cingku berapa abad dia mencari menca
kar menunggu tuhan mencipta kucingku
tanpa mauku dan sekarang dia meraung
mencariMu dia lapar jangan beri da
ging jangan beri nasi tuhan mencipta
nya tanpa setahuku dan kini dia minta
tuhan sejemput saja untuk tenang seha
ri untuk kenyang sewaktu untuk tenang
Memahami Puisi, 1995
LA NOCHE DE LAS PALABRAS
(EL DIARIO DE
Oleh :
Sutardji Calzoum Bachri
Di cafe jalanan Noventa Y Sieta,
kami mengepung bulan
dan mereka yang mendengarkan puisi kami
mencoba menaklukkan bulan dengan cara mereka
berkomplot dengan anggur daun cerbeza
bersekongkol dengan gadisgadis
memancing bulan dengan keluasan dada
Musim panas
Menjulang di Medelin
menampilkan sutera
di keharibaan malam cuaca
ratusan para lilin
menyandar di pundak malam
mengucap
menyebutnyebut cahaya
sambil mencoba
memahami takdir di wajah-wajah usia
kami para penyair
meneruskan zikir kami
-palabras palabras palabras palabras
-
--kata kata kata kata --
semakin kental mengucap
cahaya pun memadat
sampai kami bisa buat
sesuka kami atas padat cahaya
lantas bulan kesurupan
kesadaran kami meninggi
bulan turun pada kami
dan kami mengatasi bulan
sampailah kami pada kerajaan kata-kata
jika kami membilang ayah
ia juga ayah kata-kata
jika kami menyebut hari
juga harinya kata-kata
jika kami mengucap diri
pastilah juga diri kata kata
Di cafe jalanan
purnama jatuh
kata-kata menjadi kami
kami menjadi kata kata
OASE: Sajak-sajak Sutardji Calzoum Bachri
Republikaedisi : 28 November 1999
LUKA
Oleh :
Sutardji Calzoum Bachri
ha ha
Oleh :
Sutardji Calzoum Bachri
di lereng lereng
para peminum
mendaki gunung mabuk
kadang mereka terpeleset
jatuh
dan mendaki lagi
memetik bulan
di puncak
mereka oleng
tapi mereka bilang
--kami takkan karam
dalam lautan bulan--
mereka nyanyi nyai
jatuh
dan mendaki lagi
di puncak gunung mabuk
mereke berhasil memetik bulan
mereka mneyimpan bulan
dan bulan menyimpan mereka
di puncak
semuanya diam dan tersimpan
Sajak-sajak: Sutardji Calzoum Bachri
TANAH AIR MATA
Oleh :
Sutardji Calzoum Bachri
Tanah airmata tanah tumpah dukaku
mata air airmata kami
airmata tanah air kami
di sinilah kami berdiri
menyanyikan airmata kami
di balik gembur subur tanahmu
kami simpan perih kami
di balik etalase megah gedung-gedungmu
kami coba sembunyikan derita kami
kami coba simpan nestapa
kami coba kuburkan duka lara
tapi perih tak bisa sembunyi
ia merebak kemana-mana
bumi memang tak sebatas pandang
dan udara luas menunggu
namun kalian takkan bisa menyingkir
ke manapun melangkah
kalian pijak airmata kami
ke manapun terbang
kalian
ke manapun berlayar
kalian arungi airmata kami
kalian sudah terkepung
takkan bisa mengelak
takkan bisa ke mana pergi
menyerahlah pada kedalaman air mata
(1991)
Sajak-sajak Perjuangan dan Nyanyian Tanah Air
TAPI
Oleh :
Sutardji Calzoum Bachri
aku bawakan bunga padamu
tapi kau bilang masih
aku bawakan resahku padamu
tapi kau bilang hanya
aku bawakan darahku padamu
tapi kau bilang cuma
aku bawakan mimpiku padamu
tapi kau bilang meski
aku bawakan dukaku padamu
tapi kau bilang tapi
aku bawakan mayatku padamu
tapi kau bilang hampir
aku bawakan arwahku padamu
tapi kau bilang kalau
tanpa apa aku datang padamu
wah !
Memahami Puisi, 1995
WALAU
Oleh :
Sutardji Calzoum Bachri
Walau penyair besar
takkan sampai sebatas allah
dulu pernah kuminta tuhan
dalam diri
sekarang tak
kalau mati
mungkin matiku bagai batu tamat bagai pasir tamat
tujuh puncak membilang-bilang
nyeri hari mengucap-ucap
di butir pasir kutulis rindu rindu
walau huruf habislah sudah
alif bataku belum sebatas allah
Memahami Puisi, 1995
Tidak ada komentar:
Posting Komentar