Sabtu, Juli 25, 2009

Sajak-sajak Gus TF Sakai

ADAKAH
Oleh :
Gus tf Sakai

''Adakah engkau memiliki ibu?''
Sungguh ia sangat malu dengan pertanyaan itu.
Kata orang, ia muncul dari malam, dalam kelam, dari mitos penuh hantu.


''Adakah engkau memiliki anak?''
Sungguh ia sangat takut dengan pertanyaan itu.
Kata orang, ia punya anak tapi si anak tak pernah memiliki bapak.
Ia memiliki Putri, memiliki Putra, tapi tak pernah mendapat apa pun dari mereka.

Setiap malam, sebelum tidur, tak henti ia berdusta.

''Bu, dari mana kita? Mengapa kita ada?''

''Entah. Dari tanah. Tidurlah!''
Si Putra seperti tidur.
Si Putri Bagai mendengkur.
Si Putra mimpi jadi hujan.

Si Putri mimpi jadi genangan.
Tidakkah kita dari air?

Lihatlah. Cacing dan katak selalu muncul pada tempat yang baru digenangi hujan.


''Dari air!'' Si Putri tersentak dan berteriak.
Tapi si Putra, setiap pagi, tetap merasa bahwa mereka muncul dari televisi.


''Adakah engkau memiliki ibu?''

''Adakah engkau memiliki anak?''


: Ah, alangkah kacau pertanyaan itu.


Payakumbuh, 1997
SIRKUIT, Sajak-sajak Gus tf Sakai
Republika Online edisi : 27 Dec 1998








DAGING
Oleh :
Gus tf Sakai

Angkasa luas inilah yang menggelembungkan balon di kepalaku.
Bongkahan planet melayang, seperti gumpalan dada yang mengerang.
''Siapa Anda? Punyakah Anda secebis kisah tentang dunia? Tolong.''

Tidak.
Tak ada kisah tentang dunia.
Kecuali dongeng, semacam konon, yang diterbangkan oleh sepotong daging di jagat raya.
''Ini bulan, kuserpih dari seratku yang malam.
Ini matahari, kubeset dari kulitku yang siang.
Pada keduanya ada gerhana, tempat kau berpikir tentang tiada.''


Tentang tiada?


''Aku manusia! Diriku lahir karena ada. Siapa Anda?
Takkan aku bertanya kalau di mataku Anda tiada.
Takkan aku berkata kalau gugus galaksi gelap saja.
Takkan aku berpikir kalau semuanya sia-sia.
Siapa Anda?''


''Sudah mereka katakan aku cuma dongeng.

Sudah mereka katakan aku cuma konon.

Tapi aku daging. Daging, yang setiap hari engkau telan engkau muntahkan...''


Payakumbuh, 1997
SIRKUIT, Sajak-sajak Gus tf Sakai
Republika Online edisi : 27 Dec 1998







HAL TAK PENTING
Oleh :
Gus tf Sakai

Kami tidur setiap malam seperti kami bangun setiap pagi.
Apa yang bisa kami makan hari ini?
Kentang, tomat, daging, kiriman roti dari Bakery.
Semur, opor, sup, sangat cocok dengan nasi.
Ada juga keripik ikan pari, cemilan kami setiap kali duduk di depan televisi.


Kami duduk di depan televisi seperti kami duduk di depan kerabat.
Lihat.
Leher koyak, kepala somplak, di kaki meja tergeletak sepotong kapak.
Adakah ia kapak yang kemarin kami pinjam dari tetangga?

Darah mengalir, menetes ke cangkir, memadat mengental
seperti agar-agar.
Lihat. Ia mengiris, dan mencowelnya, seperti kami mengiris dan mencowel mentega.
Ia menjilat, dan mengulumnya, seperti kami menjilat dan mengulum gula-gula.
Adakah ia memang rasakan betapa legitnya?
Adakah ia memang kerabat --bagian dari kami juga?

Kami tertawa-tawa.
Tergeli-geli seperti bukan dengan televisi.


Tapi selalu, setiap senja, seorang lelaki turun dari taman kota.
Dari pintu pagar, ia berteriak, ''Tidakkah mengherankan bahwa kita hidup?''


Sungguh tak penting.
Ia manusia.
Si gila.

Berita sore yang kami nanti: Seberapa banyak saham kami naik hari ini?


Payakumbuh, 1997

SIRKUIT, Sajak-sajak Gus tf Sakai
Republika Online edisi : 27 Dec 1998






KARENA BUKAN ENSIKLOPEDI
Oleh :
Gus tf Sakai

Suatu ketika --entah bila-- aku bukan bagian dari alam raya.
Tentang apakah manusia tentang apakah dunia, bagiku semua kosong saja.
Tak ada pikiran tentang hidup karena aku tak bakal berurusan dengan mati.
Tak ada apa pun kata dalam bunyi karena aku bukan bagian dari ensiklopedi.


Suatu ketika --entah bila-- aku bukan bagian dari alam raya.
Anda melihat bintang, aku belum ada dalam kerlipnya.
Anda melihat laut, aku belum ada dalam ombaknya.
Adakah Anda, seperti mereka, mendapatkan belum dalam tak ada?
Setiap waktu, setiap ketika, mereka mendengar diamku dalam suara.
Melengking, merintih, jauh menuju tiada.



Payakumbuh, 1997
SIRKUIT, Sajak-sajak Gus tf Sakai
Republika Online edisi : 27 Dec 1998







MITOLOGI
Oleh :
Gus tf Sakai

Saat kanak-kanak, ia gemar melihat dirinya dalam cermin di kamar Ibu.
''Itulah kamu,'' kata si Ibu seraya menerbangkan seekor burung ke dalamnya.
Burung itu cantik, pupilnya terang, paruhnya merah muda.
''Sebagai teman, tentu, bila Ibu tak ada.''


Saat ia mulai remaja, cermin itu dipindahkan Ibu ke kamarnya.
Setiap ia berkaca, burung itu berkicau berputar-putar di atas kepala.
Apakah yang dikatakannya?


Atau adakah yang diinginkannya?
Bila dirinya tak ada, kadang ia merasa burung itu kesepian;
dan tentu menderita.


Saat dewasa, sebab entah sibuk bekerja, ia mulai jarang berkaca.
Burung itu, entah memang karena ia lupa, jarang pula tampak olehnya.
Bertahun-tahun, berpuluh-puluh tahun, mereka bagai bukan bagian dari bersama.
Tapi suatu ketika, dalam usia separo baya, ia melihatnya.
Burung jelek, kusam, tak ubahnya kelebat suram dalam hidupnya.
Betulkah itu dia?


Kini ia telah tua.
Di depan cermin, pedih, ia sering merindukannya.
Burung itu -- burung itu, memang, sebenarnya tak pernah ada.


Payakumbuh, 1997
SIRKUIT, Sajak-sajak Gus tf Sakai
Republika Online edisi : 27 Dec 1998

Tidak ada komentar:

Posting Komentar