Kamis, November 05, 2009

Sajak-sajak Sutan Takdir Alisyahbana

KERABAT KITA

Oleh :
Sutan Takdir Alisyahbana


Bunda,
masih kudengar petuamu bergetar
waktu ku tertegun di ambang pintu,
melepaskan diriku dari pelikmu :
"Hati-hati di rantau orang, anakku sayang,
Berkata di bawah-bawah, mandi di hilir-hilir,
Di mana bumi dipijak di sana langit dijunjung".

Telah lama aku mengembara :
jauh rantau kejelajah,
banyak selat dan sungai kuseberangi,
gunung dan gurun kuedari.
Beragam warna, bahasa dan budaya manusia,
teman aku bersantap, bercengkerama dan bercumbu,
lawan aku bertengkar dan berselisih.

Di runtuhan Harapan dan Pompeyi aku ziarah,
Dari menara Eifel dan Empire State Building
aku tafakur memandang semut manusia.
Di pembajaan Ruhr dan Nagasaki
aku bangga melihat kesanggupan umat
berpikir, mengatur dan berbuat.
Kuhanyutkan diriku dalam lautan manusia
di Time Square di New York dan di Piccadily di London.
Kuresapkan lagu kesepian pengendara unta
di gurun pasir dan batu Anatolia,
sega Islandia yang megah di padang salju yang putih.

Bunda,
Pulang dari rantau yang jauh
berita girang kubawa kepadamu,
resap renungan petua keramat,
sendu engkau bisikkan di ambang pintu :
Di mana-mana aku menjejakkan kaki,
aku berjejak di bumi yang satu.
Dan langit yang kunjung
di mana-mana langit kita yang esa.

Bunda,
Alangkah luasnya dan dahsyatnya kerabat kita
kaya budi kaya hati,
pusparagam ciptaan dan dambaan.


Memahami Puisi, 1995





MENUJU KELAUT
Angkatan baru

Oleh :
Sutan Takdir Alisyahbana


Kami telah meninggalkan engkau,
tasik yang tenang, tiada beriak,
diteduhi gunung yang rimbun
dari angin dan topan.
Sebab sekali kami terbangun
dari mimpi yang nikmat:

"Ombak ria berkejar-kejaran
di gelanggang biru bertepi langit.
Pasir rata berluang dikecup,
tebing curam ditantang diserang,
dalam bergurau bersama angin,
dalam berlomba bersama mega".

Sejak itu jiwa gelisah,
Selalu berjuang, tiada reda,
Ketenangan lama rasa beku,
gunung pelindung rasa pengalang
Berontak hati hendak bebas,
menyerang segala apa mengadang.

Gemuruh berderu kami jatuh,
terhempas berderai mutiara bercahaya,
Gegap gempita suara mengerang,
dahsyat bahna suara menang.
Keluh dan gelak silih berganti
pekik dan tempik sambut menyambut.

Tetapi betapa sukarnya jalan,
badan terhernpas, kepala tertumbuk,
hati hancur, pikiran kusut,
namun kembali tiadalah ingin,
keterangan lama tiada diratap.

Kami telah meninggalkan engkau,
tasik yang tenang tiada beriak,
diteduhi gunung yang rimbun
dari angin dan topan.
Sebab sekali kami terbangun
dari mimpi yang nikmat.




Memahami Puisi, 1995

1 komentar:

  1. Saya sangat suka membaca karya-karya Sutan Takdir Alisjahbana ini.

    BalasHapus