Sutan Takdir Alisjahbana
Andaikan Masih Hidup
Hari ini 100 tahun hari kelahiran Sutan Takdir Alisjahbana (STA), 11 Februari 1908 di Natal, Sumatera Utara. Alangkah beruntungnya kita jika Sutan Takdir Alisjahbana (STA) masih hidup sekarang. Kita bisa banyak bertanya soal arah kebudayaan bangsa ini. Soal budaya yang hari-hari ini menjadi isu sangat relevan dalam kehidupan kita saat media massa sibuk memberitakan perdebatan mengenai RUU Pornografi dan Pornoaksi.
Bukankah STA adalah pemuja modernitas dari Barat? Mungkin kalimat itu yang bisa dilontarkan jika kita mengasumsikan pornografi adalah anak kandung modernitas dari Barat. Asumsi itu bisa jadi terlampau menyederhanakan masalah kebudayaan dan soal yang berkaitan dengan dunia syahwat.
Lepas dari perdebatan itu dan yang tak mungkin bisa dilupakan dari sosok STA ialah idenya yang berani soal arah kemajuan budaya bagi Indonesia. STA pada tahun 1935 dengan tegas menyebutkan, Barat, ke Baratlah, Indonesia harus melihat dan belajar jika ingin maju. STA melontarkan idenya itu pada usia 27 tahun.
Pokok-pokok pemikiran STA bukan hanya mengguncang masyarakat saat itu. Para pemikir dan budayawan seangkatannya seperti Ki Hajar Dewantara dan Sanusi Pane menanggapi pemikiran STA seraya mengingatkan STA bahwa Timur adalah arah kemajuan budaya yang harus dipertahankan Indonesia mendatang.
Memikat sekali untuk mencermati catatan almarhum Mochtar Lubis tentang STA. Menurut bapak jurnalis Indonesia itu, sumbangan utama STA yang harus tercatat dalam sejarah kebudayaan Indonesia ialah polemiknya yang penuh gairah menghadapi intelektual seniornya yang hendak mempertahankan nilai kebudayaan lama sebagai landasan kemajuan Indonesia. Perdebatan antara STA dengan para penentangnya belakangan dikenal dengan istilah Polemik Kebudayaan.
Jika dikaitkan dengan persoalan arah budaya Indonesia mendatang, termasuk perdebatan keras di masyarakat mengenai bagaimana negara mengatur soal pornografi, maka peluncuran buku Sang Pujangga, 70 Tahun Polemik Kebudayaan, Menyongsong Satu Abad S. Takdir Alisjahbana di Taman Ismail Marzuki (TIM), Selasa (21/2) malam menjadi sangat relevan. Buku yang disunting A Abdul Karim Mashad bukan hanya berisi informasi mengenai karya tulis STA. Buku itu memuat juga sejumlah tulisan budayawan Indonesia yang mengkritisi pemikiran STA.
Hadir dalam peluncuran buku itu sastrawan Abdul Hadi, sejarawan Asvi Warman Adam dan para mahasiswa dan budayawan yang tampaknya sangat antusias mendiskusikan pikiran STA. Ratna Sarumpaet sempat pula membawakan puisi karya STA berjudul Menuju Ke Laut. "Kami telah meninggalkan engkau, Tasik yang tenang, tiada beriak, diteduhi gunung yang rimbun dari angin dan topan...''
Karya STA yang dibacakan Ketua Dewan Kesenian Jakarta itu seolah menunjukkan sikap STA yang tegas untuk meninggalkan tradisi budaya di Indonesia yang menurutnya antiintelektual dan antimaterialisme. Bisa jadi pendapat STA soal antiintelektual ini tepat untuk menggambarkan wajah budaya Indonesia saat ini. Wajah yang kebingungan untuk menentukan arah budaya Indonesia hingga soal pornografi pun harus diatur secara khusus dalam sebuah Undang Undang (UU), sementara UU yang sudah ada dan mengatur masalah itu tidak digunakan dengan maksimal. (Suara Pembaruan, 22 Februari 2006)
********
Pemikiran Rasional STA
Pemikiran Sutan Takdir Alisjahbana tentang Islam sangat relevan dan kontekstual dalam perkembangan Islam sekarang ini. Ia menginginkan umat Islam bisa mencapai kemajuan dan keluar dari keterbelakangan.
”Ia mengembangkan sikap rasional, memahami agama dengan cara yang rasional, mengembangkan pemikiran yang rasional. Jadi bukan pemahaman yang literal,” kata Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta Azyumardi Azra pada diskusi ”Menyongsong Satu Abad Sutan Takdir Alisjahbana” yang kerap disebut STA di Jakarta, Selasa (21/2).
Menurut Azyumardi, ada kecenderungan sekarang ini orang memahami agama secara literal, secara hitam putih. Sikap literal itulah yang menurut STA tidak kondusif untuk mencapai kemajuan.
STA menekankan pentingnya bagi orang Islam untuk mengembangkan i’tijad, berpikir secara independen untuk menjawab masalah-masalah yang ada. Meskipun STA sangat menekankan distingsi Islam, ia juga sangat menekankan bahwa Islam amat mementingkan solidaritas antarmanusia sehingga dengan begitu umat Islam bisa terhindar dari keislaman yang chauvinistik. Ia melihat dalam sejarah Islam bahwa kaum Muslimin dalam banyak hal tak segan-segan bekerja sama dengan golongan-golongan (agama) lain. Menurut STA, dalam dunia yang menjadi kecil sekarang (globalisasi), tidak boleh tidak kerja sama antarmanusia mesti diusahakan dengan sungguh-sungguh.
Asvi Warman Adam, ahli peneliti utama Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, melihat pemikiran STA lebih banyak memprovokasi kita supaya melihat ke Barat. ”Sutan Takdir Alisjahbana menganggap nilai-nilai Barat seperti individualis, materialisme, dan egoisme sebagai sesuatu yang penting sebagai api. Dia mengibaratkan orang masak nasi, jadi jangan dipadamkan apinya. Kalau di Barat, nasi (itu) sudah hampir masak, jadi api tak perlu diperbesar. Di Indonesia api itu diperlukan,” kata Asvi.
Untuk konteks masa kini, melihat atau mengambil sesuatu yang positif dari Barat, dipandang Asvi, masih sangat relevan.
Menurut Asvi, STA bersama Muhammad Yamin adalah dua pujangga yang saling melengkapi. STA menghadap ke depan dengan menyatakan kita harus mencontoh Barat untuk mengambil yang positif dari Barat, sedangkan Yamin mengajak kita kembali ke belakang saat kita pernah mengalami kejayaan pada masa lampau. (Kompas, 23 Februari 2006) ►e-ti
***
Suatu Filosofi untuk Masa Depan
Menuju Kebudayaan yang Inklusif
OLEH : SUTAN TAKDIR ALISJAHBANA
Pengantar:
Hari ini adalah peringatan 100 tahun Sutan Takdir Alisjahbana yang lahir 11 Februari 1908 di Natal, Sumatera Utara. Tulisan ini merupakan karya terakhir yang ia tulis semasa hidupnya. Pada umumnya orang mengingatnya sebagai penulis novel Layar Terkembang dan sebagai pemimpin redaksi majalah sastra dan budaya, Pudjangga Baru. Namun, sumbangan utamanya sebetulnya bukan dalam bidang sastra, melainkan dalam bidang bahasa dan kebudayaan. Ia memodernisasikan bahasa Indonesia sehingga dapat menjadi bahasa nasional negara modern yang merdeka yang ikut mempersatukan Nusantara.
Ia juga adalah pencetus Polemik Kebudayaan yang menjadi pembicaraan hangat pada tahun 1930-an. Melalui Polemik Kebudayaan ia berusaha menemukan jati diri bangsa dan membimbing pembentukan kebudayaan baru, yang dapat menjadi pemersatu penduduk Nusantara. Tak banyak yang menyadari prinsip yang melandasi segala ucapannya.
Takdir menerbitkan hampir seluruh pandangan yang berbeda-beda dalam Polemik Kebudayaan yang hampir semuanya bertentangan dengan pandangannya sendiri. Meskipun ia semangat dan terus terang dalam mengekspresikan pandangannya, ia tetap menjadi demokrat yang tidak hanya memancing pandangan yang berbeda-beda, tetapi juga menyediakan wadah untuk mengekspresikannya melalui majalah Pudjangga Baru.
Sepanjang hidupnya Takdir tak pernah berhenti dalam menyampaikan pandangannya mengenai masyarakat dan kebudayaan, namun ia juga menghargai pentingnya kebebasan berekspresi bagi mereka yang tidak sependapat dengan pandangannya. Dengan cara ini Takdir membantu mewujudkan dialog yang membentuk Indonesia. Tidak banyak orang yang melihat sisi ini dari Takdir.
Takdir memperkenalkan wacana mengenai pentingnya kita untuk menciptakan sebuah kebudayaan dunia yang inklusif. Istilah kebudayaan yang inklusif sekarang sudah menjadi populer. Takdir telah berjuang untuk itu melalui karya dan tulisannya sepanjang hidupnya dan ia menyebutnya jauh sebelum kebanyakan orang lain. (*)
Dewasa ini kecepatan transportasi dan komunikasi sebagai dampak dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dahsyat menimbulkan suatu proses globalisasi di dunia yang mengakibatkan segala sesuatu tampaknya berada di depan kita dan kita tak terhindar lagi dari penyatuan bangsa dan kebudayaan di planet kita yang seolah-olah semakin menyusut.
Sepanjang sejarah, dengan bertambahnya pengetahuan serta kemampuan manusia menciptakan teknologi yang semakin canggih dan efisien, masyarakat dan budaya manusia menjadi semakin lama semakin kompleks dan luas: suku menjadi marga, marga menjadi kerajaan, dan kerajaan menjadi negara kebangsaan. Proses ini juga terlihat di dalam perkembangan persenjataan. Dengan memakai anak tombak dan panah kapasitas untuk menghancurkan musuh terbatas, manusia hanya mampu membunuh satu orang dalam sekali waktu, namun dengan penemuan bubuk mesiu dan senjata otomatis, kapasitas untuk membunuh menjadi dahsyat sebagaimana terlihat dalam peperangan abad ke-20. Namun, dengan bom atom, terlihat jelas bahwa manusia menghadapi situasi yang sama sekali baru. Sekarang perang bukan hanya mengakibatkan pembunuhan massal. Dengan senjata atom kita sudah mampu memusnahkan dunia bahkan menghapuskan seluruh umat manusia. Sangatlah jelas bahwa dalam situasi seperti ini kita harus mengubah cara pandang dan sikap kita terhadap sesama manusia.
Proses globalisasi mengakibatkan berbagai kebudayaan di dunia bertemu bukan saja di kota besar, tetapi di mana-mana dengan adanya radio, televisi, surat kabar, dan media massa. Akibatnya terjadi pertemuan dan percampuran kebudayaan yang lebih besar daripada yang pernah terjadi dalam sejarah manusia sebelumnya.
Pandangan-pandangan lama yang bersumber pada sukuisme, nasionalisme, dan eksklusivitas agama harus berubah sehingga tidak timbul konflik yang tak terkendali lagi. Kita harus mengatasi keterbatasan kita dan kontroversi dengan pihak lain melalui sikap dan pemikiran baru yang radikal. Sebuah filosofi pemahaman dan tanggung jawab yang baru dan lebih luas cakupannya harus tampil. Kita tidak minta dilahirkan di dalam suku, bangsa, atau agama tertentu. Berdasarkan sudut pandang ini situasi kita sebuah kebetulan. Saya lahir sebagai orang Indonesia, tapi saya bisa saja terlahir sebagai orang Eskimo dengan kebudayaan dan cara hidup orang Eskimo.
Dari sudut pandang ini, semua masyarakat dan kebudayaan lain merupakan bagian dari peluang dan potensi yang terbuka bagi saya. Orang yang saya pandang sebagai suku lain akan menjadi suku saya andaikata saya lahir di antara mereka.
Di zaman transportasi dan komunikasi yang pesat, orang sering pindah dan menetap di antara masyarakat dan kebudayaan lain. Maka kita perlu mengembangkan pemikiran kita sehingga kita memandang orang lain sebagai peluang dan potensi baru yang terbuka bagi kita. Kita tidak menentukan tempat kelahiran, adat istiadat, dan pendidikan kita. Melalui perkawinan dan berbagai kontak sosial dan budaya lain, melalui radio, televisi, buku, dan majalah, kita telah menjadi bagian dari orang dan masyarakat lain dan demikian pula sebaliknya.
Dalam konteks ini, tidak ada lagi konsep ”orang lain”, yang ada hanyalah satu umat manusia di atas planet yang semakin menyusut yang berada dalam bahaya kehancuran total akibat perbuatan kita sendiri melalui perkembangan ilmu dan teknologi yang dahsyat.
Saya hendak kembali kepada masa abad ke-5 SM. Pada waktu itu di China muncul Confucius, Lao-tse, Moti, dan lainnya yang meletakkan dasar kerajaan dan peradaban China. Di India terdapat Buddha Mahavira dengan para penulis Upanishad dan Kaisar Ashoka yang menyatukan daratan India. Di Timur Tengah para nabi Yahudi sedang bergelut dengan konsep keesaan Tuhan dari mana kemudian muncul agama Kristen dan Islam, sedangkan di Yunani, para filosof besar, seperti Plato dan Aristoteles, membuka jalan bagi pemikiran sekuler modern. Karl Jaspers menyebut masa abad ke-5 SM sebagai ”Achsenzeit” atau ”masa sumbu sejarah” yang sampai sekarang masih memengaruhi kehidupan kita. Alfred Weber menyimpulkan bahwa peningkatan kreativitas sosial dan budaya pada abad ke-5 SM terkait dengan pemakaian kuda sebagai alat transportasi.
Namun, kita sekarang berdiri di suatu kurun waktu yang jauh lebih hebat daripada abad ke-5 SM. Cukuplah membandingkan kecepatan kuda dan pesawat terbang. Seperti sudah dikatakan, perbatasan antarnegara menjadi hilang. Sebuah masyarakat dan kebudayaan dunia baru sedang muncul, jauh lebih besar daripada sebelumnya. Negara-negara di dunia harus membentuk suatu federasi dunia. Hanya dengan demikian dapat kita mengatasi bahaya kehancuran dunia dan umat manusia sebab negara-negara dunia tidak perlu mempersenjatai dirinya lagi.
Kita sekarang masih jauh dari keadaan seperti itu sehingga suatu sikap solidaritas universal harus dibangkitkan agar retorika eksklusivisme dapat terhapus dan digantikan oleh komunikasi kebersamaan dan solidaritas universal, yang berarti membentuk suatu kebudayaan dunia yang inklusif.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar