KUDEKAP KUSAYANG-SAYANG
Oleh :
Emha Ainun Naijb
Kepadamu kekasih kupersembahkan segala api keperihan
di dadaku ini demi cintaku kepada semua manusia
Kupersembahkan kepadamu sirnanya seluruh kepentingan
diri dalam hidup demi mempertahankan kemesraan rahasia,
yang teramat menyakitkan ini, denganmu
Terima kasih engkau telah pilihkan bagiku rumah
persemayaman dalam jiwa remuk redam hamba-hambamu
Kudekap mereka, kupanggul, kusayang-sayang, dan ketika
mereka tancapkan pisau ke dadaku, mengucur darah dari
mereka sendiri, sehingga bersegera aku mengusapnya,
kusumpal, kubalut dengan sobekan-sobekan bajuku
Kemudian kudekap ia, kupanggul, kusayang-sayang,
kupeluk,
kugendong-gendong, sampai kemudian mereka tancapkan
lagi pisau ke punggungku, sehingga mengucur lagi darah
batinnya, sehingga aku bersegera mengusapnya,
kusumpal,
kubalut dengan sobekan-sobekan bajuku, kudekap,
kusayang-sayang.
1994
(Dari Kumpulan sajak Abracadabra Kita Ngumpet,
Yayasan Bentang Budaya Yogyakarta, 1994, halaman 7)
SEPENGGAL PUISI CAK NUN
Oleh :
Emha Ainun Najib
sayang sayang kita tak tau kemana pergi
tak sanggup kita dengarkan suara yang sejati
langkah kita mengabdi pada kepentingan nafsu sendiri
yang bisa kita pandang hanya kepentingan sendiri
loyang disangka emas emasnya di buang buang
kita makin buta yang mana utara yang mana selatan
yang kecil dibesarkan yang besar di remehkan
yang penting disepelekan yang sepele diutamakan
Allah Allah betapa busuk hidup kami
dan masih akan membusuk lagi
betapa gelap hari di depan kami
mohon ayomilah kami yang kecil ini
SERIBU MASJID SATU JUMLAHNYA
Oleh :
Emha Ainun Najib
Satu
Masjid itu dua macamnya
Satu ruh, lainnya badan
Satu di atas tanah berdiri
Lainnya bersemayam di hati
Tak boleh hilang salah satunyaa
Kalau ruh ditindas, masjid hanya batu
Kalau badan tak didirikan, masjid hanya hantu
Masing-masing kepada Tuhan tak bisa bertamu
Dua
Masjid selalu dua macamnya
Satu terbuat dari bata dan logam
Lainnya tak terperi
Karena sejati
Tiga
Masjid batu bata
Berdiri di mana-mana
Masjid sejati tak menentu tempat tinggalnya
Timbul tenggelam antara ada dan tiada
Mungkin di hati kita
Di dalam jiwa, di pusat sukma
Membisikkannama Allah ta'ala
Kita diajari mengenali-Nya
Di dalam masjid batu bata
Kita melangkah, kemudian bersujud
Perlahan-lahan memasuki masjid sunyi jiwa
Beriktikaf, di jagat tanpa bentuk tanpa warna
Empat
Sangat mahal biaya masjid badan
Padahal temboknya berlumut karena hujan
Adapun masjid ruh kita beli dengan ketakjuban
Tak bisa lapuk karena asma-Nya kita zikirkan
Masjid badan gmpang binasa
Matahari mengelupas warnanya
Ketika datang badai, beterbangan gentingnya
Oleh gempa ambruk dindingnya
Masjid ruh mengabadi
Pisau tak sanggup menikamnya
Senapan tak bisa membidiknya
Politik tak mampu memenjarakannya
Lima
Masjid ruh kita baw ke mana-mana
Ke sekolah, kantor, pasar dan tamasya
Kita bawa naik sepeda, berjejal di bis kota
Tanpa seorang pun sanggup mencopetnya
Sebab tangan pencuri amatlah pendeknya
Sedang masjid ruh di dada adalah cakrawala
Cengkeraman tangan para penguasa betapa kerdilnya
Sebab majid ruh adalah semesta raya
Jika kita berumah di masjid ruh
Tak kuasa para musuh melihat kita
Jika kita terjun memasuki genggaman-Nya
Mereka menembak hanya bayangan kita
Enam
Masjid itu dua macamnya
Masjid badan berdiri kaku
Tak bisa digenggam
Tak mungkin kita bawa masuk kuburan
Adapun justru masjid ruh yang mengangkat kita
Melampaui ujung waktu nun di sana
Terbang melintasi seribu alam seribu semesta
Hinggap di keharibaan cinta-Nya
Tujuh
Masjid itu dua macamnya
Orang yang hanya punya masjid pertama
Segera mati sebelum membusuk dagingnya
Karena kiblatnya hanya batu berhala
Tetapi mereka yang sombong dengan masjid kedua
Berkeliaran sebagai ruh gentayangan
Tidak memiliki tanah pijakan
Sehingga kakinya gagal berjalan
Maka hanya bagi orang yang waspada
Dua masjid menjadi satu jumlahnya
Syariat dan hakikat
Menyatu dalam tarikat ke makrifat
Delapan
Bahkan seribu masjid, sjuta masjid
Niscaya hanya satu belaka jumlahnya
Sebab tujuh samudera gerakan sejarah
Bergetar dalam satu ukhuwah islamiyah
Sesekali kita pertengkarkan soal bid'ah
Atau jumlah rakaat sebuah shalat sunnah
Itu sekedar pertengkaran suami istri
Untuk memperoleh kemesraan kembali
Para pemimpin saling bercuriga
Kelompok satu mengafirkan lainnya
Itu namanya belajar mendewasakan khilafah
Sambil menggali penemuan model imamah
Sembilan
Seribu masjid dibangun
Seribu lainnya didirikan
Pesan Allah dijunjung di ubun-ubun
Tagihan masa depan kita cicilkan
Seribu orang mendirikan satu masjid badan
Ketika peradaban menyerah kepada kebuntuan
Hadir engkau semua menyodorkan kawruh
Seribu masjid tumbuh dalam sejarah
Bergetar menyatu sejumlah Allah
Digenggamnya dunia tidak dengan kekuasaan
Melainkan dengan hikmah kepemimpinan
Allah itu mustahil kalah
Sebab kehidupan senantiasa lapar nubuwwah
Kepada berjuta Abu Jahl yang menghadang langkah
Muadzin kita selalu mengumandangkan Hayya 'Alal Falah!
1987
TAHAJJUD CINTAKU
Oleh :
Emha Ainun Najib
Mahaanggun Tuhan yang menciptakan hanya kebaikan
Mahaagung ia yang mustahil menganugerahkan keburukan
Apakah yang menyelubungi kehidupan ini selain cahaya
Kegelapan hanyalah ketika taburan cahaya takditerima
Kecuali kesucian tidaklah Tuhan berikan kepada kita
Kotoran adalah kesucian yang hakikatnya tak dipelihara
Katakan kepadaku adakah neraka itu kufur dan durhaka
Sedang bagi keadilan hukum ia menyediakan dirinya
Ke mana pun memandang yang tampak ialah kebenaran
Kebatilan hanyalah kebenaran yang tak diberi ruang
Mahaanggun Tuhan yang menciptakan hanya kebaikan
Suapi ia makanan agar tak lapar dan berwajah keburukan
Tuhan kekasihku tak mengajari apa pun kecuali cinta
Kebencian tak ada kecuali cinta kau lukai hatinya
1988
Senin, Januari 25, 2010
Rabu, Januari 20, 2010
Sajak-sajak Emha Ainun Najib, 1
ANTARA TIGA KOTA
Oleh :
Emha Ainun Najib
di yogya aku lelap tertidur
angin di sisiku mendengkur
seluruh kota pun bagai dalam kubur
pohon-pohon semua mengantuk
di sini kamu harus belajar berlatih
tetap hidup sambil mengantuk
kemanakah harus kuhadapkan muka
agar seimbang antara tidur dan jaga ?
Jakarta menghardik nasibku
melecut menghantam pundakku
tiada ruang bagi diamku
matahari memelototiku
bising suaranya mencampakkanku
jatuh bergelut debu
kemanakah harus juhadapkan muka
agar seimbang antara tidur dan jaga
surabaya seperti ditengahnya
tak tidur seperti kerbau tua
tak juga membelalakkan mata
tetapi di sana ada kasihku
yang hilang kembangnya
jika aku mendekatinya
kemanakah haru kuhadapkan muka
agar seimbang antara tidur dan jaga ?
Antologi Puisi XIV Penyair Yogya, MALIOBORO,
1997
BEGITU ENGKAU BERSUJUD
Oleh :
Emha Ainun Najib
Begitu engakau bersujud, terbangunlah ruang
yang kau tempati itu menjadi sebuah masjid
Setiap kali engkau bersujud, setiap kali
pula telah engkau dirikan masjid
Wahai, betapa menakjubkan, berapa ribu masjid
telah kau bengun selama hidupmu?
Tak terbilang jumlahnya, menara masjidmu
meninggi, menembus langit, memasuki
alam makrifat
Setiap gedung, rumah, bilik atau tanah, seketika
bernama masjid, begitu engkau tempati untuk bersujud
Setiap lembar rupiah yang kau sodorkan kepada
ridha Tuhan, menjelma jadi sajadah kemuliaan
Setiap butir beras yang kau tanak dan kau tuangkan
ke piring ke-ilahi-an, menjadi se-rakaat sembahyang
Dan setiap tetes air yang kau taburkan untuk
cinta kasih ke-Tuhan-an, lahir menjadi kumandang suara
adzan
Kalau engkau bawa badanmu bersujud, engkaulah masjid
Kalau engkau bawa matamu memandang yang dipandang
Allah, engkaulah kiblat
Kalau engkau pandang telingamu mendengar yang
didengar Allah, engkaulah tilawah suci
Dan kalau derakkan hatimu mencintai yang dicintai
Allah, engkaulah ayatullah
Ilmu pengetahuan bersujud, pekerjaanmu bersujud,
karirmu bersujud, rumah tanggamu bersujud, sepi
dan ramaimu bersujud, duka deritamu bersujud
menjadilah engkau masjid
1987
DARI BENTANGAN LANGIT
Oleh :
Emha Ainun Najib
Dari bentangan langit yang semu
Ia, kemarau itu, datang kepadamu
Tumbuh perlahan. Berhembus amat panjang
Menyapu lautan. Mengekal tanah berbongkahan
menyapu hutan !
Mengekal tanah berbongkahan !
datang kepadamu, Ia, kemarau itu
dari Tuhan, yang senantia diam
dari tangan-Nya. Dari Tangan yang dingin dan tak menyapa
yang senyap. Yang tak menoleh barang sekejap.
Antologi Puisi XIV Penyair Yogya, MALIOBORO,
1997
DITANYAKAN KEPADANYA
Emha Ainun Najib
Ditanyakan kepadanya siapakah pencuri
Jawabnya: ialah pisang yang berbuah mangga
Tak demikian Allah menata
Maka berdusta ia
Ditanyakan kepadanya siapakah penumpuk harta
Jawabnya: ialah matahari yang tak bercahaya
Tak demikian sunnatullah berkata
Maka cerdusta ia
Ditanyakan kepadanya siapakah pemalas
Jawabnya: bumi yang memperlambat waktu edarnya
Menjadi kacaulah sistem alam semesta
Maka berdusta ia
Ditanyakan kepadanya sapakah penindas
Jawabnya: ialah gunung berapi masuk kota
Dilanggarnya tradisi alam dan manusia
Maka berdusta ia
Ditanyakan kepadanya siapa pemanja kebebasan
Ialah burung terbang tinggi menuju matahari
Burung Allah tak sedia bunuh diri
Maka berdusta ia
Ditanyakn kepadanya siapa orang lalai
Ialah siang yang tak bergilir ke malam hari
Sedangkan Allah sedemikian rupa mengelola
Maka berdusta ia
Ditanyakan kepadanya siapa orang ingkar
Ialah air yang mengalir ke angkasa
Padahal telah ditetapkan hukum alam benda
Maka berdusta ia
Kemudian siapakah penguasa yang tak memimpin
Ialah benalu raksasa yang memenuhi ladang
Orang wajib menebangnya
Agar tak berdusta ia
Kemudian siapakah orang lemah perjuangan
Ialah api yang tak membakar keringnya dedaunan
Orang harus menggertak jiwanya
Agar tak berdusta ia
Kemudian siapakah pedagang penyihir
Ialah kijang kencana berlari di atas air
Orang harus meninggalkannya
Agar tak berdusta ia
Adapun siapakah budak kepentingan pribadi
Ialah babi yang meminum air kencingnya sendiri
Orang harus melemparkan batu ke tengkuknya
Agar tak berdusta ia
Dan akhirnya siapakah orang tak paham cinta
Ialah burung yang tertidur di kubangan kerbau
Nyanyikan puisi di telinganya
Agar tak berdusta ia
1988
IKRAR
Oleh :
Emha Ainun Najib
Di dalam sinar-Mu
Segala soal dan wajah dunia
Tak menyebabkan apa-apa
Aku sendirilah yang menggerakkan laku
Atas nama-Mu
Kuambil siakp, total dan tuntas
maka getaranku
Adalah getaran-Mu
lenyap segala dimensi
baik dan buruk, kuat dan lemah
Keutuhan yang ada
Terpelihara dalam pasrah dan setia
Menangis dalam tertawa
Bersedih dalam gembira
Atau sebaliknya
tak ada kekaguman, kebanggaan, segala belenggu
Mulus dalam nilai satu
Kesadaran yang lebih tinggi
Mengatasi pikiran dan emosi
menetaplah, berbahagialah
Demi para tetangga
tetapi di dalam kamu kosong
Ialah wujud yang tak terucapkan, tak tertuliskan
Kugenggam kamu
Kau genggam aku
Jangan sentuh apapun
Yang menyebabkan noda
Untuk tidak melepaskan, menggenggam lainnya
Berangkat ulang jengkal pertama
Antologi Puisi XIV Penyair Yogya, MALIOBORO,
1997
KETIKA ENGKAU BERSEMBAHYANG
Oleh :
Emha Ainun Najib
Ketika engkau bersembahyang
Oleh takbirmu pintu langit terkuakkan
Partikel udara dan ruang hampa bergetar
Bersama-sama mengucapkan allahu akbar
Bacaan Al-Fatihah dan surah
Membuat kegelapan terbuka matanya
Setiap doa dan pernyataan pasrah
Membentangkan jembatan cahaya
Tegak tubuh alifmu mengakar ke pusat bumi
Ruku' lam badanmu memandangi asal-usul diri
Kemudian mim sujudmu menangis
Di dalam cinta Allah hati gerimis
Sujud adalah satu-satunya hakekat hidup
Karena perjalanan hanya untuk tua dan redup
Ilmu dan peradaban takkan sampai
Kepada asal mula setiap jiwa kembali
Maka sembahyang adalah kehidupan ini sendiri
Pergi sejauh-jauhnya agar sampai kembali
Badan di peras jiwa dipompa tak terkira-kira
Kalau diri pecah terbelah, sujud mengutuhkannya
Sembahyang di atas sajadah cahaya
Melangkah perlahan-lahan ke rumah rahasia
Rumah yang tak ada ruang tak ada waktunya
Yang tak bisa dikisahkan kepada siapapun
Oleh-olehmu dari sembahyang adalah sinar wajah
Pancaran yang tak terumuskan oleh ilmu fisika
Hatimu sabar mulia, kaki seteguh batu karang
Dadamu mencakrawala, seluas 'arasy sembilan puluh sembilan
1987
KITA MASUKI PASAR RIBA
Oleh :
Emha Ainun Najib
Kita pasar r iba
Medan perang keserakahan
Seperti ikan dalam air tenggelam
Tak bisa ambil jarak
Tak tahu langit
Ke kiri dosa ke kanan dusta
Bernapas air
Makan minum air
Darah riba mengalir
Kita masuki pasar riba
Menjual diri dan Tuhan
Untuk membeli hidup yang picisan
Telanjur jadi uang recehan
Dari putaran riba politik dan ekonomi
Sistem yang membunuh sebelum mati
Siapakah kita ?
Wajah tak menentu jenisnya
Tiap saat berganti nama
Tegantung kepentingannya apa
Tergantung rugi atu laba
Kita pilih kepada siapa tertawa
1987
Jumat, Januari 15, 2010
Sajak-sajak Amir Hamzah
BERDIRI AKU
Oleh :
Amir Hamzah
Berdiri aku di senja senyap
Camar melayang menepis buih
Melayah bakau mengurai puncak
Berjulang datang ubur terkembang
Angin pulang menyeduk bumi
Menepuk teluk mengempas emas
Lari ke gunung memuncak sunyi
Berayun-ayun di atas alas.
Benang raja mencelup ujung
Naik marak mengerak corak
Elang leka sayap tergulung
dimabuk wama berarak-arak.
Dalam rupa maha sempuma
Rindu-sendu mengharu kalbu
Ingin datang merasa sentosa
Menyecap hidup bertentu tuju.
Memahami Puisi, 1995
Mursal Esten
BUAH RINDU II
Amir Hamzah
Datanglah engkau wahai maut
Lepaskan aku dan nestapa
Engkau lagi tempatku berpaut
Di waktu ini gelap gulita.
Kicau murai tiada merdu
Pada beta bujang Melayu
Himbau pungguk tiada merindu
Dalam telingaku seperti dahulu.
Tuan aduhai mega berarak
Yang melipud dewangga raya
Berhentilah tuan di atas teratak
Anak Langkat musyafir lata.
Sesa'at sekejap mata beta berpesan
Padamu tuan aduhai awan
Arah manatah tuan berjalan
Di negeri manatah tuan bertahan?
Sampaikan rinduku pada adinda
Bisikkan rayuanku pada juita
Liputi lututnya muda kencana
Serupa beta memeluk dia.
Ibu, konon jauh tanah Selindung
Tempat gadis duduk berjuntai
Bonda hajat hati memeluk gunung
apatah daya tangan ta' sampai.
Elang, Rajawali burung angkasa
Turunlah tuan barang sementara
Beta bertanya sepatah kata
Adakah tuan melihat adinda?
Mega telahku sapa
Margasatwa telahku tanya
Maut telahku puja
Tetapi adinda manatah dia !
Memahami Puisi, 1995
Mursal Esten
DOA
Oleh :
Amir Hamzah
Dengan apakah kubandingkan pertemuan kita, kekasihku?
Dengan senja samar sepoi, pada masa purnama meningkat naik, setelah menghalaukan panas payah
terik.
Angin malam mengembus lemah, menyejuk badan, melambung rasa menayang pikir, membawa angan ke bawah kursimu.
Hatiku terang menerima katamu, bagai bintang memasang lilinnya.
Kalbuku terbuka menunggu kasihmu, bagai sedap malam menyiarkan kelopak.
Aduh, kekasihku, isi hatiku dengan katamu, penuhi dadaku dengan cahayamu, biar bersinar mataku sendu, biar berbinar
gelakku rayu!
Memahami Puisi, 1995
Mursal Esten
HANYA SATU
Oleh :
Amir Hamzah
Timbul niat dalam kalbumu.
Terbang hujan, ungkai badai
Terendam karam
Runtuh ripuk tamanmu rampak
Manusia kecil lintang pukang
Lari terbang jatuh duduk
Air naik tetap terus
Tumbang bungkar pokok purba
Terika riuh redam terbelam
Dalam gagap gempita guruh
Kilau kilat membelah gelap
Lidah api menjulang tinggi
Terapung naik Jung bertudung
Tempat berteduh nuh kekasihmu
Bebas lepas lelang lapang
Di tengah gelisah, swara sentosa
Bersemayam sempana di jemala gembala
Juriat julita bapaku iberahim
Keturunan intan dua cahaya
Pancaran putera berlainan bunda
Kini kami bertikai pangkai
Di antara dua, mana mutiara
Jauhari ahli lalai menilai
Lengah langsung melewat abad
Aduh kekasihku
padaku semua tiada berguna
Hanya satu kutunggu hasrat
Merasa dikau dekat rapat
Serpa musa di puncak tursina.
Memahami Puisi, 1995
Mursal Esten
PADAMU JUA
Amir Hamzah
Habis kikis
Segera cintaku hilang terbang
Pulang kembali aku padamu
Seperti dahulu
Kaulah kandil kemerlap
Pelita jendela di malam gelap
Melambai pulang perlahan
Sabar, setia selalu
Satu kekasihku
Aku manusia
Rindu rasa
Rindu rupa
Di mana engkau
Rupa tiada
Suara sayup
Hanya kata merangkai hati
Engkau cemburu
Engkau ganas
Mangsa aku dalam cakarmu
Bertukar tangkap dengan lepas
Nanar aku, gila sasar
Sayang berulang padamu jua
Engkau pelik menarik ingin
Serupa dara dibalik tirai
Kasihmu sunyi
Menunggu seorang diri
Lalu waktu - bukan giliranku
Matahari - bukan kawanku.
Memahami Puisi, 1995
Mursal Esten
Selasa, Januari 12, 2010
Sajak-Sajak Danarto
Berburu Ayat-Ayat Suci (Danarto)
Danarto
Sumber: Republika, Edisi 10/23/2005
Orang-orang berbondong berburu ayat-ayat suci. Berebut di masjid, pasar, kampus, stasiun, mall, café, dan warung-warung tegal. Dengan teriakan, tangisan, dan gelak tawa, rakyat antre siang malam memunguti sisa-sisa tiang negara yang roboh. O, tsunami, gempa, tanah longsor, dan banjir yang susul-menyusul, menciptakan para pedagang, melenyapkan air bersih, menyingkirkan orang-orang suci dari percaturan peradaban. Orang-orang bergerombol menunggu aba-aba perampokan, penggarongan, penghancuran, huru-hara. Di sini jerit tangis memenuhi alun-alun: ayat-ayat suci sudah digondol maling. Tak remah-remah pun tersisa. Juga tikus, kucing, kadal, dan segala binatang berkaki empat maupun dua, mengais-ais.
O, tolonglah berbagi sedikit, teteskan ayat suci yang kamu dapat, untuk haus kami, lapar kami, derita kami.Apa urusanku dengan hausmu, laparmu, dan penderitaanmu? Orang-orang mendongak ke angkasa.Tuhan, ulurkan tanganMu. Para wisatawan meninggalkan ayat-ayat suci di bak sampah, meja restoran yang acak-acakan, wastafel yang krannya ngocor terus, di lapangan parkir yang lalu-lalang, melupakan ibunya, ayahnya, saudara-saudaranya, ngebut dengan mobil 150 km perjam, menuju entah-berantah.
Di antara reruntuhan negara yang roboh, para pemulung, pengemis, gelandangan, preman, saling berbagi dan tukar tambah ayat-ayat suci dengan ramai, menyimpannya di bawah tikar bobrok yang menyelamatkan hidup mereka.
10.10.2005
TABIR
Berenang di laut luas, awan lepas, bangau meniti buih pedas, gaung matahari berbias-bias, o, cakrawala, rindu kampung pulang antara, mata kail asat samudera, mendaki air menguras permata, bertemu karang di kamar magenta. Cadas, cadas, desah ragam hapus bilas, kekasih mencurah senter pada gelap liputan akhir dari gelas.
20.6.2004
KOLAM
Ya, Allah, Tuhan Yang Mahakepujian.
Tunjuki hamba, kolam yang mana yang
mesti hamba mandi. Rasanya hamba kembali
kotor padahal hamba baru saja selesai mandi.
Kolam ini bersih, sejernih lantai istana
Nabi Sulaiman.
Bahkan Engkau bisa becermin di dalamnya.
Menghitung jumlah hamba-hambaMu yang
Engkau kasihi.
Jangan, Tuhan, jangan. Jangan dulu diganti
umat yang baru, meski kami banyak
melanggar aturan.
Kami memang pemalas, mau menang sendiri,
suka iri kepada orang lain, amburadul dalam
bekerja. Namun, kami beribadah terus memohon
jalan lurusMu.
HidayahMu, ya, Allah, hidayahMu. Ulurkan
tanganMu, karuniai kolamMu, menolong
bangsa ini yang hancur-hancuran.
20.1.2005
Langganan:
Postingan (Atom)